Mohon tunggu...
samuel purba
samuel purba Mohon Tunggu... Administrasi - PNS, pemerhati sosial

Penikmat alam bebas dan bebek bakar; suka memperhatikan dan sekali-sekali nyeletuk masalah pendidikan, budaya, dan kemasyarakatan; tidak suka kekerasan dalam bentuk apa pun.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Perspektif Bahagia Menghadapi Masa Pensiun

19 Januari 2024   16:08 Diperbarui: 20 Januari 2024   02:55 715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pensiun. (SHUTTERSTOCK/polymanu)

Kondisi tersebut umumnya terjadi pada orang-orang yang tadinya mempunyai kekuasaan atau jabatan tertentu, namun ketika sudah tidak menjabat lagi cenderung memperlihatkan gejala-gejala kejiwaan atau emosi yang kurang stabil. Hal ini bisa terlihat dari menurunnya tingkat kepercayaan diri, murung dan menutup diri dari pergaulan, merasa kesepian atau tidak diperhatikan, serta mudah tersinggung atau berpikir negatif pada orang lain. 

Saya menyadari dan bisa membayangkan tentunya tidak mudah jika kita berada di posisi seperti itu. Tanpa bermaksud berasumsi terlalu jauh, saya hanya penasaran apakah ada korelasi antara cara berpikir ini dengan angka harapan hidup di Indonesia yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 dimana pria 69 tahun dan wanita 72 tahun. 

Kalau dibandingkan dengan negara-negara Asean misalnya, sebuah artikel dari media Kompas menyebutkan bahwa posisi Indonesia pada angka harapan hidup berada di posisi ke-6, di bawah Singapura (85,4 tahun), Thailand (80,2 tahun), Malaysia (79,9 tahun), Brunei Darussalam (78,2 tahun), dan Timor Leste (77,4 tahun).

***

Baiklah kita cukupkan membahas persoalan pensiun dari kacamata/perspektif yang pertama. Saya tentunya berharap dapat memasuki dan menjalani masa pensiun dengan cara pandang kedua: yang lebih cerah, lebih optimis, dan lebih berwarna tentunya. Karena itu saya ingin memandang bahwa pensiun bukan sebagai sebuah akhir, alih-alih sebagai sebuah titik awal untuk memasuki sebuah periode baru dalam hidup. 

Seperti layaknya sebuah buku, bagi saya pensiun adalah sebuah bab (yang pastinya bukan bab penutup) dari rangkaian bab-bab lain sebelumnya. 

Untuk bisa melanjutkan menulis cerita pada sebuah bab tentunya sangat dipengaruhi atau ditentukan oleh kisah pada bab-bab sebelumnya. 

Oleh karena itu sebelum menulis kisah pada bab pensiun, maka kita harus bisa menulis bab dimana kita masih aktif bekerja, masih sehat, dan masih produktif.

Jika kisah pekerjaan yang ditulis adalah sebuah cara memenuhi ambisi dalam hal ekonomi atau posisi semata, maka saya kuatir ceritanya akan berubah manakala kita pensiun nanti. Karena semua itu adalah hal-hal yang sangat terbatas dan sangat sementara. Ia akan hilang serta merta ketika saya sudah tidak menjabat atau memiliki banyak hal lagi. Dan lagi, hal-hal yang tidak melekat itu sepertinya tidak hanya mudah berakhir, ia juga gampang terlupakan.

Saya sendiri tidak bermimpi memiliki masa pensiun yang dibayang-bayangi post power syndrome, sekalipun saya menampik adanya kemungkinan untuk itu tetap ada. Namun menurut saya setidaknya perlu ada upaya yang bisa kita dilakukan jauh-jauh hari sebelum masa pensiun tiba. Pertama, memandang pekerjaan (lagi-lagi) sebagai sebuah kesempatan untuk berkembang dan bertumbuh. 

Fokus dan reward atas pekerjaan bagi adalah sebuah kesadaran penuh bahwa kita semakin memiliki pengetahuan, keterampilan, pengalaman, serta kompetensi. Dengan demikian kita semakin mampu berperan secara aktif dan bisa memberikan perubahan dan kemajuan pada unit atau organisasi di mana kita bekerja saat ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun