Mohon tunggu...
samuel purba
samuel purba Mohon Tunggu... Administrasi - PNS, pemerhati sosial

Penikmat alam bebas dan bebek bakar; suka memperhatikan dan sekali-sekali nyeletuk masalah pendidikan, budaya, dan kemasyarakatan; tidak suka kekerasan dalam bentuk apa pun.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Perspektif Bahagia Menghadapi Masa Pensiun

19 Januari 2024   16:08 Diperbarui: 20 Januari 2024   02:55 715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pensiun. (SHUTTERSTOCK/polymanu)

***

Menilik cerita saya di atas barangkali tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa salah satu hal utama yang membedakan situasi seseorang setelah pensiun adalah perspektif dan makna pensiun itu sendiri. 

Setidaknya secara garis besar ada 2 (dua) perspektif tentang pensiun. Pertama, pensiun dimaknai sebagai sebuah akhir. Mereka yang berpandangan seperti ini memandang pensiun sebagai saat untuk tidak bekerja lagi, beristirahat, berhenti dari rutinitas, serta meninggalkan semua kesibukan yang telah dilakukan setiap hari selama lebih dari 20 atau 30 tahun sebelumnya.

Dan kedua, mereka yang memandang pensiun (justru) sebagai sebuah awal untuk memulai sesuatu yang baru. Sepertinya cara berpikir ini tidak lagi menggantungkan istilah 'bekerja' sebagai sebuah kewajiban yang bisa jadi mengekang kebebasan atau kegembiraan. 

Bekerja tidak lagi diukur dalam situasi formal dengan aturan-aturan ketat dan sebagainya. Bekerja senyatanya adalah sebuah panggilan untuk berbuat sesuatu, memberi sesuatu, menghasilkan sesuatu, yang mana sesuatu itu adalah segala yang terbaik dari bakat, potensi, dan kemampuan yang dimilikinya. 

Saya tidak bermaksud untuk tendensius, namun dari apa yang saya amati bahwa mereka yang memiliki cara pandang pertama cenderung menjadikan pekerjaan tersebut sebagai alat untuk memuaskan keinginan dan kebutuhannya dirinya sendiri. 

Jika cara berpikir seperti itu dipertahankan, maka masa pensiunnya kemungkinan akan diisi dengan kesibukan mengenai bagaimana cara mencukupkan kebutuhan dengan sumber daya yang (sayangnya) sudah semakin terbatas. 

Kebutuhan yang dimaksud misalnya (melanjutkan survei perusahaan asuransi yang saya singgung di awal) dimana sebagaian besar responden di Indonesia menyebutkan bahwa uang pensiun akan digunakan untuk kebutuhan rumah, kesehatan, dan pendidikan anak-anak.

Sedikit saya tambahkan, sebuah riset yang dilakukan oleh lembaga nirlaba pada orang-orang yang memasuki masa persiapan pensiun (MPP) pada perusahaan-perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di seluruh Indonesia dengan menggunakan metode survei ARS (Anxiety Rating Scale) tahun 2016 dan 2017. 

Mereka menemukan bahwa data bahwa 63% responden mengalami kondisi cemas sedang hingga panik, sementara 37% mengaku mengalami cemas ringan. Masalah kecemasan diantaranya disebabkan masalah emosi-spritual (51%), masalah psikologis (29%), dan masalah keuangan (21%). 

Selain itu, sebuah riset lain menjelaskan bahwa selain dampak psikologis, kondisi pensiun juga dapat mempengaruhi fisiologis seseorang. Secara fisiologis pensiun bisa menyebabkan masalah penyakit terutama gastrointestinal, gangguan saraf, dan berkurangnya kepekaan, atau juga disebut penyakit retirement syndrome. Gejala lainnya yang juga dapat muncul saat seseorang memasuki masa pensiun adalah gejala post power syndrome. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun