***
Menilik cerita saya di atas barangkali tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa salah satu hal utama yang membedakan situasi seseorang setelah pensiun adalah perspektif dan makna pensiun itu sendiri.Â
Setidaknya secara garis besar ada 2 (dua) perspektif tentang pensiun. Pertama, pensiun dimaknai sebagai sebuah akhir. Mereka yang berpandangan seperti ini memandang pensiun sebagai saat untuk tidak bekerja lagi, beristirahat, berhenti dari rutinitas, serta meninggalkan semua kesibukan yang telah dilakukan setiap hari selama lebih dari 20 atau 30 tahun sebelumnya.
Dan kedua, mereka yang memandang pensiun (justru) sebagai sebuah awal untuk memulai sesuatu yang baru. Sepertinya cara berpikir ini tidak lagi menggantungkan istilah 'bekerja' sebagai sebuah kewajiban yang bisa jadi mengekang kebebasan atau kegembiraan.Â
Bekerja tidak lagi diukur dalam situasi formal dengan aturan-aturan ketat dan sebagainya. Bekerja senyatanya adalah sebuah panggilan untuk berbuat sesuatu, memberi sesuatu, menghasilkan sesuatu, yang mana sesuatu itu adalah segala yang terbaik dari bakat, potensi, dan kemampuan yang dimilikinya.Â
Saya tidak bermaksud untuk tendensius, namun dari apa yang saya amati bahwa mereka yang memiliki cara pandang pertama cenderung menjadikan pekerjaan tersebut sebagai alat untuk memuaskan keinginan dan kebutuhannya dirinya sendiri.Â
Jika cara berpikir seperti itu dipertahankan, maka masa pensiunnya kemungkinan akan diisi dengan kesibukan mengenai bagaimana cara mencukupkan kebutuhan dengan sumber daya yang (sayangnya) sudah semakin terbatas.Â
Kebutuhan yang dimaksud misalnya (melanjutkan survei perusahaan asuransi yang saya singgung di awal) dimana sebagaian besar responden di Indonesia menyebutkan bahwa uang pensiun akan digunakan untuk kebutuhan rumah, kesehatan, dan pendidikan anak-anak.
Sedikit saya tambahkan, sebuah riset yang dilakukan oleh lembaga nirlaba pada orang-orang yang memasuki masa persiapan pensiun (MPP) pada perusahaan-perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di seluruh Indonesia dengan menggunakan metode survei ARS (Anxiety Rating Scale) tahun 2016 dan 2017.Â
Mereka menemukan bahwa data bahwa 63% responden mengalami kondisi cemas sedang hingga panik, sementara 37% mengaku mengalami cemas ringan. Masalah kecemasan diantaranya disebabkan masalah emosi-spritual (51%), masalah psikologis (29%), dan masalah keuangan (21%).Â
Selain itu, sebuah riset lain menjelaskan bahwa selain dampak psikologis, kondisi pensiun juga dapat mempengaruhi fisiologis seseorang. Secara fisiologis pensiun bisa menyebabkan masalah penyakit terutama gastrointestinal, gangguan saraf, dan berkurangnya kepekaan, atau juga disebut penyakit retirement syndrome. Gejala lainnya yang juga dapat muncul saat seseorang memasuki masa pensiun adalah gejala post power syndrome.Â