Kesimpulan lain yang menarik adalah bahwa di negara maju faktor-faktor seperti pengangguran kaum muda, tingkat kepercayaan pers, keyakinan demokrasi, kejahatan narkoba dan sikap terhadap imigrasi berkorelasi signifikan dengan skor di laporan GTI.
Sementara di negara berkembang, faktor negara seperti sejarah konflik bersenjata, konflik yang sedang berlangsung di dalam
negara, korupsi dan lemahnya lingkungan bisnis yang sehat memiliki korelasi. Selain teror politik, rendahnya penegakan hak asasi manusia, kebijakan dan kebebasan beragama, ketidakstabilan politik juga menyumbang korelasi dengan munculnya terorisme.
Menurut anda, negara kita masuk kategori mana?
Bila anda menjadi salah satu penentu keputusan di negeri ini, bukankah data dari Global Terorism Index bisa dijadikan acuan awal dalam mencari korelasi untuk kejadian terorisme di Indonesia? Jadi kita tidak hanya melihat kehebohan pihak keamanan saja setelah kejadian berlangsung.Kita tidak perlu disuguhi siaran berulang-ulang seperti layaknya sinetron demi memuaskan rating televisi atau memancing perhatian publik tanpa ada pemahaman untuk apa kejadian itu diputar berulang kali.
Bila mau jujur, beberapa poin dari laporan GTI tersebut menggambarkan kondisi Indonesia saat ini bukan? Membuktikannya gampang kok. Buka saja twitter atau facebook anda dan lihat pesan yang sesuai dengan gambaran tersebut. Seakan-akan kita diletakkan pada kondisi "kurang nyaman". Benarkah negara kita tidak nyaman?
Dengan kejadian pemboman itu, teroris berencana untuk menancapkan rasa tidak nyaman. Apakah mereka berhasil? Saya berharap tidak. Tapi yang terpenting bagi kita semua adalah: apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah atau setidaknya meminimalkan penyebaran terorisme? Dan apa solusi untuk itu? Sebagai pelaku IT saya memberikan ide membangun sistem deteksi dini berbasis bigdata dan predictive analytics. Selain lebih terukur, juga bisa memperkuat sistem intelijen sekaligus menjadi early warning system bagi keamanan dalam negeri.
Penutup
Yang terjadi saat ini adalah penyakit "cocokologi". Semua dicocok-cocokkan dan semua dibalut cerita konspirasi. Hanya memuaskan emosi sesaat tanpa ada solusi. Mulai dari isu masalah freeport sampai kelengahan aparat keamanan. Selain tidak terukur dan tidak ada dasar/bukti empirik, masalah terorisme akan terus muncul jika kita tidak bisa mengantisipasinya dengan baik dan benar. Ironisnya, kejadian teror di Jakarta ini akan berpotensi dilupakan dalam masa 30 hari kedepan. Diganti dengan kejadian lain yang akan diputar ulang berkali-kali lagi. Lalu apa yang kita pelajari dari kejadian ini?
Seperti biasa: Kita akan cari kambing hitam! Acara tuding menuding pun mulai lagi.
Janganlah kita hanya bisa mengecam dan menyalahkan orang lain. Menganggap pemerintah lamban, aparat keamanan tidak sigap, BIN kecolongan. Semua tudingan itu bukanlah solusi. Saya kira lebih memuaskan emosi. Tanpa dituding pun, kejadian itu sudah menampar wajah mereka. Lebih penting introspeksi: mengapa bisa terjadi lagi?
Anggaplah negara tertarik membangun sistem deteksi dini untuk terorisme. Apakah sistem ini tidak bisa salah mendeteksi? Tidak ada sistem yang sempurna, dan memang sistem ini bukan ditujukan untuk meramalkan dengan sangat akurat. Sistem deteksi ini mencegah akibat yang lebih parah dan meluas. Dan sistem ini dinamis karena terus akan mempelajari tren dan pola yang terjadi di tengah masyarakat. Dengan kata lain, sistem ini akan terus "belajar" memahami. Selayaknya kita sebagai mahluk cerdas, kecerdasan buatan yang ditanamkan di sistem ini hanyalah sebagai alat bantu saja.
Rasanya muak melihat negara kita dikacaukan dengan berbagai tindakan teror yang kembali terulang. Semoga tulisan ini bisa menjadi awal bagi kita sebagai anggota publik untuk menyuarakan agar pemerintah mau bergegas. Salah satunya adalah memanfaatkan teknologi bigdata dan implementasi predictive analytics sebagai fondasi awal membangun sistem deteksi dini terorisme di negara kita.