Mohon tunggu...
Samuel Henry
Samuel Henry Mohon Tunggu... Startup Mentor -

JDV Startup Mentor, Business Coach & Public Speaker, IT Business Owner, Game Development Lecturer, Hardcore Gamer .........

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Sistem Deteksi Dini Terorisme sebagai Solusi Preventif

15 Januari 2016   03:42 Diperbarui: 15 Januari 2016   04:22 773
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari mana mesin analitik itu bisa memahami perilaku kita? Mesin itu merekam jejak aktivitas dan berbagai data kita selama melakukan aktivitas online. Jam berapa anda online, berapa lama anda di halaman tertentu melihat produk tertentu, dsb. Bila kita hubungkan dengan kegiatan terorisme: Gantilah anda sebagai pelanggan menjadi individu pelaku teroris, maka mesin itu juga berpotensi mengenal perilaku sebagai teroris dan mencatat tren dan pola yang mereka lakukan. Saya harap anda lebih mengerti sampai disini.

Ingat, pelaku teror - seperti kita semua - juga meninggalkan berbagai jejak data. Contohnya rekaman video Al-qaeda dan ISIS. berbagai tulisan di blog dan forum. Belum lagi tweet dan aktivitas media sosial lainnya. Mereka sudah memanfaatkan teknologi informasi dalam hal komunikasi dan marketing "kegiatan" mereka. Di mata orang awam data itu tentu tidak bisa diekstrak tren dan polanya. Anda hanya melihat/menonton konten tertentu saja. Otak manusia memiliki keterbatasan mengolah data dalam jumlah besar. Tapi bagi mesin komputer dengan menggunakan algoritma dan pemodelan analisis tertentu seperti analisis peramalan, maka akan didapat informasi "tertentu" yang unik dan pentingf. Pola dan tren inilah yang akan dikorelasikan dengan berbagai data terkait lainnya. Kalau ada korelasi atau kesamaan pola, maka kemungkinan kejadian yang mirip atau aktivitas sejenis akan besar potensinya untuk terjadi di masa depan.

Saya akan berikan satu contoh lagi agar anda lebih paham akan konteks korelasi di analisis peramalan. Kali ini dengan menggunakan mesin pencarian Google dan kemampuannya meramalkan wabah flu. Kok bisa? Apakah mesin pencari Google bisa menggantikan dokter atau ahli kesehatan? Tidak seperti itu pengertiannya. Ternyata melalui penelitian, ditemukan korelasi kuat bahwa ketika pengguna internet menggogling keyword yang berhubungan dengan penyakit flu meningkat tajam dan meluas di area tertentu maka wabah flu segera  mengikuti beberapa hari kemudian di area tersebut. Kini lembaga kesehatan Amerika sudah mengantisipasi kemungkinan terjadinya wabah flu begitu indikator penggunaan keyword tadi mencapai level tertentu. Hasilnya? Penanganan lebih cepat, dan korban wabah pun bisa diminimalkan.

Implementasi bigdata dan predictive analytics juga bisa untuk berbagai bidang lainnya seperti pertanian atau pengendalian harga pangan misalnya. Jadi masalah terorisme hanya satu aspek yang bisa ditangani dengan bigdata dan analisa peramalan.

Penyadapan atau Pencegahan Terintegrasi?

Saya bisa memahami keinginan dari Bang Bo dalam tulisannya "Perlukah Negara Melakukan Penyadapan Demi Mencegah Teror?" agar negara melakukan aktivitas penyadapan. Tapi apakah efektif? Mungkin sampai level tertentu iya. Selain berpotensi melanggar undang-undang privasi warga negara, walau demi alasan keamanan dan penanganan terorisme cara ini bisa diterima, cara ini akan menimbulkan banyak ekses jika tidak dilakukan dengan hati-hati.

Saya khawatir, bila praktik penyadapan dilakukan, maka potensi masalah akan banyak muncul di masa depan. Penyadapan memang satu bentuk tindakan pencegahan tapi akan diikuti dengan berbagai masalah lanjutan seperti: siapa saja yang mau disadap? Apa ketentuan dan aturannya? Apa dan bagaimana memanfaatkan informasi yang didapat? dsb. Katakanlah kita mengabaikan masalah tersebut dan negara sepakat untuk lanjut.: Sering sekali dengan sistem organisasi / jaringan sel teroris yang bersifat terpisah dan otonom maka koneksi antar kelompok terputus. Hal ini akan menyulitkan pemerintah mendeteksinya dan kembali lagi jalan buntu bisa muncul.

Ingat dengan contoh pengguna yang menggogling keyword flu tadi? Katakanlah kita berhasil mendeteksi beberapa pengguna (dalam contoh ini kita anggap berhasil disadap dan yang dicurigai sebagai calon teroris) maka seberapa luas kita bisa mengantisipasi wabah flu? Kecil bukan? Bisa jadi kita curiga tapi belum yakin. Kita tidak bisa hanya fokus ke kelompok tertentu saja (area kecil) tapi harus bisa melihat gambaran yang besar / keseluruhan juga.

Dengan model melihat gambaran besar, kalau kita bisa melihat pencarian yang meningkat tajam dalam waktu tertentu (bukan penyadapan) dengan cara menangkap berbagai data pencarian secara masif maka tidak hanya bisa menebak akan ada flu (tindakan teror) juga jenis penyakit flu apa yang dihadapi (dalam hal ini mungkin isu lokasi, model aktivitas, dan berbagai informasi penting lainnya). Data yang ditangkap ini akan dibandingkan dengan data lain yang diperoleh dari kepolisian misalnya. Profil dan catatan kriminalitas anggota teroris bisa dikorelasikan dengan ciri-ciri aktivitas yang muncul. Bisa pula dikuatkan dengan laporan dari masyarakat atau bentuk informasi lainnya yang pada umumnya tidak dianggap penting karena tidak diketahui apa korelasinya secara langsung.

Masih ingatkah anda bahwa aktivitas teror di Indonesia pernah didanai dari hasil perampokan? Apakah ada korelasi tindakan perampokan di berbagai tempat dengan pendanaan terorisme saat ini? Apakah kita hanya mencurigai pendanaan dari pihak asing saja? Alih-alih menduga-duga, kenapa tidak mencari korelasi antara tindakan kriminal tertentu dengan aktivitas terorisme?

Apakah ada korelasi antara terorisme saat ini yang kembali muncul dengan munculnya wabah radikalisme dan intoleransi di tengah masyarakat? Saya tidak menuduh bahwa organisasi tertentu atau aktivitas individu tertentu langsung terkait. Tapi menarik sekali melihat kemungkinan korelasi antara "tingkat keresahan sosial" masyarakat Indonesia dengan terorisme. Belum lagi bila kita sedikit waspada dan perhatian dengan kejadian seperti berita "Kapolda Metro Sebut Ada 46 Anggota ISIS yang Kembali ke Indonesia" di Kompas.com, rabu 18 November 2015 lalu. Siapa saja mereka? Kemana mereka pulang dan apa saja aktivitasnya? Kalau ada, lalu apa saja kaitannya dan bentuk keterlibatan aktifnya?

Atau bagaimana kita bisa menghubungkannya dengan kejadian masa lalu seperti yang tercatat di artikel Kompas.com, khamis 12 Desember 2012 dengan judul "Terorisme 2012: Selnya Masih Aktif dan Kian Subur"?  Menarik bukan? dua artikel itu hanya contoh sebuah titik yang mungkin terhubung dengan titik terorisme saat ini. Dulu mungkin tidak kita sadari. Tapi sekarang? Apa ciri dari kedua aktivitas tersebut? Apa kaitannya? Pola dan trend yang tercatat seperti apa? Apakah ada korelasi kuat? Ingat dengan acuan dasar di awal tadi? Tentu kita tidak bisa mengukurnya hanya dengan data dari 2 artikel tersebut. Tapi, bisa jadi banyak kejadian, berita, tweet di media sosial, yang bisa jadi dasar acuan atau korelasi penting sehingga kita bisa mendeteksi lebih dini sebuah kegiatan yang berpotensi dilakukan kelompok teroris. Bukan berarti kita pasti bisa meramalkan kapan terjadinya atau dimana, tapi lebih kepada "merasakan" bahwa akan ada kejadian. Disinilah pihak keamanan bisa memperketat pengamanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun