Banyak studi mendapat data empirik bahwa tindakan terorisme memiliki pola dan ciri tertentu sebelum melakukan aksinya. Namun ciri dan pola ini sulit dideteksi bila dengan menggunakan cara lama. Penggunaan bigdata dan predictive analytics sekalipun tidak menjamin sepenuhnya bisa menghilangkan terorisme. Tapi cara ini diharapkan bisa meminimalkannya dengan cara mendeteksi dari dini. Keputusan akhir tetap ada pada manusia sebagai pelaku.
Dengan membangun sistem deteksi dini terorisme ini bukan berarti teror akan bisa segera dilawan atau direspon seketika. Upaya membangun sistem adalah tindakan pencegahan yang bijak dan membutuhkan proses yang dinamis. Banyak yang perlu dipersiapkan. Selain mempelajari pola dan gaya terorisme di Indonesia dan "korelasinya" dengan terorisme global, kita juga bisa mempelajari kelemahan dan kekurangan dari sistem intelijen dan keamanan kita selama ini. Pemerintah bisa mengupgrade infrastruktur keamanan intelijen misalnya. Aparat keamanan bisa lebih terintegrasi dengan lembaga terkait lainnya dalam kerjasama pencegahan karena dengan sistem ini semua data terkait terorisme mulai dari profil, lokasi, ciri organisasi, kebiasaan dan pola perekrutan bisa dikaitkan dengan kejadian yang terjadi di masyarakat, di lokasi tertentu, pada event tertentu, dsb.
Pembangunan sistem deteksi dini terorisme ini hanya bisa dilakukan oleh negara. Selain berbiaya besar karena membutuhkan infrastruktur yang banyak, untuk mendapatkan hasil yang presisi juga harus disandingkan dengan data sensitif dari berbagai lembaga lainnya seperti kepolisian, intelijen dan juga seperti perbankan, kependudukan misalnya. Perusahaan swasta yang memiliki modal besar sekalipun belum tentu bisa membuatnya tanpa data penting tadi. Jadi, walaupun aliran data dari berbagai sumber bisa ditangkap, maka "korelasi" tidak akan didapat dengan keakuratan yang bisa dibuktikan bila tidak dibandingkan dengan data pembanding.
Preventif atau Reaktif?
Ketika menuliskan artikel ini, saya sempat mendengar ulasan di televisi ketika pengamat terorisme mengatakan bahwa tujuan panggung terorisme sudah tercapai bila kejadian teror sudah berlangsung. Saya juga mendengar bahwa Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan menduga motif pelaku yang disinyalir merupakan bagian dari kelompok ISIS itu adalah untuk menunjukkan keberadaan mereka.
Dugaan seperti itu tidak jauh berbeda dengan artikel dari website BBC.com berjudul "Mewaspadai kemungkinan Indonesia jadi target serangan ISIS" 23 November 2015 lalu. Artinya tidak mudah mengantisipasi kejadian aktual bila melihat titik tertentu secara fokus. Lalu lihatlah artikel dari Kompas.com dengan judul Australia: ISIS Incar Indonesia sebagai Sebuah "Khalifah Jauh" pada hari selasa 22 Desember 2015. Adakah korelasinya dengan kejadian saat ini? Kalau sempat, bacalah komen dari pembaca. Pendapat anda akan berbeda jika anda membaca artikel tersebut pada tahun lalu dibanding dengan hari ini bukan?
Sebagai manusia kita memang mendasari respon kita berdasarkan reaksi emosional. Dan itulah yang bisa mengaburkan kejelasan penilaian jika menggunakan manusia untuk mengambil keputusan tanpa data yang akurat. Bagaimana bisa akurat jika data yang tersedia tidak cukup meyakinkan? Data yang bagaimana yang bisa meyakinkan? Bagaimana mengukurnya? Hal-hal seperti inilah yang harus dipersiapkan dalam membangun sistem deteksi dini untuk terorisme tadi. Belum lagi dengan jumlah data yang sangat besar dan nyaris tak bisa dikerjakan tanpa teknologi bigdata.
Saat ini Jakarta dalam keadaan siaga 1. Dan aparat kepolisian di seluruh Indonesia berjaga untuk mengantisipasi dan mengendalikan keamanan dalam negeri. Sampai kapan dan bagaimana selanjutnya kita bersiap dengan kemungkinan serangan teroris. Apakah masih akan ada lagi? Kalau ya, kapan dan dimana? Inilah tujuan dari teror itu sebenarnya. Membuat suasana mencekam. Terlepas dari keyakinan bahwa negara kita tetap aman dan kondusif, tidak bisa dipungkiri bahwa aksi terorisme itu membuat kita semua sebagai anak bangsa berpikir bukan? Kenapa bisa terjadi lagi?
Tanpa mengurangi rasa hormat atas kesigapan aparat, perlu dievaluasi tindakan preventif selanjutnya yang bisa digunakan sebagai upaya meminimalkan munculnya serangan teroris. Belajar dari kasus munculnya ISIS dan pola penyebarannya ke Indonesia perlu menjadi perhatian pihak kepolisian dan intelijen. Sekilas secara ekonomi dan sosial Indonesia belum masuk ke zona merah yang menjadi target teroris. Lalu kenapa bisa terjadi kejadian pemboman?
Data dari Global Terorism Index 2015 memberikan skor 4.755 untuk Indonesia dan bertengger di peringkat 33. Satu tingkat diatas negara Algeria dengan skor 4.75 di peringkat 34. Dibanding dengan Malaysia di skor 3.579 di peringkat 49, maka negara kita lebih terpengaruh dengan aktivitas terorisme. Skor ini didasarkan skor tertinggi 10 dimana sangat berdampak dan skor 0 dimana tidak ada dampak. Jadi kesimpulan dari laporan itu, kita berada di level cukup berbahaya. Tapi apa faktor penyebabnya?
Dari laporan GTI 2015 tersebut juga didapatkan penemuan kunci bahwa kegiatan terorisme terkait dengan skala teror politik. Kutipan dari laporan tersebut:Â Sekitar 55 persen dari semua serangan teroris antara tahun 1989 dan 2014 terjadi di negara-negara yang pada saat itu berada dalam periode kekerasan konflik internal. Tambahan 33 persen terjadi di negara-negara yang
terlibat dalam konflik sipil yang melibatkan kekuatan internasional.
Ada yang poin yang menarik dari laporan tersebut: Kegiatan teroris sangat berkorelasi ke tingkat teror politik dan
konflik kekerasan. Sembilan puluh dua persen dari semua serangan sejak tahun 1989 terjadi di negara-negara dengan tingkat tinggi akan teror politik. Sejak tahun 1989, 88 persen dari semua serangan teroris terjadi di negara-negara yang mengalami atau terlibat dalam konflik kekerasan. Dengan dasar dari poin itu, menurut anda konflik kekerasan apa yang terjadi di Indonesia? Teror politik apa yang bisa kita simpulkan di sekitar kita?