Sumber gambar: AP / VERI SANOVRI - Kompas.com
Tulisan ini saya tuangkan sebagai bentuk keprihatinan saya terhadap tragedi yang menimpa bangsa kita dengan adanya peledakan bom di Jakarta. Saya geram dengan tindakan teroris dan melalui tulisan ini saya memberikan keterlibatan saya dengan menjelaskan sebuah alternatif solusi preventif yaitu membangun sebuah sistem deteksi dini terorisme.
Sebagai seorang praktisi IT dan akrab dengan teknologi terbaru di bidang teknologi informasi, saya menyadari bahwa kemampuan teknologi saat ini sudah mampu digunakan dan dimanfaatkan untuk memerangi terorisme. Sebagai sebuah kegiatan terencana, terorisme bukanlah sebuah perilaku yang tidak memiliki pola tertentu (behaviour pattern). Sebaliknya, pola terorisme sangat terencana dan rinci. Pola ini bisa dideteksi sejak dini dan saat ini dengan teknologi Big Data dan implementasi Predictive Analytics. Saya akan menjelaskan manfaat kedua teknologi ini dengan bahasa awam dan analogi sederhana agar bisa dimengerti dengan mudah oleh pembaca Kompasianer.
Bigdata & Predictive Analytics
Banyak diantara anda pasti sudah pernah mengenal term bigdata (baca penjelasan menurut Wikipedia). Saat ini dunia bisnis sedang hangat-hangatnya menggunakannya dalam merevolusi kegiatan bisnis. Hanya saja implementasinya untuk keamanan dan dunia intelijen serta pencegahan teroris masih kurang mendapatkan perhatian yang cukup. Padahal sebenarnya dengan teknologi bigdata saat ini sudah mampu meminimalkan peluang terorisme untuk tumbuh subur dan meluas.
Beberapa negara sudah melakukannya seperti Amerika Serikat dan Israel juga negara di Eropa (silahkan baca referensi tambahan yang ringan: Big Data Will Effectively Fight Terrorism In The World). Hasilnya? Cukup dianggap sukses. Namun anda jangan berharap bahwa sistem ini diekspose secara terbuka ke publik. Sistem ini tertutup dan masuk kategori rahasia. Bagaimana saya tahu? Bagi praktisi yang bermain di area IT khususnya security hal ini masih bisa dijejak dan karena alasan itulah saya membagi pengetahuan ini agar para Kompasianer dan pembaca yang mungkin juga sebagai praktisi IT atau bergelut di bidang data science/statistik mau menoleh dan jika memungkinkan terlibat.
Bagaimana mendeteksi terorisme dengan bigdata? Sederhananya dengan menggabungkan data pengamatan dari berbagai sumber informasi seperti sosial media, search engine, blog, website, data kebiasaan dan juga data dari jejak smartphone. Tentu data ini digabungkan dengan data lain seperti data kriminal, data intelijen dan berbagai data sensitif yang hanya dimiliki lembaga negara tentunya.
Dengan teknologi bigdata, aliran data yang luar biasa banyaknya itu dapat dipilah dan dicari hubungannya. Kalau menggunakan tenaga dan pikiran manusia maka nyaris tidak mungkin dan kalaupun dipaksakan akan memakan waktu yang sangat lama. Untuk mencari hubungannya dengan cepat dan terukur, maka digunakanlah metode analisis peramalan (predictive analytics). Contoh bigdata? Yang pasti anda kenal seperti data perbankan. Yang mungkin bisa anda tebak, video di Youtube, berbagai data user di facebook. Tidak semua data bisa dijejak atau direkam. Banyak juga yang tidak bisa disimpan dan harus diproses secara real-time. Tapi dalam banyak kasus, banyak juga data tidak diproses karena memang dianggap tidak penting. Kalau tidak diproses ya hilang begitu saja. Anda akan mengerti maksud saya di pembahasan berikutnya. Saya kira cukup anda mengenal sekilas tentang bigdata.
Sekarang kita senggol mengenai Predictive Analytics atau analisis peramalan. Bukan meramal masa depan ala dukun atau paranormal lho ya. Yang dimaksud dengan analisis peramalan adalah metode belajar dengan memanfaatkan berbagai insiden masa lalu untuk menggunakan tingkat presisi dan akurasi dari kemungkinan terjadinya insiden serupa di masa mendatang. Metode ini menggunakan analisis statistik untuk mengekstrak informasi dari kumpulan data untuk mengungkap pola dan tren. Prinsip dasar analisis prediktif adalah penggunaan model atau algoritma yang dapat menggabungkan berbagai data, kalkulasi matematika dan juga teknik kecerdasan buatan (artificial intelligence) untuk membuat fungsi antara hasil (contohnya serangan teroris) dan berbagai variabel data sebagai item indikator. Dengan kata lain pakar statistik atau yang suka bermain dengan data mining/data science yang bisa melahap masalah seperti itu.
Nah, sudah ada ada yang mengurus hardware dan sistemnya dan ada yang khusus menyusun model algoritma atau modelnya, apakah sudah selesai? Belum. Masih harus ada yang harus menangani masalah yang dibahas, dalam hal ini yaitu pakar subjek tertentu. Kalau melihat kasus terorisme ya pakar teroris, kriminal, kejahatan terorganisir, dsb. Gabungan dari ketiga bagian itulah yang bisa membentuk sistem dengan tujuan tertentu (bisa jadi sistem intelijen bisnis misalnya, fraud dan deteksi wabah).
Kalau anda sampai disini masih bingung, tenang saja. Saya akan memberikan penjelasan lanjutan. Memang tidak mudah menjelaskan kompleksitas bigdata dan analisis peramalan, tapi jika anda baca sampai akhir, saya yakin perspektif anda akan lebih luas dan pemahaman anda akan bertambah.
Sebagai acuan dasar, analisis peramalan bukanlah membahas tentang sebab-akibat tapi lebih kepada korelasi. Contohnya jika anda pernah berbelanja di toko online seperti Amazon, maka kunjungan anda berikutnya akan disambut dengan penawaran dari berbagai barang yang ada "korelasinya" dengan barang yang pernah anda beli bukan. Mesin analitik Amazon meramalkan bahwa anda akan lebih berpotensi membeli barang yang ada korelasinya dengan barang terdahulu. Contoh sederhana ini sudah bisa memberikan anda pemahaman bahwa analisis peramalan seperti itu bisa dimanfaatkan bukan? Anda sebagai customer tentu lebih terpengaruh dengan penawaran yang diberikan. Ini adalah contoh implementasinya ke bidang data mining atau kategori intelijen bisnis. Perilaku pelanggan bisa ditebak atau diramalkan dengan dasar data yang terekam dan dianalisa oleh sistem komputer.
Dari mana mesin analitik itu bisa memahami perilaku kita? Mesin itu merekam jejak aktivitas dan berbagai data kita selama melakukan aktivitas online. Jam berapa anda online, berapa lama anda di halaman tertentu melihat produk tertentu, dsb. Bila kita hubungkan dengan kegiatan terorisme: Gantilah anda sebagai pelanggan menjadi individu pelaku teroris, maka mesin itu juga berpotensi mengenal perilaku sebagai teroris dan mencatat tren dan pola yang mereka lakukan. Saya harap anda lebih mengerti sampai disini.
Ingat, pelaku teror - seperti kita semua - juga meninggalkan berbagai jejak data. Contohnya rekaman video Al-qaeda dan ISIS. berbagai tulisan di blog dan forum. Belum lagi tweet dan aktivitas media sosial lainnya. Mereka sudah memanfaatkan teknologi informasi dalam hal komunikasi dan marketing "kegiatan" mereka. Di mata orang awam data itu tentu tidak bisa diekstrak tren dan polanya. Anda hanya melihat/menonton konten tertentu saja. Otak manusia memiliki keterbatasan mengolah data dalam jumlah besar. Tapi bagi mesin komputer dengan menggunakan algoritma dan pemodelan analisis tertentu seperti analisis peramalan, maka akan didapat informasi "tertentu" yang unik dan pentingf. Pola dan tren inilah yang akan dikorelasikan dengan berbagai data terkait lainnya. Kalau ada korelasi atau kesamaan pola, maka kemungkinan kejadian yang mirip atau aktivitas sejenis akan besar potensinya untuk terjadi di masa depan.
Saya akan berikan satu contoh lagi agar anda lebih paham akan konteks korelasi di analisis peramalan. Kali ini dengan menggunakan mesin pencarian Google dan kemampuannya meramalkan wabah flu. Kok bisa? Apakah mesin pencari Google bisa menggantikan dokter atau ahli kesehatan? Tidak seperti itu pengertiannya. Ternyata melalui penelitian, ditemukan korelasi kuat bahwa ketika pengguna internet menggogling keyword yang berhubungan dengan penyakit flu meningkat tajam dan meluas di area tertentu maka wabah flu segera mengikuti beberapa hari kemudian di area tersebut. Kini lembaga kesehatan Amerika sudah mengantisipasi kemungkinan terjadinya wabah flu begitu indikator penggunaan keyword tadi mencapai level tertentu. Hasilnya? Penanganan lebih cepat, dan korban wabah pun bisa diminimalkan.
Implementasi bigdata dan predictive analytics juga bisa untuk berbagai bidang lainnya seperti pertanian atau pengendalian harga pangan misalnya. Jadi masalah terorisme hanya satu aspek yang bisa ditangani dengan bigdata dan analisa peramalan.
Penyadapan atau Pencegahan Terintegrasi?
Saya bisa memahami keinginan dari Bang Bo dalam tulisannya "Perlukah Negara Melakukan Penyadapan Demi Mencegah Teror?" agar negara melakukan aktivitas penyadapan. Tapi apakah efektif? Mungkin sampai level tertentu iya. Selain berpotensi melanggar undang-undang privasi warga negara, walau demi alasan keamanan dan penanganan terorisme cara ini bisa diterima, cara ini akan menimbulkan banyak ekses jika tidak dilakukan dengan hati-hati.
Saya khawatir, bila praktik penyadapan dilakukan, maka potensi masalah akan banyak muncul di masa depan. Penyadapan memang satu bentuk tindakan pencegahan tapi akan diikuti dengan berbagai masalah lanjutan seperti: siapa saja yang mau disadap? Apa ketentuan dan aturannya? Apa dan bagaimana memanfaatkan informasi yang didapat? dsb. Katakanlah kita mengabaikan masalah tersebut dan negara sepakat untuk lanjut.: Sering sekali dengan sistem organisasi / jaringan sel teroris yang bersifat terpisah dan otonom maka koneksi antar kelompok terputus. Hal ini akan menyulitkan pemerintah mendeteksinya dan kembali lagi jalan buntu bisa muncul.
Ingat dengan contoh pengguna yang menggogling keyword flu tadi? Katakanlah kita berhasil mendeteksi beberapa pengguna (dalam contoh ini kita anggap berhasil disadap dan yang dicurigai sebagai calon teroris) maka seberapa luas kita bisa mengantisipasi wabah flu? Kecil bukan? Bisa jadi kita curiga tapi belum yakin. Kita tidak bisa hanya fokus ke kelompok tertentu saja (area kecil) tapi harus bisa melihat gambaran yang besar / keseluruhan juga.
Dengan model melihat gambaran besar, kalau kita bisa melihat pencarian yang meningkat tajam dalam waktu tertentu (bukan penyadapan) dengan cara menangkap berbagai data pencarian secara masif maka tidak hanya bisa menebak akan ada flu (tindakan teror) juga jenis penyakit flu apa yang dihadapi (dalam hal ini mungkin isu lokasi, model aktivitas, dan berbagai informasi penting lainnya). Data yang ditangkap ini akan dibandingkan dengan data lain yang diperoleh dari kepolisian misalnya. Profil dan catatan kriminalitas anggota teroris bisa dikorelasikan dengan ciri-ciri aktivitas yang muncul. Bisa pula dikuatkan dengan laporan dari masyarakat atau bentuk informasi lainnya yang pada umumnya tidak dianggap penting karena tidak diketahui apa korelasinya secara langsung.
Masih ingatkah anda bahwa aktivitas teror di Indonesia pernah didanai dari hasil perampokan? Apakah ada korelasi tindakan perampokan di berbagai tempat dengan pendanaan terorisme saat ini? Apakah kita hanya mencurigai pendanaan dari pihak asing saja? Alih-alih menduga-duga, kenapa tidak mencari korelasi antara tindakan kriminal tertentu dengan aktivitas terorisme?
Apakah ada korelasi antara terorisme saat ini yang kembali muncul dengan munculnya wabah radikalisme dan intoleransi di tengah masyarakat? Saya tidak menuduh bahwa organisasi tertentu atau aktivitas individu tertentu langsung terkait. Tapi menarik sekali melihat kemungkinan korelasi antara "tingkat keresahan sosial" masyarakat Indonesia dengan terorisme. Belum lagi bila kita sedikit waspada dan perhatian dengan kejadian seperti berita "Kapolda Metro Sebut Ada 46 Anggota ISIS yang Kembali ke Indonesia" di Kompas.com, rabu 18 November 2015 lalu. Siapa saja mereka? Kemana mereka pulang dan apa saja aktivitasnya? Kalau ada, lalu apa saja kaitannya dan bentuk keterlibatan aktifnya?
Atau bagaimana kita bisa menghubungkannya dengan kejadian masa lalu seperti yang tercatat di artikel Kompas.com, khamis 12 Desember 2012 dengan judul "Terorisme 2012: Selnya Masih Aktif dan Kian Subur"? Menarik bukan? dua artikel itu hanya contoh sebuah titik yang mungkin terhubung dengan titik terorisme saat ini. Dulu mungkin tidak kita sadari. Tapi sekarang? Apa ciri dari kedua aktivitas tersebut? Apa kaitannya? Pola dan trend yang tercatat seperti apa? Apakah ada korelasi kuat? Ingat dengan acuan dasar di awal tadi? Tentu kita tidak bisa mengukurnya hanya dengan data dari 2 artikel tersebut. Tapi, bisa jadi banyak kejadian, berita, tweet di media sosial, yang bisa jadi dasar acuan atau korelasi penting sehingga kita bisa mendeteksi lebih dini sebuah kegiatan yang berpotensi dilakukan kelompok teroris. Bukan berarti kita pasti bisa meramalkan kapan terjadinya atau dimana, tapi lebih kepada "merasakan" bahwa akan ada kejadian. Disinilah pihak keamanan bisa memperketat pengamanan.
Banyak studi mendapat data empirik bahwa tindakan terorisme memiliki pola dan ciri tertentu sebelum melakukan aksinya. Namun ciri dan pola ini sulit dideteksi bila dengan menggunakan cara lama. Penggunaan bigdata dan predictive analytics sekalipun tidak menjamin sepenuhnya bisa menghilangkan terorisme. Tapi cara ini diharapkan bisa meminimalkannya dengan cara mendeteksi dari dini. Keputusan akhir tetap ada pada manusia sebagai pelaku.
Dengan membangun sistem deteksi dini terorisme ini bukan berarti teror akan bisa segera dilawan atau direspon seketika. Upaya membangun sistem adalah tindakan pencegahan yang bijak dan membutuhkan proses yang dinamis. Banyak yang perlu dipersiapkan. Selain mempelajari pola dan gaya terorisme di Indonesia dan "korelasinya" dengan terorisme global, kita juga bisa mempelajari kelemahan dan kekurangan dari sistem intelijen dan keamanan kita selama ini. Pemerintah bisa mengupgrade infrastruktur keamanan intelijen misalnya. Aparat keamanan bisa lebih terintegrasi dengan lembaga terkait lainnya dalam kerjasama pencegahan karena dengan sistem ini semua data terkait terorisme mulai dari profil, lokasi, ciri organisasi, kebiasaan dan pola perekrutan bisa dikaitkan dengan kejadian yang terjadi di masyarakat, di lokasi tertentu, pada event tertentu, dsb.
Pembangunan sistem deteksi dini terorisme ini hanya bisa dilakukan oleh negara. Selain berbiaya besar karena membutuhkan infrastruktur yang banyak, untuk mendapatkan hasil yang presisi juga harus disandingkan dengan data sensitif dari berbagai lembaga lainnya seperti kepolisian, intelijen dan juga seperti perbankan, kependudukan misalnya. Perusahaan swasta yang memiliki modal besar sekalipun belum tentu bisa membuatnya tanpa data penting tadi. Jadi, walaupun aliran data dari berbagai sumber bisa ditangkap, maka "korelasi" tidak akan didapat dengan keakuratan yang bisa dibuktikan bila tidak dibandingkan dengan data pembanding.
Preventif atau Reaktif?
Ketika menuliskan artikel ini, saya sempat mendengar ulasan di televisi ketika pengamat terorisme mengatakan bahwa tujuan panggung terorisme sudah tercapai bila kejadian teror sudah berlangsung. Saya juga mendengar bahwa Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan menduga motif pelaku yang disinyalir merupakan bagian dari kelompok ISIS itu adalah untuk menunjukkan keberadaan mereka.
Dugaan seperti itu tidak jauh berbeda dengan artikel dari website BBC.com berjudul "Mewaspadai kemungkinan Indonesia jadi target serangan ISIS" 23 November 2015 lalu. Artinya tidak mudah mengantisipasi kejadian aktual bila melihat titik tertentu secara fokus. Lalu lihatlah artikel dari Kompas.com dengan judul Australia: ISIS Incar Indonesia sebagai Sebuah "Khalifah Jauh" pada hari selasa 22 Desember 2015. Adakah korelasinya dengan kejadian saat ini? Kalau sempat, bacalah komen dari pembaca. Pendapat anda akan berbeda jika anda membaca artikel tersebut pada tahun lalu dibanding dengan hari ini bukan?
Sebagai manusia kita memang mendasari respon kita berdasarkan reaksi emosional. Dan itulah yang bisa mengaburkan kejelasan penilaian jika menggunakan manusia untuk mengambil keputusan tanpa data yang akurat. Bagaimana bisa akurat jika data yang tersedia tidak cukup meyakinkan? Data yang bagaimana yang bisa meyakinkan? Bagaimana mengukurnya? Hal-hal seperti inilah yang harus dipersiapkan dalam membangun sistem deteksi dini untuk terorisme tadi. Belum lagi dengan jumlah data yang sangat besar dan nyaris tak bisa dikerjakan tanpa teknologi bigdata.
Saat ini Jakarta dalam keadaan siaga 1. Dan aparat kepolisian di seluruh Indonesia berjaga untuk mengantisipasi dan mengendalikan keamanan dalam negeri. Sampai kapan dan bagaimana selanjutnya kita bersiap dengan kemungkinan serangan teroris. Apakah masih akan ada lagi? Kalau ya, kapan dan dimana? Inilah tujuan dari teror itu sebenarnya. Membuat suasana mencekam. Terlepas dari keyakinan bahwa negara kita tetap aman dan kondusif, tidak bisa dipungkiri bahwa aksi terorisme itu membuat kita semua sebagai anak bangsa berpikir bukan? Kenapa bisa terjadi lagi?
Tanpa mengurangi rasa hormat atas kesigapan aparat, perlu dievaluasi tindakan preventif selanjutnya yang bisa digunakan sebagai upaya meminimalkan munculnya serangan teroris. Belajar dari kasus munculnya ISIS dan pola penyebarannya ke Indonesia perlu menjadi perhatian pihak kepolisian dan intelijen. Sekilas secara ekonomi dan sosial Indonesia belum masuk ke zona merah yang menjadi target teroris. Lalu kenapa bisa terjadi kejadian pemboman?
Data dari Global Terorism Index 2015 memberikan skor 4.755 untuk Indonesia dan bertengger di peringkat 33. Satu tingkat diatas negara Algeria dengan skor 4.75 di peringkat 34. Dibanding dengan Malaysia di skor 3.579 di peringkat 49, maka negara kita lebih terpengaruh dengan aktivitas terorisme. Skor ini didasarkan skor tertinggi 10 dimana sangat berdampak dan skor 0 dimana tidak ada dampak. Jadi kesimpulan dari laporan itu, kita berada di level cukup berbahaya. Tapi apa faktor penyebabnya?
Dari laporan GTI 2015 tersebut juga didapatkan penemuan kunci bahwa kegiatan terorisme terkait dengan skala teror politik. Kutipan dari laporan tersebut:Â Sekitar 55 persen dari semua serangan teroris antara tahun 1989 dan 2014 terjadi di negara-negara yang pada saat itu berada dalam periode kekerasan konflik internal. Tambahan 33 persen terjadi di negara-negara yang
terlibat dalam konflik sipil yang melibatkan kekuatan internasional.
Ada yang poin yang menarik dari laporan tersebut: Kegiatan teroris sangat berkorelasi ke tingkat teror politik dan
konflik kekerasan. Sembilan puluh dua persen dari semua serangan sejak tahun 1989 terjadi di negara-negara dengan tingkat tinggi akan teror politik. Sejak tahun 1989, 88 persen dari semua serangan teroris terjadi di negara-negara yang mengalami atau terlibat dalam konflik kekerasan. Dengan dasar dari poin itu, menurut anda konflik kekerasan apa yang terjadi di Indonesia? Teror politik apa yang bisa kita simpulkan di sekitar kita?
Kesimpulan lain yang menarik adalah bahwa di negara maju faktor-faktor seperti pengangguran kaum muda, tingkat kepercayaan pers, keyakinan demokrasi, kejahatan narkoba dan sikap terhadap imigrasi berkorelasi signifikan dengan skor di laporan GTI.
Sementara di negara berkembang, faktor negara seperti sejarah konflik bersenjata, konflik yang sedang berlangsung di dalam
negara, korupsi dan lemahnya lingkungan bisnis yang sehat memiliki korelasi. Selain teror politik, rendahnya penegakan hak asasi manusia, kebijakan dan kebebasan beragama, ketidakstabilan politik juga menyumbang korelasi dengan munculnya terorisme.
Menurut anda, negara kita masuk kategori mana?
Bila anda menjadi salah satu penentu keputusan di negeri ini, bukankah data dari Global Terorism Index bisa dijadikan acuan awal dalam mencari korelasi untuk kejadian terorisme di Indonesia? Jadi kita tidak hanya melihat kehebohan pihak keamanan saja setelah kejadian berlangsung.Kita tidak perlu disuguhi siaran berulang-ulang seperti layaknya sinetron demi memuaskan rating televisi atau memancing perhatian publik tanpa ada pemahaman untuk apa kejadian itu diputar berulang kali.
Bila mau jujur, beberapa poin dari laporan GTI tersebut menggambarkan kondisi Indonesia saat ini bukan? Membuktikannya gampang kok. Buka saja twitter atau facebook anda dan lihat pesan yang sesuai dengan gambaran tersebut. Seakan-akan kita diletakkan pada kondisi "kurang nyaman". Benarkah negara kita tidak nyaman?
Dengan kejadian pemboman itu, teroris berencana untuk menancapkan rasa tidak nyaman. Apakah mereka berhasil? Saya berharap tidak. Tapi yang terpenting bagi kita semua adalah: apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah atau setidaknya meminimalkan penyebaran terorisme? Dan apa solusi untuk itu? Sebagai pelaku IT saya memberikan ide membangun sistem deteksi dini berbasis bigdata dan predictive analytics. Selain lebih terukur, juga bisa memperkuat sistem intelijen sekaligus menjadi early warning system bagi keamanan dalam negeri.
Penutup
Yang terjadi saat ini adalah penyakit "cocokologi". Semua dicocok-cocokkan dan semua dibalut cerita konspirasi. Hanya memuaskan emosi sesaat tanpa ada solusi. Mulai dari isu masalah freeport sampai kelengahan aparat keamanan. Selain tidak terukur dan tidak ada dasar/bukti empirik, masalah terorisme akan terus muncul jika kita tidak bisa mengantisipasinya dengan baik dan benar. Ironisnya, kejadian teror di Jakarta ini akan berpotensi dilupakan dalam masa 30 hari kedepan. Diganti dengan kejadian lain yang akan diputar ulang berkali-kali lagi. Lalu apa yang kita pelajari dari kejadian ini?
Seperti biasa: Kita akan cari kambing hitam! Acara tuding menuding pun mulai lagi.
Janganlah kita hanya bisa mengecam dan menyalahkan orang lain. Menganggap pemerintah lamban, aparat keamanan tidak sigap, BIN kecolongan. Semua tudingan itu bukanlah solusi. Saya kira lebih memuaskan emosi. Tanpa dituding pun, kejadian itu sudah menampar wajah mereka. Lebih penting introspeksi: mengapa bisa terjadi lagi?
Anggaplah negara tertarik membangun sistem deteksi dini untuk terorisme. Apakah sistem ini tidak bisa salah mendeteksi? Tidak ada sistem yang sempurna, dan memang sistem ini bukan ditujukan untuk meramalkan dengan sangat akurat. Sistem deteksi ini mencegah akibat yang lebih parah dan meluas. Dan sistem ini dinamis karena terus akan mempelajari tren dan pola yang terjadi di tengah masyarakat. Dengan kata lain, sistem ini akan terus "belajar" memahami. Selayaknya kita sebagai mahluk cerdas, kecerdasan buatan yang ditanamkan di sistem ini hanyalah sebagai alat bantu saja.
Rasanya muak melihat negara kita dikacaukan dengan berbagai tindakan teror yang kembali terulang. Semoga tulisan ini bisa menjadi awal bagi kita sebagai anggota publik untuk menyuarakan agar pemerintah mau bergegas. Salah satunya adalah memanfaatkan teknologi bigdata dan implementasi predictive analytics sebagai fondasi awal membangun sistem deteksi dini terorisme di negara kita.
Teknologi sudah didepan mata, anggaran negara bisa disediakan, tenaga muda kreatif dengan skill yang mumpuni ada, lalu apa lagi ditunggu? Aksi terorisme berikutnya?
Â
Perlu artikel yang lebih fokus ke topik & contoh kasus? Baca disini: Big Data Helping to Pinpoint Terrorist Activities, Attacks (UPDATED)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H