Mohon tunggu...
SAMUEL AGUS SANTOSA
SAMUEL AGUS SANTOSA Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Merupakan mahasiswa FISIP UNDIP Political dan Government Science yang memiliki banyak keresahan-keresahan dan mencoba menuangkannya dalam tulisan. Semoga bermanfaat kirim komentar, kritik, dan saran. God Bless You

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Aku Beragama?

29 Maret 2020   03:00 Diperbarui: 29 Maret 2020   04:12 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada yang atas nama Tuhan melecehkan Tuhan, ada yang atas nama negara merampok negara, ada yang atas nama rakyat menindas rakyat, ada yang atas nama kemanusiaan memangsa manusia. 

Sebuah petikan dari bait puisi karangan K.H Mustofa Bisri atau akrab disapa Gus Mus ditulis di Rembang tahun 1997, merepresentasikan fenomena yang terjadi belakangan ini—sungguh ironi. Hal ini tercermin pada fenomena penggusuran rumah ibadah, sweeping acara keagamaan yang mana perilaku tersebut tidak bisa dibenarkan sekalipun mengatasnamakan agama. 

Kesimpulannya agama hanya sebuah alat yang menjustifikasi atau membenarkan sebuah tindakan yang justru melenceng dari esensi agama sesungguhnya, namun ketika semuanya itu dilandaskan “atas nama agama” semuanya seakan berubah 180 derajat menjadi benar, sungguh memprihatinkan.

Lantas mengapa kita beragama?—sebuah pertanyaan fundamental yang berangkat dari keresahan akan fenomena agama hari-hari ini. Penulis secara pribadi tidak terlalu senang dengan istilah “agama”, karena menurut penulis istilah “agama” sudah kehilangan pemaknaan yang substansial.

Hal ini dikarenakan banyak fenomena kurang terpuji yang mengatasnamakan agama. Istilah “agama” seakan menjadi “embel-embel” terhadap segala kegiatan kurang terpuji yang dilakukan oknum—istilah agamapun hambar rasanya.

Bagi penulis yang memiliki latar belakang kristen, lebih senang menyebut dirinya pengikut kristus atau kekristenan, ketimbang agama. Sebab citra dari istilah “agama” telah dirusak—bahkan oleh manusia yang memiliki agama itu sendiri.

Bagi penulis arti kekristenan adalah cinta kasih. Tuhan menciptakan manusia karena cinta kasih dan untuk menjadi sasaran dari kasih Tuhan. Oleh karenanya ada perintah untuk mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama. Manusia yang mula-mula dikasihi oleh pencipta-Nya dan sekarang memiliki tugas untuk mengasihi pencipta-Nya sekaligus sesamanya. Penulis berpendapat bahwa semua agama atau keyakinan mengajarkan hal yang sama, yakni cinta kasih.

Ketahuilah bahwa manusia terbentuk mula-mula dari debu tanah yang oleh cinta kasih sang pencipta dihembuskan nafas hidup. Tuhan yang maha cinta kasih itu menjadikan manusia sebagai sasaran kasih. 

Kemudian diciptakan juga seorang perempuan dari tulang rusuk laki-laki, agar manusia tersebut juga dapat mengasihi sesama manusia. Manusia belajar mencintai melalui cinta kepada manusia lainnya, namun juga belajar mengasihi penciptanya yang tidak terlihat melalui keyakinan dan imannya.

Jika manusia lahir dari cinta kasih dan lebih dari itu adalah sasaran dari cinta kasih sang pencipta, maka seharusnya apa yang dilakukan manusia tidak melenceng dari semua itu. Namun kenyataanya hal itu lantas tidak berlaku begitu saja—seperti hukum alam atau fisika, ada kepastian akibat sebuah konsekuensi logis di dalamnya—tidak secara otomatis berlaku demikian.

Lantas apakah kita makhluk cinta kasih namun kehilangan cinta kasih?, silahkan kita berefleksi pada diri masing-masing. Faktanya banyak kejahatan yang tanpa belas kasih yang terjadi sekarang ini.—kasus mutilasi, penganiayaan, pembunuhan berencana—membuktikan bahwa agama, cinta, dan kemanusiaan tidak berjalan beriringan sebagaimana mestinya. 

Hal ini menjadi ironi yang sangat memprihatinkan. Lebih lagi di Indonesia yang mengakui secara legal dalam konstitusi bahwa negara mewajibkan warga negaranya mengakui ketuhanan yang maha esa, atau singkatnya beragama. Namun apa arti dari mutilasi, penganiayaan, dan pembunuhan berencana jika yang melakukan adalah orang “berTuhan” atau “beragama”.

Matinya cinta kasih adalah matinya kemanusiaan. Agama hanya alat yang “tidak mampu” menjadikan pengikutnya menyatakan cinta kasih kepada manusia lain. Lebih baik tidak beragama, namun tau cinta kasih dan kemanusiaan, daripada sebaliknya.

 Lantas bagaimana menghidupkan cinta kasih manusia yang sudah mati ini?. Perlu diketahui jika manusia melakukan tindakan brutal kepada manusia lainnya, maka sekali-kali jangan menyalahkan agama. 

Sebab bukan agama yang seharusnya menghidupi cinta kasih melainkan cinta kasih yang menghidupi agama. Bahkan manusia yang tidak beragama jika lebih memiliki cinta kasih, maka yang beragamapun perlu belajar kepadanya.

Cinta kasih adalah esensi dari kehidupan, tidak mungkin pencipta kita mencipta manusia lain bukan untuk dikasihi. Kita butuh mengasihi dan dikasihi, kenapa demikian?

Jika Pencipta kita saja menciptakan manusia untuk memberikan cinta kasih kepada manusia, serta manusia ciptaan diberi perintah untuk mengasihi penciptanya. Maka jelas hal itu juga berlaku bagi kita dan manusia lain.

Cinta kasih adalah nilai awal dan paling penting dari agama—tanpa cinta kasih Tuhan kepada manusia—barangkali kita akan dihukum-Nya karena dosa dan pelanggaran kita. Cinta kasih kepada Tuhan dan cinta kasih kepada sesama adalah output dari agama. Suatu kehidupan yang sungguh ideal jika cinta kasih tersebut dapat terwujud di masyarakat kita saat ini.

Selanjutnya setelah agama mendorong cinta kasih, agama juga mendorong kemanusiaan. Dalam istilah cinta kasih di dalamnya terselip kemanusiaan.

Bagaimana mungkin seseorang mengaku memiliki cinta kasih namun tidak memiliki kemanusiaan?—cinta kasih dan kemanusiaan selalu berjalan beriringan. Dan diantara kasih dan kemanusiaan ada hal yang menyatukan keduanya, yakni toleransi, toleransi adalah perekat cinta kasih dan kemanusiaan. Sebab toleransilah yang menjadikan cinta kasih dan kemanusiaan semakin bermakna.

Agama mendorong manusia mencapai hakikat hidup yang sesungguhnya. Sebab dalam agama diajarkan nilai nilai kebaikan, persaudaraan, harmoni. Itulah yang membuat manusia beragama akan mencapai titik ideal di dalam dirinya, yakni apa yang diajarkan agama kepadanya. Sebuah cita-cita yang dilandaskan pada ajaran agama akan membuat kehidupan di bumi jauh lebih baik.

Agama mendorong keteraturan di masyarakat. Nilai-nilai kebaikan yang bersumber dari agama membuat keteraturan dalam hubungan manusia dengan lingkungannya. Itu artinya agama mendorong kehidupan yang lebih baik. Sebuah keteraturan akibat kesadaran dari tiap-tiap individu yang memeluk keagamaannya tanpa paksaan, melainkan berdasarkan kebebasan dan kesadaran.

Agama menumbuhkan rasa empati dan simpati. Manusia beragama didorong untuk merasasakan apa yang sesamanya rasakan. 

Tidak heran kalau banyak bermunculan lembaga kemanusiaan yang berdiri atas pemrakarsa masyarakat beragama yang peduli terhadap korban bencana. Itu artinya agama mendorong agar pengikutnya saling berempati dan ikut merasakan apa yang orang lain rasakan.

Beragama bagi penulis adalah sebuah kebutuhan—kita butuh dicintai—bukan hanya oleh manusia, melainkan oleh pencipta kita. Disisi lain kita membutuhkan pencipta kita ditengah keterbatasan kita, manusia tidak mengetahui sepenuhnya apa yang ada di dalam dirinya, tetapi pencipta mengetahui—sebab Ia yang menciptanya. 

Analogi sederhananya adalah ketika manusia mencipta sebuah robot, maka disini manusia bertindak sebagai pencipta robot. Robot tersebut tidak tau sepenuhnya tentang dirinya, sekalipun telah ditanam sebuah kecerdasan buatan di dalam diri robot tersebut. 

Hanya pencipta robot tersebut yang mengetahui secara persis bagaimana sifat dan karakter robot tersebut. Begitupun manusia, ditengah keterbatasan manusia, manusia membutuhkan sang pencipta untuk menunjukkan segala hal yang tidak diketahui—bahkan terkait dirinya sendiri.

Bagi penulis agama bukan hanya sekedar ritual keagamaan, memang benar agama di dalamnya terdapat ritual keagamaan. Namun jika agama hanya dipandang demikian—menurut penulis—maka tidak ada gairah dalam menjalankan keagamaannya, sebab agama hanya dipandang sebagai sebuah aturan normatif. 

Melainkan bagi penulis agama adalah hubungan dengan pencipta. Perspektif agama sebagai hubungan memperkuat pernyataan yang penulis sampaikan di awal, yakni agama menghidupi cinta kasih. Dalam hubungan dengan pencipta, kita mengenakan cinta kasih sebagai penyatu hubungan tersebut. 

Nilai esensi dari hubungan adalah cinta kasih, jika hubungan sudah tidak menunjukkan cinta kasih, maka sebenarnya sudah tidak ada hubungan di dalamnya.

Dalam perspektif penulis bahwa agama dipandang sebagai hubungan, maka penulis berkeyakinan bahwa hal pertama yang perlu dilakukan manusia beragama adalah mengasihi Tuhannya. 

Namun yang sama dengan hal pertama adalah mengasihi sesamanya manusia. Manusia mengasihi Tuhannya berdasarkan keyakinan imannya, namun nilai praktisnya dilakukan kepada sesamanya manusia. Tidak mungkin manusia dapat mengasihi Tuhannya tanpa mengasihi ciptaan-Nya. Kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama selalu berjalan beriringan dan harmonis.

Memaknai Perbedaan

Perbedaan adalah sebuah keniscayaan, kita tidak dapat memungkiri perbedaan. Kemajemukan adalah kehendak Tuhan. Mengharapkan semuanya sama adalah tindakan yang bodoh. 

Bagian kita sebagai manusia adalah merayakan perbedaan dan kemajemukan yang terjadi—sebab bukanlah bunga yang berbeda warna justru saling melengkapi dan memperindah satu dengan yang lain, ketimbang bunga yang sama dan serupa. Menerima perbedaan sebagai inisiatif Tuhan, berbeda tidak selalu buruk, justru karena berbeda kita bisa saling bahu-membahu dalam menjalani kehidupan di dunia ini.

Memaknai perbedaan adalah kunci untuk hidup dalam kemajemukan, sadar kita berbeda dan setiap yang berbeda tidak harus disamakan, melainkan disikapi dengan bijak. 

Lantas sikap apa yang perlu kita tumbuhkan di kehidupan yang majemuk ini?—jawabannya adalah toleransi. Mungkin dari kita sudah sejak kecil di ajarkan tentang toleransi baik itu di sekolah maupun dalam keluarga kita. Namun dewasa ini terjadi pertentangan tentang sebenarnya toleransi itu yang bagaimana? 

Ada dikotomi kelompok yang berbeda dalam mendefinisikan toleransi. Kelompok pertama mengartikan bahwa toleranis adalah menghormati keyakinan orang lain, langkah konkritnya adalah mengucapkan selamat hari raya keagamaan kepada rekan kita yang berbeda keyakinan dengan kita. 

Kelompok lain mengartikan bahwa toleransi arti membiarkan atau tidak melakukan apa-apa terhadap keyakinan agama lain, Lakum Diinukum wa Liya Diin artinya bagimu agamamu, bagiku agamaku, berbeda dengan keyakinan kelompok yang pertama, kelompok ini justru berkeyakinan jika membiarkan agama lain adalah wujud toleransi. 

Dari kedua kelompok tersebut tidak dapat disimpulkan siapa yang benar dan siapa yang salah. Bahwa apa yang kedua kelompok yakini harus kita hormati, karena itulah ciri kedewasaan dalam menyikapi perbedaan. Bagi penulis sendiri arti toleransi adalah jika kita mampu berjalan dalam kemajemukan dan kita dapat merayakan, dan bahkan menikmati keberagaman tersebut.

“Tidak penting apa pun Agama atau Sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik buat semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu”. (Abdurahman Wahid). 

Dewasa ini dari kita kehilangan perspektif bahwa yang terpenting bukan agama, atau sukumu. Melainkan bagaimana perbuatanmu. Bagaimana orang berbakti kepada Tuhannya dapat tercermin melalui tindakannya. Jika manusia mengasihi Tuhannya maka hal itu akan tercermin dari akhlak dan perbuatannya kepada sesamanya.

Perbuatan dan akhlak yang baik akan menentukan bagaimana seseorang dipandang oleh lingkungannya. Perbuatan berbicara lebih keras daripada perkataan. Jika akhlak dan perbuatan kita baik maka lingkungan tempat tinggal kita juga akan memandangnya dengan baik, begitupun sebaliknya. Lebih lagi jika akhlakmu baik, orang tidak akan pernah tanya apa agamamu. Jadi yang terpenting bukan apa agamamu, ataupun sukumu. Melainkan akhlak dan perbuatanmu yang menentukan jati dirimu.

Selain toleransi dan akhlak yang baik, hidup dalam kemajemukan perlu untuk mengambil perspektif orang lain. Sederhananya adalah mengibaratkan diri kita sebagai orang lain, jika kita ada di posisi orang lain, maka bagaimana perasaan kita. Inti dari mengambil perspektif orang lain adalah pemahaman terhadap hakikat hidup manusia itu sendiri. 

Jika kita sadar bahwa perbedaan adalah keniscayaan, serta di dalam perbedaan ada nilai keindahan, maka kita mampu untuk mengambil perspektif orang lain, atau singkatnya memahami orang lain.

Muncul Gerakan Fundamentalis Agama yang Radikal

Dewasa ini muncul kaum fundamentalis agama radikal, munculnya gerakan ini adalah bentuk kekecewaan dengan fenomena yang terjadi sekarang ini. Globalisasi dan modernisasi terjadi secara masif dan tak terbendung. 

Globalisasi dan modernisasi membawa nilai rasionalitas dan sekuler, terkadang nilai rasionalitas tersebut bertabrakan dengan nilai-nilai keagamaan. Kaum fundamentalis agama merasa apa yang diyakininya, dewasa ini sudah tidak lagi dapat diterima oleh dunia yang bergerak dengan nilai-nilai baru akibat arus globalisasi dan modernisasi. 

Oleh karena itu kaum fundamentalis agama berniat untuk mengembalikan nilai-nilai kepada hal yang fundamental sesuai keyakinan mereka. Namun terkadang cara yang digunakan kaum fundamentalis ini terkesan radikal, bahkan menggunakan cara-cara kekerasan—dan tidak menutup kemungkinan mereka berafiliasi dengan gerakan terorisme.

Munculnya fundamentalis agama adalah bagian dari demokrasi, serta arus globalisasi dan modernisasi. Gerakan fundamentalis agama biasanya menggunakan ikatan ideologi yang berdasarkan agama. 

Doktrin ideologi merupakan basis keyakinan yang digunakan untuk memobilisasi massa dalam bentuk dukungan. Yang perlu diperhatikan oleh negara adalah ketika gerakan ideologi ini berusaha mengganti sistem pemerintahan yang sah dengan sistem yang mereka yakini. 

Dan cara yang mereka lakukan adalah dengan menggunakan kekerasan. Maka negara perlu melakukan tindakan polisional bagi kaum fundamentalis yang sampai pada titik.

Negara perlu menanggapi serius kaum fundamentalis yang sampai pada titik mengubah sistem pemerintahan. Tindakan polisional perlu dilakukan jika sampai pada titik negosiasi tidak dapat dijalankan. Namun penulis lebih menyarankan agar audiensi lebih diutamakan, sebagai langkah awal untuk membuka komunikasi dengan kaum yang terpapar radikal. Namun tindakan terakhir adalah polisional.

Selain itu negara perlu untuk menderadilakisasi kaum-kaum yang telah terpapar oleh radikalisme agar lebih moderat dalam berprinsip. Prinsip moderat atau lebih ketengah adalah sikap yang menunjukkan hidup dalam kemajemukan. 

Fundamentalisme agama bagi penulis adalah memaksakan prinsip yang pada dasarnya prinsip tersebut belum terbukti bisa untuk dijalankan pada tataran sistem pemerintahan. 

Keinginan kaum fundamentalis lebih menunjukkan sentimen dan kebenciannya terhadap keadaan saat ini, tanpa didasari basis tentang riset yang mendalam bahwa sebuah sistem layak untuk diganti dengan sistem yang mereka yakini.

Pada akhirnya konsekuensi dari demokrasi adalah globalisasi, modernisasi, serta keterbukaan dalam kanal-kanal komunikasi. Cara yang dipakai dalam mengantisipasi kaum fundamentalis haruslah menggunakan cara-cara demokrasi namun pada tataran tertentu perlu untuk represif, maka tindakan polisional memang tidak dapat dihindari. 

Bahwa sistem demokrasi belum sempurna, memang harus kita akui. Bahwa kaum fundamentalis lahir dari kekecewaan itu, mungkin dapat dikatakan sebagai sebuah kebenaran. Namun jika sudah sepakat dengan sistem demokrasi, maka konsekuensi logisnya yakni setiap tindakan negara, dalam hal ini adalah pemerintah haruslah sedemokrasi mungkin.

Agama dewasa ini menjadi alat politik

Sebagai bagian yang inheren dalam kehidupan masyarakat khususnya di Indonesia. Dewasa ini agama telah digunakan dalam “jualan” politik yakni untuk sarana kampanye. Sungguh riskan untuk mencampuradukkan politik dengan agama. 

Di Indonesia sendiri agama adalah isu yang jika digunakan positif akan menyatukan elemen bangsa, namun jika digunakan dengan tujuan negatif atau ada kepentingan yang mendasarinya, maka kita bisa lihat perpecahan yang terjadi pada elemen masyarakat.

Fakta bahwa fenomena agama yang menjadi alat politik dapat kita lihat pada pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017 lalu. Mengutip dari jurnal Critical Asian Studies “Freedom to hate: social media, algorithmic enclaves, and the rise of tribal nationalism in Indonesia” menjelaskan akibat buruk dari politik yang dibumbui dengan isu agama. 

Hal ini tercermin dari labbeling anti islam, kafir, yang serung muncul pada diskursus tentang pilkada DKI 2017. Selain itu di era sosial media yang semakin massif, efek dari pilkada DKI 2017 tersebut dengan cepat tersebar dan menjadi isu nasional.

Imbas dari agama yang masuk ke wilayah politik barangkali dapat kita rasakan hingga saat ini dan berpengaruh terhadap pemilihan presiden 2019 lalu, penulis berpendapat bahwa agama tidak secara otomatis masuk menjadi “jualan” dalam ranah politik. Melainkan ada aktor yang mengambil maslahat dari hal tersebut. Entah aktor tersebut berasal dari dalam negeri ataupun ada campur tangan asing yang mencoba mengadu domba sesama anak bangsa.

Imbas pilkada DKI Jakarta 2017 juga terjadi di pilpres 2019, meskipun tidak se-ekstrem pilkada DKI 2017. Diskursus dalam pilpres 2019 lalu juga dibumbui diksi-diksi—anti islam, pro khilafah, kafir, ulama post-islamisme—yang mana diksi-diksi tersebut sangat rentan untuk terjadinya perpecahan hingga di akar rumput. Kontestasi elektoral pilpres yang menggunakan isu agama sebagai alat politiknya adalah racun demokrasi. 

Di era keterbukaan informasi dan era sosial media apapun yang dikatakan oleh seseorang, lebih lagi seseorang tersebut memiliki pengaruh dan basis massa yang signifikan, informasi tersebut dapat tersebar secara cepat dengan bantuan teknologi informasi yang saat ini sangat memungkinkan. Masalahnya setiap orang memiliki interpretasi terhadap suatu hal yang dia lihat dan dengar, dan kita tidak dapat menyalahkan setiap interpretasi, sekalipun itu liar, dan bahkan sangat beralasan—dan itulah artinya kebebasan berpikir dan berbicara. 

Penulis berpendapat bahwa setiap pemimpin harus menjadi teladan bagi yang dipimpinnya, dalam hal berbicara dan bertindak, jika hal itu dilakukan maka barangkali tidak ada kegaduhan yang berarti, sebab pemimpin adalah role model yang dipimpinnya.

 Negara Indonesia sangat rentan untuk diadu domba dengan isu-isu agama dan rasial—konsekuensi dari negara majemuk. Perlu adanya sesuatu yang mengikat diatas kepentingan agama dan ras, dan kita sudah memiliki pancasila. Pancasila adalah ikatan fundamental yang berdiri diatas ras dan agama. Pancasila adalah tali pengikat yang kuat bagi kemajemukan dan keanekaragaman. 

Kita bersyukur bahwa kita memiliki pancasila yang ada sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia, pernyataan ini juga pernah disampaikan bung Karno, kita kenal bung Karno adalah tokoh dalam lahirnya pancasila. Namun kendati demikian bung Karnopun tidak menyatakan bahwa ialah menciptakan pancasila.

Melainkan bung Karno menggalinya dalam kehidupan masyarakat Indonesia, dan ketika bung Karno menggalinya, dia menemukan mutiara yang indah yang dikenal dengan pancasila.

Indonesia sebagai negara majemuk yang menggunakan sistem demokrasi berhasil melalui tantangan khususnya dalam isu agama dan ras pada pilkada DKI 2017 serta pilpres 2019 dengan baik. Meskipun begitu setiap hal yang dilakukan pasti mengundang konsekuensi logis di dalamnya. Harus kita akui bahwa dampak dari penggunaan isu agama dalam ranah politik sangat signifikan dalam hal perpecahan. 

Ada harga yang harus dibayar dengan menggunakan agama sebagai alat politik. Namun demikian kedewasaan masyarakat Indonesia telah agak baik dalam bersikap, setelah pilpres selesai tidak ada lagi yang menjadi jurang pemisah untuk saling bersilaturahmi. Mereka tetap berjalan dan beriringan sebagai sesama anak bangsa yang rindu untuk memajukan bangsanya.

Mencampur adukkan agama dalam politik adalah sesuatu yang riskan menyulut api perpecahan. Sebab kepentingan politik tidak mungkin untuk diakomodasi menggunakan nilai-nilai agama. Indonesia melalui pembelajaran dalam fenomena ini dan semakin dewasa sebagai sebuah bangsa yang majemuk. Penulis yakin bahwa ada hari depan yang cerah dari bangsa Indonesia, dan kita sudah menuju ke arah yang benar.

Toleransi sebagai buah dari kedewasaan hidup dalam kemajemukan 

Di akhir tulisan ini penulis ingin berbagi tentang toleransi dalam lingkup terkecil yakni keluarga. Penulis hidup dalam kemajemukan agama hal ini didasarkan pada latar belakang keluarga besar penulis yang lintas agama. 

Hal ini bukan halangan untuk saling mengasihi dan menguatkan, melainkan sebagai hal yang memperindah dalam sebuah hubungan kekeluargaan. Keindahan bukan didasarkan pada kesamaan, justru perbedaan itulah yang melengkapi dan mempercantik keindahan.

Perbedaan latar belakang pada keluarga besar penulis membuat penulis sudah terbiasa berhubungan karib dengan orang lintas agama. Pembelajaran yang sebaik-baiknya dan semulia-mulianya adalah dari keluarga. 

Hubungan lintas agama yang karib ini tercermin jika keluarga yang beragama muslim merayakan idul fitri maka penulis yang beragama kristen ikut memberikan selamat, dan ikut merayakannya. Hal itu menambah keanekaragaman sudut pandang dari penulis untuk memahami perspektif dari agama yang berbeda. 

Hal itu berlaku sebaliknya, jika penulis sedang merayakan hari raya natal, maka sanak saudara beragama muslim turut datang dan mengucapkan selamat natal. Ada kelompok yang beranggapan bahwa mengucapkan selamat natal melanggar syariat. Namun yang penulis ketahui bahwa keluarga besar saya menjalankan kewajiban agamanya dengan taat, mereka sembahyang dengan rutin. 

Apakah hanya karena keluarga besar penulis mengucapkan selamat natal kepada penulis maka apa yang dilakukan mereka—menjalankan kewajiban agamanya dengat taat—lantas dibatalkan begitu saja, hanya karena rasa simpati kepada keluarganya yang lintas agama.

Penulis tidak memiliki hak untuk menentukan hal berikut , hal itu adalah kedaulatan sang ilahi. Namun yang perlu digaris-bawahi bahwa sang ilahi menciptakan manusia berbeda, bahwa perbedaan adalah sebuah keniscayaan.

Akhirnya perbedaan bukan untuk ditakuti atau ditolak, bahkan sampai memiliki prinsip yang berbeda harus disamakan. Perbedaan adalah sebuah inisiatif dari sang ilahi. Tugas manusia adalah menghormati inisiatif dari Tuhan. Lantas bagaimana caranya?

Yakni dengan merayakan perbedaan itu sendiri. Berbeda itu indah. Mulai dari diri sendiri, jangan batasi diri untuk bergaul dengan komunitas yang homogen, melainkan lampaui batas-batas perbedaan itu sendiri. 

Jangan membuat batasan bahwa jika aku beragama x, maka aku harus berkawan dengan orang lain dari agama yang x juga. Melainkan berkawanlah dengan siapa saja yang menurut kita memiliki input yang baik. Jangan pernah takut untuk berbeda, penulis hidup dalam perbedaan, dan penulis menikmati perbedaan itu. Mari hidup berdampingan dan beriringan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun