Mohon tunggu...
SAMUEL AGUS SANTOSA
SAMUEL AGUS SANTOSA Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Merupakan mahasiswa FISIP UNDIP Political dan Government Science yang memiliki banyak keresahan-keresahan dan mencoba menuangkannya dalam tulisan. Semoga bermanfaat kirim komentar, kritik, dan saran. God Bless You

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Aku Beragama?

29 Maret 2020   03:00 Diperbarui: 29 Maret 2020   04:12 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keinginan kaum fundamentalis lebih menunjukkan sentimen dan kebenciannya terhadap keadaan saat ini, tanpa didasari basis tentang riset yang mendalam bahwa sebuah sistem layak untuk diganti dengan sistem yang mereka yakini.

Pada akhirnya konsekuensi dari demokrasi adalah globalisasi, modernisasi, serta keterbukaan dalam kanal-kanal komunikasi. Cara yang dipakai dalam mengantisipasi kaum fundamentalis haruslah menggunakan cara-cara demokrasi namun pada tataran tertentu perlu untuk represif, maka tindakan polisional memang tidak dapat dihindari. 

Bahwa sistem demokrasi belum sempurna, memang harus kita akui. Bahwa kaum fundamentalis lahir dari kekecewaan itu, mungkin dapat dikatakan sebagai sebuah kebenaran. Namun jika sudah sepakat dengan sistem demokrasi, maka konsekuensi logisnya yakni setiap tindakan negara, dalam hal ini adalah pemerintah haruslah sedemokrasi mungkin.

Agama dewasa ini menjadi alat politik

Sebagai bagian yang inheren dalam kehidupan masyarakat khususnya di Indonesia. Dewasa ini agama telah digunakan dalam “jualan” politik yakni untuk sarana kampanye. Sungguh riskan untuk mencampuradukkan politik dengan agama. 

Di Indonesia sendiri agama adalah isu yang jika digunakan positif akan menyatukan elemen bangsa, namun jika digunakan dengan tujuan negatif atau ada kepentingan yang mendasarinya, maka kita bisa lihat perpecahan yang terjadi pada elemen masyarakat.

Fakta bahwa fenomena agama yang menjadi alat politik dapat kita lihat pada pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017 lalu. Mengutip dari jurnal Critical Asian Studies “Freedom to hate: social media, algorithmic enclaves, and the rise of tribal nationalism in Indonesia” menjelaskan akibat buruk dari politik yang dibumbui dengan isu agama. 

Hal ini tercermin dari labbeling anti islam, kafir, yang serung muncul pada diskursus tentang pilkada DKI 2017. Selain itu di era sosial media yang semakin massif, efek dari pilkada DKI 2017 tersebut dengan cepat tersebar dan menjadi isu nasional.

Imbas dari agama yang masuk ke wilayah politik barangkali dapat kita rasakan hingga saat ini dan berpengaruh terhadap pemilihan presiden 2019 lalu, penulis berpendapat bahwa agama tidak secara otomatis masuk menjadi “jualan” dalam ranah politik. Melainkan ada aktor yang mengambil maslahat dari hal tersebut. Entah aktor tersebut berasal dari dalam negeri ataupun ada campur tangan asing yang mencoba mengadu domba sesama anak bangsa.

Imbas pilkada DKI Jakarta 2017 juga terjadi di pilpres 2019, meskipun tidak se-ekstrem pilkada DKI 2017. Diskursus dalam pilpres 2019 lalu juga dibumbui diksi-diksi—anti islam, pro khilafah, kafir, ulama post-islamisme—yang mana diksi-diksi tersebut sangat rentan untuk terjadinya perpecahan hingga di akar rumput. Kontestasi elektoral pilpres yang menggunakan isu agama sebagai alat politiknya adalah racun demokrasi. 

Di era keterbukaan informasi dan era sosial media apapun yang dikatakan oleh seseorang, lebih lagi seseorang tersebut memiliki pengaruh dan basis massa yang signifikan, informasi tersebut dapat tersebar secara cepat dengan bantuan teknologi informasi yang saat ini sangat memungkinkan. Masalahnya setiap orang memiliki interpretasi terhadap suatu hal yang dia lihat dan dengar, dan kita tidak dapat menyalahkan setiap interpretasi, sekalipun itu liar, dan bahkan sangat beralasan—dan itulah artinya kebebasan berpikir dan berbicara. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun