Perbedaan adalah sebuah keniscayaan, kita tidak dapat memungkiri perbedaan. Kemajemukan adalah kehendak Tuhan. Mengharapkan semuanya sama adalah tindakan yang bodoh.
Bagian kita sebagai manusia adalah merayakan perbedaan dan kemajemukan yang terjadi—sebab bukanlah bunga yang berbeda warna justru saling melengkapi dan memperindah satu dengan yang lain, ketimbang bunga yang sama dan serupa. Menerima perbedaan sebagai inisiatif Tuhan, berbeda tidak selalu buruk, justru karena berbeda kita bisa saling bahu-membahu dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
Memaknai perbedaan adalah kunci untuk hidup dalam kemajemukan, sadar kita berbeda dan setiap yang berbeda tidak harus disamakan, melainkan disikapi dengan bijak.
Lantas sikap apa yang perlu kita tumbuhkan di kehidupan yang majemuk ini?—jawabannya adalah toleransi. Mungkin dari kita sudah sejak kecil di ajarkan tentang toleransi baik itu di sekolah maupun dalam keluarga kita. Namun dewasa ini terjadi pertentangan tentang sebenarnya toleransi itu yang bagaimana?
Ada dikotomi kelompok yang berbeda dalam mendefinisikan toleransi. Kelompok pertama mengartikan bahwa toleranis adalah menghormati keyakinan orang lain, langkah konkritnya adalah mengucapkan selamat hari raya keagamaan kepada rekan kita yang berbeda keyakinan dengan kita.
Kelompok lain mengartikan bahwa toleransi arti membiarkan atau tidak melakukan apa-apa terhadap keyakinan agama lain, Lakum Diinukum wa Liya Diin artinya bagimu agamamu, bagiku agamaku, berbeda dengan keyakinan kelompok yang pertama, kelompok ini justru berkeyakinan jika membiarkan agama lain adalah wujud toleransi.
Dari kedua kelompok tersebut tidak dapat disimpulkan siapa yang benar dan siapa yang salah. Bahwa apa yang kedua kelompok yakini harus kita hormati, karena itulah ciri kedewasaan dalam menyikapi perbedaan. Bagi penulis sendiri arti toleransi adalah jika kita mampu berjalan dalam kemajemukan dan kita dapat merayakan, dan bahkan menikmati keberagaman tersebut.
“Tidak penting apa pun Agama atau Sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik buat semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu”. (Abdurahman Wahid).
Dewasa ini dari kita kehilangan perspektif bahwa yang terpenting bukan agama, atau sukumu. Melainkan bagaimana perbuatanmu. Bagaimana orang berbakti kepada Tuhannya dapat tercermin melalui tindakannya. Jika manusia mengasihi Tuhannya maka hal itu akan tercermin dari akhlak dan perbuatannya kepada sesamanya.
Perbuatan dan akhlak yang baik akan menentukan bagaimana seseorang dipandang oleh lingkungannya. Perbuatan berbicara lebih keras daripada perkataan. Jika akhlak dan perbuatan kita baik maka lingkungan tempat tinggal kita juga akan memandangnya dengan baik, begitupun sebaliknya. Lebih lagi jika akhlakmu baik, orang tidak akan pernah tanya apa agamamu. Jadi yang terpenting bukan apa agamamu, ataupun sukumu. Melainkan akhlak dan perbuatanmu yang menentukan jati dirimu.
Selain toleransi dan akhlak yang baik, hidup dalam kemajemukan perlu untuk mengambil perspektif orang lain. Sederhananya adalah mengibaratkan diri kita sebagai orang lain, jika kita ada di posisi orang lain, maka bagaimana perasaan kita. Inti dari mengambil perspektif orang lain adalah pemahaman terhadap hakikat hidup manusia itu sendiri.