Mohon tunggu...
Ganda Samson
Ganda Samson Mohon Tunggu... Ilmuwan - Hidup Matinya Seorang Penulis

Lahir di Pematang Siantar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kemerdekaan

17 Agustus 2021   03:18 Diperbarui: 17 Agustus 2021   03:22 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebuah disertasi dari San Anselmo, California, membandingkan proklamasi ini dengan Davidic State, sebuah proklamasi yang dicanangkan Raja Daud di Selatan tanah Yahudi yang dijanjikan itu. Kecuali bahwa kemerdekaan ini adalah sebuah realitas baru, saya kurang sependapat karena secara geografis tanah itu tidak lebih luas dari wilayah Jakarta -- Bogor sekarang.

Tetapi Soekarno memang tidak mengubah sistem pemerintahan yang dikuatkan setelah Politik Etis (1904) mendapatkan kegagalannya. Sebuah sistem administrasi negara baru dicomot begitu saja oleh Hatta. Dan itu terkait dengan kondisi sosial yang membuncah setelah kemerdekaan. Oleh sebab itu, mudah-mudahan dugaan saya salah, selama 76 tahun kemerdekaan selalu menyisakan rasa tidak puas pada sebagian besarnya.

Mulai dari pemberontakan Darul Islam hingga PRRI dan Reformasi 98 yang tidak menghasilkan apapun. Dan sekarang sebagian ingin mengganti Pancasila. Mengganti dengan apa? Belum lagi ribut-ribut soal buzzer Rp, sementara yang lain bercoleteh apa saja di luar kepentingan negara tidak mendapat julukan yang sepadan.

===========

Generasi tua telah berkiprah, sedemikian rupa dalam merumuskan Pancasila. Dan generasi muda terlalu potensial untuk mencapai kemerdekaan dengan radikalisme yang dimainkannya. Tetapi selanjutnya apa? 

Dalam kondisi seperti sekarang ini saya teringat orde yang menggantikan Soekarno. Dimana-mana dia mengkampanyekan agar kemerdekaan diisi dengan Pembangunan, sebuah kata 'ideal' yang tidak berwujud apapun selain proses fisik yang mestinya melibatkan semua pihak disertai P4 Pancasila, berlangsung terus-menerus. Tetapi di Dusseldorf kata itu menjelma menjadi sebuah autokritik politik yang sulit dicarikan solusinya. Tibalah saatnya untuk mengartikan itu dengan luas dan luwes.  

Merdeka!!!

Salam dan Hormat.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun