Mohon tunggu...
Ganda Samson
Ganda Samson Mohon Tunggu... Ilmuwan - Hidup Matinya Seorang Penulis

Lahir di Pematang Siantar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kemerdekaan

17 Agustus 2021   03:18 Diperbarui: 17 Agustus 2021   03:22 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Untuk Ir. Joko Widodo -- Presiden RI ke 7 

170821

Dalam kesederhanaan yang mengharukan, Proklamasi itu akhirnya dilaksanakan, Jumat 17 Agustus 1945, tepat jam 10.17 pada Bulan Ramadhan. Dengan kewaspadaan tingkat tinggi pula, tidak sampai 50 orang yang hadir di Pegangsaan Timur 56 itu, dan meskipun atas desakan para pemuda, tidak mengurangi rasa hikmat bahwa mereka telah merdeka.

Ini bukanlah sebuah universum simbolis baru, sebagaimana tampak pada diri Paku Bowono ataupun Hamengku Buwonono. Tetapi seorang raja berpeci telah hadir diantara kita, dan beberapa raja lokal sebenarnya tidak ikhlas dengan persatuan. Minimal, mereka masih butuh waktu karena penjajahan Belanda memang berlangsung sangat lama dan telah pula menjadi kebiasaan lama.

==========

"...Hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya". 

Perpindahan kekuasaan yang mana? Seberapa singkat?

Pada museum proklamasi hal itu tidak di jelaskan. Namun dari Laksamana Maeda kita mendapat informasi bahwa hal itu memang cuma gagasan. Prakteknya diserahkan pada siasat politik yang dinamis. Tetapi menurut saya perpindahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang pada Maret 1942 telah menjadi rujukan. Peralihan itu dipermukaan tampak begitu cepat, meskipun sebenarnya tidak demikian. Setahun sebelum penyerahan diri di Kalijati, Subang, beberapa dokumen menyampaikan bahwa dinas rahasia militer Jepang telah mengintai sejak 1941, ketika Hindia Belanda berpropaganda negeri makmur ini tidak terjamah oleh siapapun. 

Itulah sebabnya Soekarno tidak diundang menghadiri KMB yang diatur sepenuhnya oleh Juliana. Yang disebut terakhir ini sangat membenci Soekarno, warisan dari ibunya Wilhelmina, karena dianggap provokator Republik muda. "Apa yang Anda harapkan dari diri Soekarno, seorang laki-laki yang belum genap berusia 50, tidak berpengalaman apapun selain mengacau?", kira-kira begitulah pikiran Wilhelmina, yang saya baca dari sebuah biografi tentangnya.  

Dan sebuah mitos telah terpecahkan. Jika dua hari setelah Perang Asia Pacifik berakhir Soekarno-Hatta juga menetapkan batas-batas teritorial yang (mungkin terlalu) luas, maka batas-batas itu harus mendapat apresiasi setinggi-tingginya, meskipun sebagai solidarity maker, Soekarno-Hatta sebenarnya hanya sekali menyampaikan pikirannya tentang cara membentuk persatuan yang diidamkan.

==========

Sebuah disertasi dari San Anselmo, California, membandingkan proklamasi ini dengan Davidic State, sebuah proklamasi yang dicanangkan Raja Daud di Selatan tanah Yahudi yang dijanjikan itu. Kecuali bahwa kemerdekaan ini adalah sebuah realitas baru, saya kurang sependapat karena secara geografis tanah itu tidak lebih luas dari wilayah Jakarta -- Bogor sekarang.

Tetapi Soekarno memang tidak mengubah sistem pemerintahan yang dikuatkan setelah Politik Etis (1904) mendapatkan kegagalannya. Sebuah sistem administrasi negara baru dicomot begitu saja oleh Hatta. Dan itu terkait dengan kondisi sosial yang membuncah setelah kemerdekaan. Oleh sebab itu, mudah-mudahan dugaan saya salah, selama 76 tahun kemerdekaan selalu menyisakan rasa tidak puas pada sebagian besarnya.

Mulai dari pemberontakan Darul Islam hingga PRRI dan Reformasi 98 yang tidak menghasilkan apapun. Dan sekarang sebagian ingin mengganti Pancasila. Mengganti dengan apa? Belum lagi ribut-ribut soal buzzer Rp, sementara yang lain bercoleteh apa saja di luar kepentingan negara tidak mendapat julukan yang sepadan.

===========

Generasi tua telah berkiprah, sedemikian rupa dalam merumuskan Pancasila. Dan generasi muda terlalu potensial untuk mencapai kemerdekaan dengan radikalisme yang dimainkannya. Tetapi selanjutnya apa? 

Dalam kondisi seperti sekarang ini saya teringat orde yang menggantikan Soekarno. Dimana-mana dia mengkampanyekan agar kemerdekaan diisi dengan Pembangunan, sebuah kata 'ideal' yang tidak berwujud apapun selain proses fisik yang mestinya melibatkan semua pihak disertai P4 Pancasila, berlangsung terus-menerus. Tetapi di Dusseldorf kata itu menjelma menjadi sebuah autokritik politik yang sulit dicarikan solusinya. Tibalah saatnya untuk mengartikan itu dengan luas dan luwes.  

Merdeka!!!

Salam dan Hormat.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun