Mohon tunggu...
Elang Salamina
Elang Salamina Mohon Tunggu... Freelancer - Serabutan

Ikuti kata hati..itu aja...!!!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

HRS Pendukungnya Banyak, Untuk Nyapres Tunggu Dulu!

14 November 2020   18:28 Diperbarui: 14 November 2020   18:36 1041
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

JUTAAN orang tumpah ruah ke jalanan sekitar Bandara Soekarno Hatta (Soeta), Selasa, (10/11/20. Mereka adalah para pendukung Muhamad Rizieq Shihab atau biasa disebut Habib Rizieq Shihab (HRS). 

Mereka datang daerah untuk menyambut kedatangan HRS. Lebih tiga tahun lamanya, Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) tersebut menetap di Kerajaan Arab Saudi.

Patut diakui sambutan terhadap HRS memang sangat luar biasa. Hampir bisa dipastikan, tidak ada seorang pun yang tidak kaget. 

Betapa tidak, Jumlah orang yang menyambut HRS melebihi sambutan terhadap pihak manapun yang pernah datang ke tanah air. Baik itu tamu kenegaraan, pahlawan olahraga atau presiden sekalipun. 

Dari peristiwa sambutan tersebut, terang sudah bahwa banyaknya massa pendukung HRS tak bisa diragukan. Tak heran bila pria kelahiran Jakarta, 24 Agustus 1965 ini begitu disegani dan dihormati, terutama oleh mereka yang satu haluan pemahaman. 

Nah, dengan alasan banyaknya massa pendukung HRS, beberapa pihak mulai mengaitkannya dengan politik. sejumlah elit parpol banyak menyarankannya untuk bergabung ke partai politik agar bisa membuat kebijakan dalam menyalurkan aspirasi.  Dia juga dianggap layak mencalonkan diri pada Pilpres 2024. 

Sah-sah saja bila ada pihak yang beranggapan demikian. Soalnya, tak bisa dipungkiri dalam sistem pemilihan langsung, jumlah massa adalah elemen penting guna memenangkan pertarungan. Sebab, merekalah yang memiliki hak pilih sepenuhnya. 

"Kalau begitu, HRS bisa dong mencalonkan diri jadi presiden?" Salah seorang sahabat pernah menanyakan hal itu pada saya. 

Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 tahun 2017, pada prinsipnya siapapun warga negara Indonesia mempunyai hak yang sama terlibat dalam pilpres. Syaratnya hanya satu, yaitu "Mampu". 

Kata "mampu" di sini tentu tidak bisa diartikan sempit. Akan tetapi dalam arti luas. 

Artinya, siapapun warga negara Indonesia yang memiliki syahwat pilpres harus mampu mengikuti regulasi atau aturan main seperti diamanatkan UU Pemilu Nomor 7 tahun 2017 dimaksud. Tidak sekadar memiliki banyak pendukung. 

"Apa saja regulasi tersebut?" Kembali, sahabat saya bertanya. 

Dalam kesempatan ini, saya tentu tidak akan menjelaskan secara detail soal aturan main Pilpres. Sebab, begitu banyak pasal dan butir-butirnya. 

Yang pasti, ada satu hal mendasar yang harus dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia bila hendak nyapres. Yaitu partai politik. 

Sepintas sangat mudah. Namun, tidak demikian halnya. Seseorang baru bisa mencalonkan diri jadi presiden atau wakil presiden bila diusung partai politik yang sesuai dengan aturan main pemilu. Aturan dimaksud harus bisa memenuhi ambang batas pilpres atau presidential threshold. 

Sebagaimana diatur dalam UU Pemilu, partai politik yang berhak mengusung calon, sekurang-kurangnya harus memperoleh 25 persen suara sah nasional atau 20 persen dari jumlah kursi yang ada di parlemen hasil pemilu legeslatif sebelumnya. 

Artinya, seberapapun banyaknya pendukung, HRS dipastikan tidak bisa memaksakan diri nyapres bila tidak menjadi kader partai atau tidak ada satu pun partai politik yang menggaetnya. 

Langkah pertama yang harus dilakukan HRS tentu saja mencari partai politik. Sebab, untuk mendirikan partai baru rasanya cukup sulit, mengingat Pilpres hanya menyisakan empat tahunan kurang. 

Pertanyaannya, partai mana yang bisa menerima HRS? 

Ini mungkin yang cukup sulit dijawab. Sejauh ini ada beberapa partai politik yang bisa disebut tidak memiliki kader yang dianggap cukup kuat untuk nyapres. 

Sebut saja Partai NasDem, PKS, PAN dan PPP. Dari keempat partai ini, boleh jadi hanya PKS yang kemungkinan bisa didekati HRS. Karena statusnya sebagai oposisi. 

Sedangkan Partai NasDem dan PPP sama-sama diketahui merupakan partai pendukung pemerintah, rasanya sulit bisa menerima kehadiran HRS. 

Sama halnya dengan dua partai di atas, PAN juga sepertinya sulit. Akhir-akhir ini kecenderungannya mulai "main mata" dengan pemerintah. Terutama sejak pentolannya, Amien Rais didepak dari kepengurusan partai. 

Sebetulnya ada satu partai lagi yang mungkin bisa diajak kerjasama, yakni Partai Demokrat. Namun, partai ini adalah partai yang berideologi nasionalis. Sementara HRS sepertinya akan lebih memilih partai yang berideologikan religius agamis. 

Belum lagi, di partai berlambang Mercy tersebut ada nama AHY yang juga syahwat nyapresnya cukup tinggi. Sepertinya akan berpikir dua kali kalau dia harus mengalah pada HRS. 

Dengan begitu PKS adalah partai politik yang sangat mungkin diraih HRS. Hanya saja, kekuatan partai berlambang bulan sabit ini belum bisa mengusung calonnya sendirian. Mereka harus mencari partai lain untuk diajak koalisi. 

Berdasarkan hasil Pemilu 2019 lalu, PKS hanya meraih suara sah nasional sebanyak 8,21 persen. Artinya jika mengacu pada hasil pemilu 2019, partai ini masih butuh 16,79 persen suara lagi. Dan, ini tentu bukan perkara mudah. Bahkan, cenderung sangat sulit. 

Dengan kondisi seperti ini, hipotesa sederhana saya mengatakan, peluang HRS untuk nyapres akan sangat sulit bila trade mark nya yang anti pemerintah terus dipertahankan. Hampir mustahil, partai politik yang saat ini berada dalam lingkaran kekuasaan berminat untuk menjadikan Imam Besar FPI tersebut sebagai calon presidennya. 

Lebih Baik Jadi Oposisi 

Seperti telah disinggung, menjadi presiden dan wakil presiden termasuk berpolitik adalah hak segenap warga negara Indonesia. Termasuk HRS. 

Namun, menurut Pengamat politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun, HRS lebih baik menjadi oposisi sejati dan tidak perlu bergabung dengan partai politik. 

"Posisi HRS sebaiknya tidak perlu buat partai politik. Biarkan dia menjalankan fungsinya sebagai penjaga republik dari barisan sayap kanan negara ini," ujar Ubedilah dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (13/11). GenPi.co. 

Menurut Ubedilah, hal itu bertujuan agar terjadinya keseimbangan praktik bernegara yang harus terus terjaga. Di mana HRS bisa menjalankan fungsi oposisi, kritik, dan pengingat pemerintah. 

"Dalam terminologi agama disebut amar maruf nahi munkar. Peran ini penting harus ada dalam negara demokrasi agar demokrasi sehat," pungkasnya. 

Sepakat dengan Ubedilah, seharusnya HRS konsen dengan sikapnya sebagai oposisi pemerintah. Namun, tentu bukan oposisi salah kaprah yang bisanya hanya mencari kesalahan dan "memaki-maki" pemerintah. 

Akan lebih elegan dan dihormati bila HRS menempatkan diri sebagai oposisi yang konstruktif. Oposisi yang bisa membawa pemerintahan ini tetap pada rel kebenaran dan keadilan bagi rakyatnya.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun