Mohon tunggu...
Elang Salamina
Elang Salamina Mohon Tunggu... Freelancer - Serabutan

Ikuti kata hati..itu aja...!!!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Rekomendasi PDIP (Mulai) Tak Laku dan Menakar Poros Baru Pilpres

10 September 2020   22:31 Diperbarui: 10 September 2020   22:21 8162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Tak ada yang abadi di dunia, termasuk politik dan kekuasaan" 

NARASI di atas jika disangkut pautkan dengan konstelasi politik tanah air hari ini, rasanya cukup tepat jika dialamatkan pada PDI Perjuangan (PDIP). 

Mungkin hal ini masih terlalu dini. Namun, jika merujuk pada dua peristiwa yang dialami oleh partai berlambang banteng gemuk moncong putih tersebut sepertinya cukup beralasan. 

Diketahui, pasca pernyataan Ketua DPP PDIP Bidang Politik dan Keamanan, Puan Maharani sangat menyinggung perasaan masyarakat Sumatera Barat (Sumbar), partai yang digawangi Megawati Soekarnoputri ini mendapatkan imbasnya. 

Buktinya, tak lama berselang pasangan yang diusung PDIP untuk Pilkada Sumbar, Mulyadi-Ali Mukhni mengembalikan surat dukungan, sehingga partai banteng tidak terlibat dalam perburuan calon pemimpin masyarakat Minangkabau tersebut. 

Dalam politik, boleh jadi yang dilakukan pasangan Mulyadi-Ali adalah hal wajar. Namun, mengingat PDIP adalah partai besar dan cenderung diharapkan dukungannya oleh calon-calon kepala daerah di Nusantara, jelas sebuah penghinaan. 

Apa daya, nasi sudah jadi bubur. PDIP tidak bisa berbuat banyak. Pengurus partai banteng hanya bisa menerima kenyataan, bahwa partainya dianggap tak bertaji dan tidak dibutuhkan. 

Celakanya, hal serupa juga terjadi untuk Pilkada Kota Cilegon, Banten. PDIP kembali harus ditinggalkan oleh pasangan calon kepala daerah setempat, Helldy Agustian-Sanuji Pentamarta. 

Pasangan Helldy-Sanusi yang awalnya menunggu rekomendasi partai pemenang pemilu, akhirnya menjatuhkan pilihan pada Partai Berkarya dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). 

Alasan ditinggalkannya rekomendasi PDIP yang ditandatangani Ketua Umumnya, Megawati Soekarnoputri dan Sekretaris Hasto Kristianto karena Helldy enggan dipasangkan dengan Reno Yanuar. 

Dikutip dari RadarTegal.com, Surat rekomendasi itu tertera dengan Nomor 2097/IN/DPP/VIII/2020 tentang Persetujuan Pasangan Calon Wali Kota dan Wakil Walikota tertanggal 29 Agustus 2020. Dalam rekom itu, PDIP memasangkan Helldy dengan Reno. 

Dengan penolakan tersebut berarti dalam Pilkada serentak 2020, telah dua daerah yang tidak melibatkan PDIP. Rasanya janggal sebagai partai penguasa, partai banteng ini tidak ikut terlibat. 

Bahkan, pengamat politik,  Jerry Massie mengaku tak habis pikir rekomendasi PDIP seolah tak begitu diminati dan terkesan kurang laris. Menurutnya, perlu ada evaluasi atas peristiwa yang terjadi di Sumbar dan Cilegon. 

"Saya jadi bingung nih, PDIP sebagai partai penguasa dan raksasa tapi partai lain tak berminat. Ada apa ini. Kok kesannya PDIP kurang laris. Ada baiknya PDIP tetap melakukan evaluasi dari peristiwa yang terjadi di Sumbar dan Kota Cilegon," terangnya, Kamis (10/9). Dikutip dari RadarTegal.com. 

Sambung Jerry,  bisa jadi dua penolakan rekom itu sebagai warning terhadap hegemoni PDIP 

"Perlu juga berkaca antara faktor X dan faktor Y. Barangkali bias politik dari pernyataan Puan Maharani berdampak buruk. Contoh di Sumbar dan Cilegon. Sebuah tanda awas PDIP untuk Pilpres 2024 mendatang," ungkap Jerry. 

"Ada idiom karena mulut badan binasa. Memang buntutnya RUI HIP lalu saya duga bisa jadi pemicu terjadi hal ini. Lepas Jokowi saya prediksi PDIP bakal turun pamornya. Sebetulnya semakin besar tetap semakin humble," urai Jerry.

Harapan Christ Wamea

Bagi para pengurus PDIP Pusat berikut kadernya di daerah, boleh jadi dengan adanya dua penolakan rekomendasi tersebut di atas merupakan sebuah kerugian dan merontokan marwah partai. 

Namun, tidak halnya dengan salah seorang kader Partai Demokrat, Christ Wamea. 

Tokoh Papua tersebut justeru berharap di masa yang akan datang tidak ada lagi PDIP dalam kontestasi-kontestasi Pilkada di tanah air. Dia menilai partai banteng itu sebagai sumber masalah. 

Harapan itu sengaja dilontarkannya supaya Indonesia bebas dari buzzer, narasi-nrasi pecah belah, politik pencitraan, politik dinasti dan oligarki, serta tidak ada lagi yang mengutak-atik pancasila. 

Harapan Christ agar Pilkada tanpa PDIP rasanya akan sulit terwujud. Kecuali memang partai banteng itu terus melakukan arogansi berlebihan sehingga memantik antipati publik. 

Tapi, jika sekadar beberapa daerah di tanah air satu persatu meninggalkan PDIP bisa saja terjadi. Apalagi, insiden-insiden seperti pernah dilakukan Puan Maharani terus terulang. 

Poros Baru Pilpres 

Merujuk pada pendapat pengamat politik Jerry Massie, yang menilai dua peristiwa penolakan rekomendasi tersebut di atas merupakan sinyal awas bagi PDIP menuju Pilpres 2024 boleh jadi ada benarnya. 

Pasalnya, jika nama besar partai banteng itu terus digoyang dengan isu-isu tak sedap, seperti halnya rencana pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), isu dinasti politik, pernyataan Puan terus digoreng dan Presiden Jokowi tidak banyak membantu menetralisir keadaan, bukan tidak mungkin PDIP akan terpuruk elektoralnya. 

Hal ini kemungkinan besar akan berdampak besar juga terhadap nilai elektabilitas kader yang bakal diusungnya. Bisa itu Puan Maharani atau Ganjar Pranowo. 

Jika hal ini terjadi jelang Pilpres, penulis rasa poros PDIP dengan Gerindra terancam tak terwujud. Sebab, betapapun dalam politik yang dikejar adalah kekuasaan. 

Untuk bisa berkuasa dibutuhkan dukungan partai politik yang solid dan simpati masyarakat. Tanpa itu, mustahil kekuasaan bisa diraih dalam sistem pemilihan langsung. 

Artinya, Gerindra dan Prabowo yang selama ini digadang-gadang bakal berkoalisi dengan PDIP tentunya akan berpikir ulang dan tak akan mau berjudi apabila kondisi PDIP tak sekuat sekarang alias terpuruk. 

Mantan Danjend Kopasus itu bisa jadi akan membentuk poros baru dengan mencari partai politik anyar yang bisa dijadikan partner koalisinya. 

Tentu banyak kemungkinan terbentuk poros baru jika Gerindra dan Prabowo melepaskan diri dari PDIP. Sebut saja : 

1. Gerindra-Demokrat 

Poros ini bukan hal mustahil terjadi, mengingat jika terjadi koalisi sudah cukup bisa mengusung pasangan calon pada Pilpres 2024 mendatang, sebab telah bisa memenuhi ambang batas pencalonan (Presidential threshold). 

Diketahui hasil pemilu 2019, Gerindra meraih 78 kursi di parlemen, dan Demokrat 54. Jika digabung, poros ini telah melebihi 20 persen dari jumlah total kursi DPR yang berjumlah 576 kursi. 

Selain itu, koalisi kedua partai ini tidak akan begitu rumit memutuskan siapa calon presiden dan wakil presiden. Hampir dipastikan Ketua Umum Partai Demokrat, AHY akan legowo jika ditempatkan sebagai wakil Prabowo. 

2. Gerindra-Golkar 

Poros ini bisa saja terjadi, karena keduanya memiliki jumlah kursi parlemen cukup besar. 

Diketahui jumlah kursi Golkar adalah 85 dan Gerindra 78. hanya kendalanya adalah Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto belum tentu mau dijadikan wakil Prabowo, kecuali ada komitmen politik lainnya yang win-win solusion. 

3. Gerindra-PKB 

Poros ini juga sudah bisa mengusung pasangan calon, mengingat jika disatukan jumlah kursinya sebanyak 136. Karena jumlah kursi PKB adalah 58 kursi. 

Poros ini juga berpeluang besar terjadi. Sama halnya dengan Demokrat, koalisi dua partai ini tidak akan menemui kendala dalam memutuskan siapa calon presiden dan wakilnya. 

Kemungkinan jika koalisi ini terbentuk, maka pasangan calonnya tak akan jauh dari Prabowo-Muhaimin Iskandar (Cak Imin). 

Selain ketiga poros tersebut di atas, bisa saja Gerindra berkoalisi dengan Nasdem. Namun sepertinya partai yang dinahkodai oleh Surya Paloh ini bakal alot diajak kompromi, mengingat sepertinya mengincar posisi calon presiden. 

Sementara untuk balik lagi berkoalisi dengan PKS, sepertinya akan sangat sulit. Lantaran sudah banyak diberitakan media massa nasional, partai Sohibul Imam ini telah memproklamirkan bersebrangan dengan Gerindra setelah Prabowo memutuskan bergabung dengan koalisi pemerintah. 

Kendati begitu, pintu koalisi boleh jadi tetap terbuka, karena politik itu adalah biangnya segala kemungkinan.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun