"Tak ada yang abadi di dunia, termasuk politik dan kekuasaan"Â
NARASI di atas jika disangkut pautkan dengan konstelasi politik tanah air hari ini, rasanya cukup tepat jika dialamatkan pada PDI Perjuangan (PDIP).Â
Mungkin hal ini masih terlalu dini. Namun, jika merujuk pada dua peristiwa yang dialami oleh partai berlambang banteng gemuk moncong putih tersebut sepertinya cukup beralasan.Â
Diketahui, pasca pernyataan Ketua DPP PDIP Bidang Politik dan Keamanan, Puan Maharani sangat menyinggung perasaan masyarakat Sumatera Barat (Sumbar), partai yang digawangi Megawati Soekarnoputri ini mendapatkan imbasnya.Â
Buktinya, tak lama berselang pasangan yang diusung PDIP untuk Pilkada Sumbar, Mulyadi-Ali Mukhni mengembalikan surat dukungan, sehingga partai banteng tidak terlibat dalam perburuan calon pemimpin masyarakat Minangkabau tersebut.Â
Dalam politik, boleh jadi yang dilakukan pasangan Mulyadi-Ali adalah hal wajar. Namun, mengingat PDIP adalah partai besar dan cenderung diharapkan dukungannya oleh calon-calon kepala daerah di Nusantara, jelas sebuah penghinaan.Â
Apa daya, nasi sudah jadi bubur. PDIP tidak bisa berbuat banyak. Pengurus partai banteng hanya bisa menerima kenyataan, bahwa partainya dianggap tak bertaji dan tidak dibutuhkan.Â
Celakanya, hal serupa juga terjadi untuk Pilkada Kota Cilegon, Banten. PDIP kembali harus ditinggalkan oleh pasangan calon kepala daerah setempat, Helldy Agustian-Sanuji Pentamarta.Â
Pasangan Helldy-Sanusi yang awalnya menunggu rekomendasi partai pemenang pemilu, akhirnya menjatuhkan pilihan pada Partai Berkarya dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).Â
Alasan ditinggalkannya rekomendasi PDIP yang ditandatangani Ketua Umumnya, Megawati Soekarnoputri dan Sekretaris Hasto Kristianto karena Helldy enggan dipasangkan dengan Reno Yanuar.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!