Mohon tunggu...
Elang Salamina
Elang Salamina Mohon Tunggu... Freelancer - Serabutan

Ikuti kata hati..itu aja...!!!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menebak Nasib Prabowo Jika Mega Berhasil "Dikompori"

3 September 2020   17:21 Diperbarui: 3 September 2020   17:17 1422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KONSTELASI politik, khususnya terkait para kandidat yang digadang-gadang potensial maju pada Pilpres 2024 boleh dikatakan tidak akan jauh dari nama-nama yang sudah kerap beredar di ranah publik, termasuk dalam pantauan radar para pengamat politik dan beragam lembaga survei. 

Penulis rasa para pembaca sudah hapal betul siapa nama-nama para kandidat dimaksud. Namun, tak ada salah jika dalam kesempatan ini penulis ingatkan kembali beberapa diantaranya. 

Seperti diketahui, nama-nama para kandidat dimaksud terdiri dari dua unsur. Yaitu dari unsur partai dan non partai. 

Dari unsur partai beberapa diantaranya adalah Menteri Pertahanan (Menhan) sekaligus Ketua Umum (Ketum) Partai Gerindra, Prabowo Subianto; Menko Ekonomi sekaligus Ketum Partai Golkar, Airlangga Hartarto; Ketum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dan Ketua DPR RI sekaligus Ketua DPP PDI Perjuangan, Puan Maharani, dan Gubernur Jawa Tengah yang juga politisi PDI Perjuangan, Ganjar Pranowo. 

Sedangkan dari unsur non partai ada beberapa nama. Diantaranya Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan; Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, mantan Panglima TNI, Jendral (Purn) Gatot Nurmantyo, dan Menteri BUMN, Erick Tohir. 

Megawati Dipanasi Nyapres

Mengingat kontestasi perebutan kursi Inndonesia 1 dan 2 ini masih cukup lama, maka bukan mustahil akan terjadi perubahan-perubahan nama-nama kandidat. Biasanya akan disesuaikan dengan kondisi politik pada saat itu. Baik itu tentang peluang, elektabilitas serta acceptibilitas calon. 

Contoh paling anyar bahwa politik adalah gudangnya segala kemungkinan adalah adanya pihak yang mencoba untuk "mengkompori" atau memanas-manasi Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri agar kembali turun gunung (Baca : mencalonkan diri pada Pilpres 2024). 

Semenjak dua kali Pilpres 2004 dan 2009 gagal, Megawati memang tidak lagi ikut mencalonkan diri. putri sulung proklamator Indonesia, Sukarno ini lebih memilih mendukung Joko Widodo (Jokowi).

Pilihannya tersebut terbukti tepat, Jokowi sukses menjadi Presiden RI selama dua periode berturut-turut. Tak hanya itu, partainya PDI Perjuangan juga berhasil jadi pemenang pemilu legeslatif dalam waktu bersamaan. 

Mengingat Presiden Jokowi sudah tidak bisa lagi diharapkan untuk maju Pilpres karena terganjal regulasi pemilu, saat ini PDI Perjuangan bisa disebut tak memiliki sosok moncer yang mampu menyaingi popularitas serta elektabilitas mantan Wali Kota Solo tersebut. 

Ada juga nama Ganjar Pranowo yang elektabilitasnya mumpuni, hanya saja sosok ini peluangnya masih abu-abu. Lantaran, kuat dugaan, bahwa PDI Perjuangan lebih mengedepankan nama Puan Maharani. Sayangnya, elektabilitas putri sulung Megawati ini masih berkutat di papan bawah. 

Berdasarkan hasil survei tetakhir Indikatot Politik Indonesia (IPI) pada medio Juli 2020, elektabilitas Puan hanya 2 persen. 

Boleh jadi, karena melihat kondisi tersebut, beberapa pihak coba untuk "mengompori" Megawati untuk kembali mencalonkan diri pada Pilpres 2024. 

Setidaknya hal ini sempat Megawati sampaikan pada saat memberikan arahan pada pengumuman calon kepala daerah dan wakil kepala daerah gelombang V menuju pilkada serentak 2020, Rabu (2/9/2020). 

"Ada yang bilang, ibu, kenapa ibu enggak mau jadi presiden lagi?. Saya hanya ketawa-ketawa saja. Enak saja kamu manas-manasin saya. Karena itulah, kita harus meluruhkan yang namanya keinginan pribadi kita di partai politik itu," ungkap Megawati. Dikutip dari Sindonews.com. 

Mega Masih Layak 

Entah pihak mana yang telah berani "mengompori" Megawati untuk kembali ikut ambil bagian pada Pilpres 2024 mendatang. 

Bisa jadi itu dari pihak pendukung setia PDI Perjuangan yang tidak menginginkan perpecahan. Dengan asumsi, jika Mega tetap memaksakan Puan untuk nyapres dengan kondisi elektabilitasnya masih jeblok, bukan mustahil membuat suasana kebatinan Ganjar Pranowo yang elektabilitasnya jauh lebih baik, terusik. 

Dalam politik, boleh jadi Gubernur Jawa Tengah ini mencari pelabuhan lain untuk menyalurkan syahwat politiknya. Jelas akan menjadi kerugian besar bagi PDI Perjuangan. 

Atau, bisa juga yang memanas-manasi Megawati ini justru datang dari lawan politik. Hal ini dimaksudkan untuk merusak tatanan politik yang terjadi sekarang. Dimana tidak ada satu pihak pun yang berani memprediksi, Megawati akan mencalonkan diri pada Pilpres mendatang. 

Terlepas siapa yang memanasi, patut diakui Megawati memang masih layak untuk kembali dicalonkan. Dia memiliki modal kuat jika berhasil "dikompori" oleh pihah-pihak lain dimaksud. 

Apa modal kuat Megawati itu? 

Jawabannya tentu saja tidak sulit. Perempuan kelahiran 23 Januari 1947 ini adalah Ketua Umum partai pemenang Pemilu. Tanpa harus berkoalisi dengan partai lainpun, Megawati sudah bisa mencalonkan diri, mengingat raihan kursi di parlemen pusat melebihi ambang batas Pilpres atau presidential threshold. 

Jumlah kursi PDI Perjuangan mencapai 128 dari total keseluruhan sebanyak 756 kursi. 

Modal lainnya adalah popularitas, senioritas dan segudang pengalaman dirinya dalam kancah politik nasional sudah tidak diragukan lagi. Dia adalah presiden wanita pertama Indonesia dan juga ketua umum partai pertama yang mampu menjaga kondusifitas dan kebesaran partai. 

Satu yang menjadi kelemahannya mungkin hanya usianya saja yang sudah tak muda lagi. Namun begitu, hal ini tak menjadi halangan dalam pencapresan. Selama Megawati merasa mampu dan mau mencalonkan diri kembali, maka tidak ada satupun aturan yang bisa mengekangnya. 

Nasib Prabowo? 

Telah banyak diberitakan di berbagai media massa, bahwa saat ini hubungan antara Megawati dengan Prabowo Subianto atau PDI Perjuangan dengan Partai Gerindra tengah mesra. 

Tak sedikit pengamat yang menduga, kemesraan itu terjalin demi memuluskan wacana koalisi keduanya pada Pilpres 2024. Dalam hal ini isunya Prabowo Subianto akan disandingkan dengan Puan Maharani sebagai pasangan calon kontestasi pesta demokrasi lima tahunan dimaksud. 

Penulis kira, dalam sekajap wacana ini akan ambyar jika pada perjalanannya ternyata Megawati berhasil "dikompori" dan siap maju Pilpres. 

Kenapa? 

Karena Prabowo yang sebelumnya disiapkan jadi calon presiden, kemungkinan besar posisinya akan bergeser jadi calon wakil presiden jika Megawati yang maju. Situasi ini pastinya tidak akan diterima oleh mantan Danjend Kopasus dimaksud. 

Pasalnya, situasi saat ini jauh berbeda dengan tahun 2009 silam dimana Prabowo mau menjadi calon wakil presiden mendampingi Megawati. 

Saat ini Partai Gerindra telah menjelma menjadi partai besar nomor dua setelah PDI Perjuangan. Sudah pasti nilai tawarnya sudah jauh lebih tinggi dibanding pada tahun 2009 lalu. 

Belum lagi, dalam dua Pilpres sebelumnya status Prabowo adalah calon presiden. Jika harus menerima jadi calon wakil presiden lagi mendampingi Megawati, tentu merupakan kemunduran baginya dan Partai Gerindra. 

Jika ini benar-benar terjadi (Megawati nyapres), maka penulis kira Prabowo akan lebih memilih poros baru untuk bertarung melawan poros Megawati. Dengan begitu kemesraan yang terjadi saat ini akan kembali pecah. 

Kedua sosok ini akan kembali mengulangi peristiwa dua Pilpres terdahulu, dimana akan kembali terjadi persaingan dua kutub magnet politik besar, yang hampir mampu memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Istilah kata, Cebong versus Kampret jilid II bukan mustahil terulang. 

Perjanjian Batu Tulis Kembali Ambyar 

Hubungan Megawati dengan Prabowo Subianto jelas tidak akan bisa dilepaskan dengan peristiwa politik masa lalu di mana keduanya pernah terlibat dalam satu perjanjian politik. Peristiwa tersebut dikenal dengan sebutan "Perjanjian Batu Tulis".

Perjanjian yang disepakati dan ditandatangani Megawati dan Prabowo pada tanggal  16 Mei 2009 ini menghasilkan 7 butir kesepakatan. Salah satu isi butir kesepakatan itu adalah Megawati Soekarnoputri mendukung pencalonan Prabowo Subianto sebagai calon presiden pada Pemilu Presiden tahun 2014. 

Nyatanya perjanjian batu tulis tersebut dkhianati. Lantaran seperti diketahui  pada Pilpres 2014, PDIP Perjuangan dan Mehawati malah mendukung Jokowi, yang kala itu masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. 

Merasa dikhianati, hubungan keduanya pun akhirnya renggang dan saling berseberangan. Mereka malah menjadi rival utama dalam dua Pilpres (2014 dan 2019), yang keduanya dimenangi kubu Megawati. 

Namun, saat ini ketegangan diantara dua kubu kembali mencair setelah Prabowo dan Gerindra memutuskan bergabung dengan koalisi pemerintahan Jokowi. 

Dari sinilah rekondisi perjanjian batu tulis sepertinya kembali ditata. Banyak pihak menduga, Pilpres 2024 adalah kesempatan Megawati untuk membayar lunas pengkhianatannya dengan mendukung Prabowo jadi presiden. 

Akan tetapi, sepertinya perjanjian batu tulis akan kembali ambyar, apabila Megawati malah harus memaksakan diri kembali nyapres. 

Pertanyaannya, apakah Megawati akan mudah untuk "dikompori"? 

Bisa ya, dan bisa juga tidak. Lantaran politik itu sarat dengan segala kemungkinan, dan penuh dengan segala ketidakpastian.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun