MERUJUK pada ilmu maksanologi, di tanah air sempat ada dua nama keluarga yang cukup populer. Pertama adalah keluaraga cemara dan yang kedua, yaitu keluarga cendana.
Keluarga cemara adalah sebuah judul sinetron karya Arswendo Atmowiloto yang mulai tayang pada tahun 1996 silam, di salah satu televisi swasta nasional.
Dalam lakon sinetron dimaksud, keluarga cemara digambarkan sebagai keluarga kecil, sederhana dan bahagia. Bukan berarti keluarga ini tidak ada konflik. Namun, setiap konflik yang ada selalu bisa diselesaikan dengan bijak oleh abah,sang kepala keluarga.
Gambaran keluarga cemara yang bersahaja dan penuh kesederhanaan ini bertolak belakang dengan kehidupan keluarga satunya lagi. Yaitu, keluarga cendana.
Tentu saja, sebagaimana kita ketahui, keluarga cendana bukanlah keluarga cemara seperti yang ada di sinetron. Akan tetapi, sebuah keluarga yang hidup dalam dunia nyata. Mereka hidup dengan segala fasilitas wah dan bergelimang kemewahan. Keluarga ini begitu sangat populer dan sangat disegani di zaman orde baru (Orba).
Betapa tidak, sang kepala keluarga cendana adalah orang yang pernah berkuasa paling lama di tanah air. Dia adalah Presiden Soeharto.
Dengan segala kekuasaan, kekuatan dan superioritas Presiden Soeharto saat itu, keluarga cendana benar-benar hidup dengan bergelimang harta. Istilah bohongnya, tidurpun uang datang sendiri. Namun di lain pihak, hukum justeru takut mendekati.
Namun, saat Presiden Soeharto dilengserkan jabatannya oleh aksi massa besar-besaran pada bulan Mei 1998 silam. Perlahan namun pasti, nama keluarga cendana pun tenggelam.
Para putra Soeharto yang biasanya sangat sulit disentuh oleh hukum, mulai tak berkutik. Sebagai contoh, Hutomo Mandala Putra atau akrab dipanggil Tomy Soeharto, harus rela mendekam dalam bilik jeruji besi, akibat tuduhan kasus pembunuhan Hakim Agung Syarifudin Kartasasmita.
Tomy Soeharto divonis 10 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Meski, realitanya "Putra Mahkota" Cendana itu hanya mendekam 6 tahun penjara saja, karena sejumlah pemotongan masa tahanan.
Terlepas masa tahanan Tomy banyak masa potongan, hingga menyebabkan sedikit gaduh. Namun, setidaknya angin perubahan sudah tampak. Dari yang asalnya "kebal hukum", menjadi kembali layaknya warga negara biasa, selepas ayahnya tak berkuasa.
Coba Jajaki Dunia Politik
Selepas dari masa tahanan, Tomy Soeharto rupanya berpikiran untuk mengikuti jejak sang ayah, bergelut dalam dunia politik.
Dengan segala kepedeannya dan merasa trah keluarga cendana yang lama berkuasa masih sangat dikenal, Tomy coba ikut konvensi Partai Golkar 2009. Golkar adalah sebuah partai yang turut membesarkan nama Presiden Soeharto, hingga mampu menduduki tahta lebih dari tiga dekade lamanya.
Sayang, karena tidak berpengalaman dan minim kemampuan berpolitik. Tomy Soeharto tidak berkutik dalam konvensi tersebut. Dia harus mengakui kepiawaian berpolitik sang konglomerat tanah air, Aburizal Bakrie.
Tomy tak patah arang. Dia pun mengikuti jejak pentolan Golkar lainnya yang keluar lalu mendirikan partai baru. Yaitu, Partai Nasional Republik (Nasrep).
Pendek kata, dengan mengakuisisi parta Dengan beberapa petinggi partainya adalah orang-orang yang punya afiliasi dengan Soeharto. Sebut saja salah satunya Muchdy PR, yang pernah menjadi Danjen Kopasus era Soeharto.
Hanya sayang, seperti dikutip dari CNNIndonesia, Nasrep ambyar karena tidak lolos verifikasi KPU, sehingga tidak bisa turut serta pada Pemilu 2014. Tomy Soeharto yang diharapkan bisa menjadi ikon partai karena nama besar ayahnya, tidak mampu berbuat banyak, selain pasrah.
Dirikan Partai Berkarya
Setelah lenyap dari percaturan politik tanah air paska Pemilu 2014, Â Nasrep kembali bangkit pada tahun 2016. Namun tidak berdiri sendiri. Partai ini bergabung dengan partai beringin karya, dan menjadi Partai Berkarya.
Namun, seperti dikutip Tirto.id, awalnya Tomy hanya menduduki jabatan Ketua Dewan Pembina. Ketua Umumnya diipegang oleh Samsul Djalal. Baru pada tahun 2018, dia terpilih menjadi Ketua Umum.
Sebagaimana diketahui, kali ini Tomy mampu meloloskan Partai Berkarya dari verifikasi KPU dan ikut Pemilu 2019. Sayang, meski ikut serta dalam Pemilu Legeslatif, Partai Berkarya tidak mampu meloloskan wakilnya ke Senayan.Â
Pasalnya, partai ini tidak mampu menembus ambang batas parlemen atau parliementary threshold sebesar 4 persen. Partai ini sendiri hanya memperoleh suara 2,09 persen.
Dengan tidak lolosnya Partai Berkarya, menegaskan bahwa figur Tomy tak lagi menjual dan "politik nostalgia" yang coba dimanfaatkan putra bungsu Soeharto ini, nyatanya tidak berhasil.
Lalu, apa itu "politik nostalgia"?
Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat tanah air seolah ingin kembali bernostalgia dengan kehidupan zaman orba, dimana beranggapan dan meyakini, pada zaman itu harga sembako terjangkau alias murah, serta keadaan negara relatif jauh lebih aman.
Dengan kondisi kebatinan masyarakat seperti itu, muncul narasi-narasi yang cukup menggugah kembali masyarakat pada memori kejayaan masa pemerintahan Presiden Soeharto.
Salah satu narasi yang paling populer adalah, "Piye kabare? Enak jamanku toh?..."
Narasi yang dianalogikan kalimat pertanyaan dari Soeharto ini kerap nongol di beragam media. Baik itu angkutan truk, Angkutan Umum, bahkan stiker-stiker.
Itulah gambaran kasar yang dimaksud dengan "politik nostalgia". Hanya saja, harapan Tomy Soeharto dengan partai berkaryanya tidak mampu memanfaatkan momentum tersebut. Apa yang mengemuka di lapangan (Baca : lingkungan masyarakat tentang kerinduan pada zaman orba) tidak tidak sesuai dengan ekspektasinya.
Tomy Ambyar Ditikung Muchdy PR
Keterpurukan pada Pemilu Legeslatif 2019 telah membuat Partai Berkarya terbelah, antara kubu Tomy Soeharto dan Priyo Budi Santoso selaku Sekjen partai dengan kubu Muchdy PR dan Baharuddin Andi Picunang.
Dikutip dari detikcom, pecahnya partai tersebut dipicu oleh selisih paham di internal. Kubu Muchdy menilai, bahwa kepemimpinan Tomy terlalu otoriter, feoadal serta lebih mementingkan Pilpres 2019, membuat Partai Berkarya tidak mampu lolos ke Senayan.Â
Karena kegagalannya tersebut, ada desakan dari arus bawah untuk dilakukan evaluasi menyeluruh.
Pendek kata, kubu Muchdy PR dan Baharuddin dan kader partai yang tergabung dalam Presidium Penyelamat Partai Berkarya.(P3B) menggelar Munasyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) sekira pekan kedua bulan Juli 2020 lalu.
Munaslub yang dilakasanakan dengan langsung dan virtual ini, menghasilkan keputusan bahwa Muchdy PR sebagai ketua umum dan Baharuddin Andi Picunang sebagai sekjen.
Tommy Soeharto sempat melakukan perlawanan dan menentang hasil Munaslub tersebut. Namun, perlawanan itu sia-sia, karena saat rombongan kubu Tommy datang ke tempat pelaksanaan Munaslub, di Hotel Grand Kemang, Jalarta Selatan, Munaslub telah usai. Dengan begitu, apa yang dilakukan kubu Muchdy PR ini benar-benar telah menikung kepemimpinan Tomy Soeharto.
Tomy yang awalnya berekpektasi besar bisa kembali mengembalikan kejayaan keluarga cendana lewat jalur politik, nyatanya harus hancur lebur. Belum juga partai yang dibangunnya ini bisa tumbuh kembang dengan baik, malah sudah harus hancur, karena perbedaan visi misi diantara petinggi partai.
Seperti diketahui, berikutnya kubu Muchdy PR menegasakan untuk mendukukung pemerintahan Jokowi - Ma'ruf. Sudah bisa ditebak, dukungan tersebut tentunya dengan harapan, partai Berkarya mendapat dukungan pemerintah jika kubu Tomy membikin ulah. Contohnya, menggugat kepemimpinan Muchdy PR.
Belum jelas, apa yang bakal terjadi dengan nasib Partai Berkarya kedepannya. Akan tetapi, bagi saya pecahnya Partai ini menegaskan, bahwa nasib trah bungsu keluarga cendana telah ambyar.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H