Pasalnya, partai ini tidak mampu menembus ambang batas parlemen atau parliementary threshold sebesar 4 persen. Partai ini sendiri hanya memperoleh suara 2,09 persen.
Dengan tidak lolosnya Partai Berkarya, menegaskan bahwa figur Tomy tak lagi menjual dan "politik nostalgia" yang coba dimanfaatkan putra bungsu Soeharto ini, nyatanya tidak berhasil.
Lalu, apa itu "politik nostalgia"?
Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat tanah air seolah ingin kembali bernostalgia dengan kehidupan zaman orba, dimana beranggapan dan meyakini, pada zaman itu harga sembako terjangkau alias murah, serta keadaan negara relatif jauh lebih aman.
Dengan kondisi kebatinan masyarakat seperti itu, muncul narasi-narasi yang cukup menggugah kembali masyarakat pada memori kejayaan masa pemerintahan Presiden Soeharto.
Salah satu narasi yang paling populer adalah, "Piye kabare? Enak jamanku toh?..."
Narasi yang dianalogikan kalimat pertanyaan dari Soeharto ini kerap nongol di beragam media. Baik itu angkutan truk, Angkutan Umum, bahkan stiker-stiker.
Itulah gambaran kasar yang dimaksud dengan "politik nostalgia". Hanya saja, harapan Tomy Soeharto dengan partai berkaryanya tidak mampu memanfaatkan momentum tersebut. Apa yang mengemuka di lapangan (Baca : lingkungan masyarakat tentang kerinduan pada zaman orba) tidak tidak sesuai dengan ekspektasinya.
Tomy Ambyar Ditikung Muchdy PR
Keterpurukan pada Pemilu Legeslatif 2019 telah membuat Partai Berkarya terbelah, antara kubu Tomy Soeharto dan Priyo Budi Santoso selaku Sekjen partai dengan kubu Muchdy PR dan Baharuddin Andi Picunang.
Dikutip dari detikcom, pecahnya partai tersebut dipicu oleh selisih paham di internal. Kubu Muchdy menilai, bahwa kepemimpinan Tomy terlalu otoriter, feoadal serta lebih mementingkan Pilpres 2019, membuat Partai Berkarya tidak mampu lolos ke Senayan.Â