Mohon tunggu...
Samar Rumuar
Samar Rumuar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa sosiologi

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Tujuan dan Dampak Korupsi

10 Juli 2023   06:50 Diperbarui: 10 Juli 2023   06:50 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Corrumpere (kata kerja): menghancurkan, merusak, merusak bentuk, memutarbalikkan, membusukkan, memalsukan, me- merosotkan, mencemarkan, menyuap, melanggar, menggodai, memperdayakan.

Corruptor (pelaku): perusak, pembusuk, penyuap, penipu, peng- goda, pemerdaya, pelanggar.

Corruptus-a-um (kata sifat): rusak, busuk, hancur, tidak utuh, tidak murni, merosot, palsu.

2.3. Bias Definisi Korupsi

Sebelum tahun 1977, tidak ada undang-undang di Amerika Serikat yang menetapkan bahwa aneka suap yang dilakukan perusahaan AS kepada pejabat negara-negara lain untuk memenangkan kontrak bisnis di seluruh dunia merupakan perbuatan korupsi. Sampai pertengahan tahun 1977 "terungkap sedikitnya 400 perusahaan AS menyuap para pejabat pemerintah lain dengan jutaan dolar untuk memenangkan kontrak bisnis di luar negeri".47

Rentetan skandal suap yang luas itu kemudian memicu penetap- an undang-undang anti-korupsi yang disebut Foreign Corrupt Practices Act, ditandatangani Presiden Jimmy Carter, 19 Desember 1977. Sejak itu semua bentuk suap yang dilakukan perusahaan AS kepada peja- bat, perantara dan pelaku bisnis di luar negeri untuk tujuan apa pun ditetapkan sebagai korupsi. Begitu pula, sebelum 1999 suap yang luas dilakukan perusahaan-perusahaan Jerman untuk memenangkan kon- trak di negara lain tidak ditetapkan sebagai korupsi dalam hukum Jerman. Suap itu dihitung sebagai biaya bisnis yang bebas pajak, dengan alasan praktik itu dilihat tidak merugikan pembayar pajak Jerman.48 Itu berarti, penetapan hukum telah mengubah arti suatu tindakan dari bukan-korup menjadi korup. Jadi, sebelum 1977 di AS atau sebelum 1999 di Jerman, semua penyuapan itu korupsi atau bukan korupsi?

Cukup pasti suap (bribe) merupakan model paradigmatis korupsi dan dipandang sebagai kejahatan besar. Bukan hanya sejak tahun 1977 atau 1999, tetapi bahkan sejak ribuan tahun lalu." Cuma, bukankah suap yang dilakukan banyak perusahaan AS kepada pejabat, perantara dan pelaku bisnis di luar negeri baru ditetapkan sebagai korupsi sejak 1977? Atau di Jerman baru sejak tahun 1999?

Di situ terletak keterbatasan memahami korupsi sebagai perkara pe- netapan hukum. Seperti disebut di atas, memahami konsep korupsi sebagai apa yang ditulis hukum bukan untuk diabaikan. Namun, cara memahami itu juga mencampuradukkan metode penanganan dan sub- stansi korupsi. Inilah yang disebut bias hukum. Bias hukum ini hanya salah satu dari beberapa bias yang terlibat dalam definisi korupsi.

2.3.a. Bias Hukum

Bias hukum menunjuk pada penentuan suatu perbuatan/praktik seba- gai korupsi atau bukan korupsi sejauh ditetapkan atau tidak ditetapkan undang-undang atau hukum. Maka, misalnya, sejauh undang-undang tidak menetapkan tindakan memberi atau menerima suap sebagai ko- rupsi, perbuatan itu tidak dianggap sebagai korupsi dan tidak dapat dituntut sebagai korupsi. Sebaliknya, memberi atau menerima suap disebut korupsi sejauh ditetapkan demikian dalam undang-undang. Pokok ini berlaku untuk perbuatan lain seperti pencurian anggaran pe- merintah, kolusi, nepotisme, politik uang, gratifikasi, dan sebagainya. Itu juga berarti, bisa saja suatu perbuatan secara substantif jelas-jelas merupakan korupsi tetapi tidak ditetapkan melanggar hukum korupsi, sebab hukum tidak/belum menetapkannya demikian. Penetapan hu- kum itu berada pada otoritas kedaulatan, dan bagaimana hukum anti- korupsi ditetapkan tentulah dipengaruhi banyak faktor.

Barangkali bias hukum ini terdengar ganjil. Bagaimana mungkin suap yang secara substantif jelas-jelas merupakan model paradigmatis korupsi tidak ditetapkan sebagai tindak korupsi? Dalam contoh pene- tapan hukum atas suap perusahaan-perusahaan AS kepada para peja-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun