Mohon tunggu...
Salwa Nur Azizah
Salwa Nur Azizah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Mahsiswi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kenaikan PPN 2025: Resiko Kenaikan Biaya Hidup dan Stagnasi Ekonomi

8 Januari 2025   16:05 Diperbarui: 8 Januari 2025   16:28 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pendahuluan

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan pada transaksi jual-beli barang atau jasa tertentu. Pajak ini dipungut oleh individu, badan usaha, atau pemerintah yang sudah terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Orang atau pihak yang memungut PPN wajib menyetorkan pajak tersebut kepada negara. Berbeda dari pajak langsung, PPN bersifat objektif dan tidak dihitung secara kumulatif. Subjek yang dikenai PPN adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan non-PKP. Beda dari PKP dan non-PKP, PKP memiliki kewajiban untuk memungut PPN, sedangkan non-PKP tidak diizinkan memungut pajak. Selain itu, non-PKP tidak bisa mengklaim Pajak Masukan saat melakukan transaksi barang atau jasa yang dikenakan PPN.

Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terbagi menjadi dua yaitu tarif umum dan tarif khusus. Tarif umum pada tanggal 1 April 2022 dikenai sebesar 11% dan paling lambat 1 Januari 2025 tarif PPN akan naik lagi menjadi 12%. Tarif khusus untuk mempermudah pemungutan PPN di barang/jasa tertentu atau sektor usaha tertentu, diberlakukan tarif PPN final, misalnya 1%, 2%, atau 3% dari omzet, sesuai aturan PMK. Selain itu, UU HPP juga mengubah daftar barang/jasa yang tidak dikenai PPN. Beberapa barang dan jasa yang sebelumnya bebas PPN, sekarang mulai dikenakan pajak.

Pembahasan

Kebijakan kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12%, yang akan mulai berlaku pada tahun 2025 sesuai dengan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), adalah langkah penting pemerintah untuk memperbaiki kondisi keuangan negara, memperluas basis pajak, dan mendukung pembangunan ekonomi setelah pandemi COVID-19. Namun, kebijakan ini menimbulkan pro dan kontra, terutama karena dianggap bisa memberatkan masyarakat kelas menengah ke bawah, yang mungkin akan merasakan dampak kenaikan harga barang dan jasa.

Kenaikan tarif ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara yang sangat diperlukan di masa pemulihan ekonomi. Selama pandemi, Indonesia menghadapi tantangan besar dengan defisit anggaran yang membengkak. Pada tahun 2020, defisit anggaran mencapai 6,14% dari PDB, jauh melampaui batas 3% yang diatur dalam UU Keuangan Negara. Oleh karena itu, menaikkan PPN dianggap sebagai salah satu cara untuk memperbaiki keuangan negara dan menjaga stabilitas ekonomi.

Namun, karena sifatnya yang regresif, kenaikan PPN ini justru bisa menjadi beban tambahan bagi masyarakat, terutama mereka yang berada di garis kemiskinan atau kelas menengah. Sebagai pajak tidak langsung, PPN dikenakan pada setiap konsumsi barang dan jasa, tanpa memandang penghasilan pembeli. Hal ini berbeda dari pajak progresif, di mana beban pajak lebih besar untuk mereka yang berpenghasilan tinggi. Masyarakat berpendapatan rendah biasanya menghabiskan sebagian besar penghasilannya untuk kebutuhan pokok seperti makanan, bahan bakar, dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Akibatnya, mereka lebih rentan terdampak oleh kenaikan harga yang disebabkan oleh tarif PPN yang lebih tinggi.

Pada tahun 2022, pemerintah Indonesia menaikkan tarif PPN dari 10% menjadi 11% dengan rencana untuk meningkatkannya menjadi 12% pada tahun 2025. Selain itu, pemerintah juga memperluas cakupan objek pajak, termasuk barang-barang kebutuhan pokok yang sebelumnya dikecualikan dari pajak. Kenaikan tarif dan perluasan objek pajak ini menuai banyak kritik karena dinilai dapat memperburuk kondisi ekonomi masyarakat yang sudah tertekan, terutama mereka yang berada di garis kemiskinan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2021, jumlah penduduk miskin Indonesia tercatat sekitar 26,16 juta orang, atau 9,6% dari total populasi. Dalam kondisi ini, kebijakan kenaikan tarif PPN yang diberlakukan pada barang-barang kebutuhan pokok, seperti sembako, sangat berisiko memperburuk ketidaksetaraan sosial dan ekonomi di Indonesia. Hal ini juga semakin relevan dengan situasi perekonomian pasca-pandemi COVID-19, yang menyisakan dampak signifikan terhadap kehidupan masyarakat, terutama mereka yang berpendapatan rendah dan menengah.

Fakta Kenaikan PPN 12%

Diinisiasi pada Era Joko Widodo

RUU HPP adalah RUU yang diajukan oleh pemerintah di bawah Presiden Joko Widodo. Awalnya bernama RUU KUP, pada 5 Mei 2021, Presiden Jokowi mengirimkan Surpres ke DPR untuk membahasnya. Setelah itu, pada 22 Juni 2021, DPR membentuk panitia untuk membahas RUU tersebut, yang akhirnya diubah menjadi RUU HPP. RUU ini disahkan pada 29 September 2021, dengan dukungan dari delapan fraksi partai di DPR, sementara PKS menolak. Pada 29 Oktober 2021, Presiden Jokowi menerbitkan UU HPP, yang mengatur kenaikan tarif PPN secara bertahap, yaitu 11 persen mulai 1 April 2022 dan 12 persen pada 1 Januari 2025. Pemerintah menyatakan bahwa UU HPP bertujuan untuk mempercepat pemulihan ekonomi, memperbaiki defisit anggaran, dan meningkatkan rasio pajak.

Peningkatan Tarif PPN

Pemerintah memastikan bahwa kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen, yang akan berlaku mulai tahun depan, tidak hanya berlaku untuk barang mewah, tetapi juga untuk seluruh barang dan jasa yang saat ini dikenakan tarif 11 persen. Ini mencakup barang sehari-hari yang sering dibeli oleh masyarakat, seperti sabun mandi, makanan siap saji di restoran, pulsa telepon, tiket konser, dan layanan video streaming seperti Netflix. Kebijakan ini memperluas cakupan PPN dan membuat tarif ini lebih merata di berbagai sektor.

Penolakan Masyarakat

Sejak diumumkannya kenaikan tarif PPN, masyarakat menyuarakan penolakan dengan menandatangani petisi yang berjudul "Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!". Petisi ini telah memperoleh lebih dari 171.000 tanda tangan hingga 23 Desember 2024, dan menargetkan 200.000 tanda tangan. Pembuat petisi menilai bahwa kenaikan PPN ini akan memberatkan rakyat, khususnya karena daya beli masyarakat yang sudah terpuruk. Petisi ini juga disertai dengan aksi yang dilakukan oleh sejumlah elemen masyarakat yang menyampaikan tuntutannya langsung ke Istana Kepresidenan Jakarta pada 19 Desember 2024.

Barang dan Jasa yang Dikecualikan

Meskipun tarif PPN dinaikkan, beberapa barang dan jasa tetap dibebaskan dari PPN atau tetap dikenakan tarif lebih rendah. Pemerintah memastikan bahwa kebutuhan pokok seperti beras, daging, ikan, telur, sayur-sayuran, dan minyak goreng tetap bebas PPN. Selain itu, jasa pendidikan, layanan kesehatan, angkutan umum, dan beberapa jasa lainnya juga tidak dikenakan PPN. Bahkan, beberapa barang strategis, seperti Minyakita, tepung terigu, dan gula industri, tetap dikenakan tarif PPN 11 persen, dengan pemerintah menanggung sebagian kecil dari beban PPN tersebut. Langkah ini diambil untuk meringankan beban masyarakat, khususnya yang berada di lapisan ekonomi bawah.

Kebijakan Insentif Pemerintah

Untuk meredam dampak dari kenaikan PPN, pemerintah menyiapkan berbagai paket kebijakan insentif. Pemerintah memberikan stimulus bagi sektor rumah tangga dengan bantuan pangan dan diskon listrik 50 persen. Sektor pekerja juga mendapatkan kemudahan dalam akses jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) bagi mereka yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Bagi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), pemerintah memberikan perpanjangan periode pemanfaatan PPh final 0,5 persen dari omzet hingga tahun 2025. Insentif juga diberikan kepada industri padat karya, dengan pekerja berpenghasilan di bawah Rp10 juta mendapat potongan PPh Pasal 21. Selain itu, sektor mobil listrik dan hybrid mendapat insentif khusus, dan sektor perumahan juga mendapat kemudahan berupa PPN DTP (ditanggung pemerintah) untuk pembelian rumah. Kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi tekanan ekonomi yang timbul akibat kenaikan PPN dan membantu mendorong pemulihan ekonomi.

Masalah Utama

Salah satu masalah utama yang muncul dari kebijakan PPN ini adalah ketidakadilan sosial dan ekonomi yang ditimbulkan. Dengan diperkenalkannya PPN pada sembako dan barang kebutuhan dasar lainnya, kelompok masyarakat yang paling membutuhkan akan menghadapi beban lebih besar. Masyarakat miskin dan menengah yang sebagian besar pengeluarannya dialokasikan untuk kebutuhan dasar, seperti pangan, energi, dan transportasi, akan semakin kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Menurut Bhima Yudhistira, seorang ekonom dari Indef, kebijakan ini berisiko meningkatkan kemiskinan dan memperburuk kesenjangan ekonomi yang sudah lebar. "Pajak PPN adalah pajak yang lebih banyak membebani kelompok berpenghasilan rendah. Jika PPN dikenakan pada barang pokok, maka dampaknya akan lebih terasa pada mereka yang pengeluarannya sangat bergantung pada barang-barang tersebut," ujarnya dalam berbagai kesempatan.

Kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok dapat memicu inflasi, yang pada gilirannya akan meningkatkan biaya hidup bagi masyarakat, terutama yang sudah berada dalam kondisi ekonomi yang sulit. Inflasi yang disebabkan oleh PPN ini juga akan mempengaruhi sektor-sektor lain dalam perekonomian. Sektor industri dan perdagangan bisa mengalami kesulitan, terutama bagi usaha kecil dan menengah yang sangat rentan terhadap fluktuasi harga barang. Menurunnya daya beli masyarakat akan mempengaruhi permintaan pasar, yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Salah satu poin kontroversial dalam kebijakan ini adalah perluasan objek pajak untuk mencakup barang-barang kebutuhan pokok yang sebelumnya tidak dikenakan PPN. Langkah ini menambah beban bagi masyarakat berpendapatan rendah dan menengah yang menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk membeli barang-barang tersebut. Bagi kelompok yang lebih mampu, peningkatan tarif PPN mungkin tidak terlalu terasa, tetapi bagi kelompok yang berpenghasilan rendah, kebijakan ini dapat menyebabkan lonjakan biaya hidup yang signifikan.

Dampak Kenaikan PPN 12%

Jika kebijakan kenaikan tarif PPN tetap dilanjutkan, beberapa dampak yang mungkin terjadi dapat memengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat. Salah satu dampak utama adalah meningkatnya ketimpangan sosial. Masyarakat berpendapatan rendah akan semakin terbebani, terutama karena pengeluaran mereka sebagian besar dialokasikan untuk kebutuhan dasar. Kondisi ini dapat memperburuk kesenjangan sosial dan menghambat upaya pemerintah dalam mencapai pemerataan pembangunan, yang selama ini menjadi salah satu tujuan utama kebijakan ekonomi.

Selain itu, kebijakan ini berpotensi mengurangi daya beli masyarakat. Harga barang kebutuhan pokok yang naik akibat tarif PPN yang lebih tinggi akan langsung memengaruhi keluarga yang berada di ambang garis kemiskinan atau rentan jatuh miskin. Penurunan daya beli ini tidak hanya berdampak pada konsumsi rumah tangga, tetapi juga pada sektor usaha kecil yang sangat bergantung pada permintaan domestik.

Dampak lain yang tak kalah serius adalah risiko stagnasi ekonomi. Ketika konsumsi masyarakat menurun akibat meningkatnya harga kebutuhan dasar, pemulihan ekonomi Indonesia setelah pandemi dapat melambat. Dengan melemahnya pertumbuhan ekonomi, stabilitas perekonomian nasional juga menjadi lebih sulit untuk dipertahankan.

Solusi Yang Dapat Dilakukan Untuk Mengatasi PPN 12%

Untuk mengatasi berbagai risiko tersebut, pemerintah perlu mempertimbangkan beberapa solusi. Salah satunya adalah penerapan sistem PPN progresif yang lebih adil. Tarif yang lebih tinggi dapat dikenakan pada barang-barang mewah, sementara barang kebutuhan pokok dibebaskan dari PPN. Langkah ini akan membantu memastikan beban pajak lebih ringan bagi masyarakat menengah ke bawah. Selain itu, program perlindungan sosial perlu diperkuat. Bantuan langsung tunai, subsidi pangan, atau program serupa dapat menjadi jaring pengaman untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah menghadapi kenaikan harga barang.

Pemerintah juga harus mengoptimalkan pengawasan dan pengendalian inflasi. Dengan memantau dan mengendalikan harga kebutuhan pokok di pasar, lonjakan harga yang tidak terkendali akibat penerapan PPN dapat dicegah. Kebijakan ini tidak hanya membantu menjaga stabilitas harga, tetapi juga melindungi daya beli masyarakat secara keseluruhan. Dengan langkah-langkah ini, dampak negatif kebijakan PPN dapat diminimalkan, sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

Kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada tahun 2025 merupakan langkah pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara dan mendukung pemulihan ekonomi pasca-pandemi. Namun, kebijakan ini menimbulkan tantangan serius, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah yang akan merasakan dampak langsung berupa kenaikan harga barang kebutuhan pokok. Sebagai pajak tidak langsung, PPN bersifat regresif dan cenderung lebih membebani kelompok masyarakat yang lebih rentan. 

Dampak negatif kebijakan ini meliputi peningkatan ketimpangan sosial, penurunan daya beli masyarakat, risiko inflasi, dan stagnasi ekonomi. Masyarakat miskin yang mengalokasikan sebagian besar pendapatannya untuk kebutuhan pokok akan menghadapi beban yang lebih berat, sehingga kebijakan ini berpotensi memperburuk kesenjangan sosial dan ekonomi. 

Oleh karena itu, diperlukan langkah mitigasi yang tepat, seperti penerapan PPN progresif, penguatan program perlindungan sosial, dan pengawasan harga kebutuhan pokok untuk mencegah lonjakan harga yang tidak terkendali. Dengan mengadopsi langkah-langkah tersebut, dampak negatif kebijakan ini dapat diminimalkan, sehingga mampu mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkeadilan.

Kesimpulan

Kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang dijadwalkan pada tahun 2025 merupakan salah satu upaya pemerintah untuk memperbaiki keuangan negara dan mendukung pemulihan ekonomi pasca-pandemi. Meskipun demikian, kebijakan ini menimbulkan berbagai tantangan, terutama bagi masyarakat kelas menengah ke bawah dan kelompok rentan yang pengeluarannya sebagian besar dialokasikan untuk kebutuhan dasar. Sebagai pajak tidak langsung yang bersifat regresif, PPN dapat memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi, menurunkan daya beli masyarakat, serta berisiko meningkatkan inflasi yang akan menghambat pemulihan ekonomi.

Dampak negatif dari kebijakan ini mencakup peningkatan ketimpangan sosial, menurunnya daya beli, inflasi yang lebih tinggi, dan potensi stagnasi ekonomi, terutama bagi usaha kecil dan menengah. Masyarakat berpenghasilan rendah yang sangat bergantung pada barang-barang kebutuhan pokok akan merasakan dampak langsung yang cukup signifikan.

Namun, solusi mitigasi seperti penerapan PPN progresif yang lebih adil, penguatan program perlindungan sosial, serta pengawasan harga kebutuhan pokok dapat membantu mengurangi dampak buruk dari kebijakan ini. Dengan mengimplementasikan langkah-langkah tersebut, pemerintah dapat memastikan bahwa kebijakan PPN dapat mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkeadilan, tanpa memberatkan kelompok masyarakat yang paling membutuhkan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun