RUU HPP adalah RUU yang diajukan oleh pemerintah di bawah Presiden Joko Widodo. Awalnya bernama RUU KUP, pada 5 Mei 2021, Presiden Jokowi mengirimkan Surpres ke DPR untuk membahasnya. Setelah itu, pada 22 Juni 2021, DPR membentuk panitia untuk membahas RUU tersebut, yang akhirnya diubah menjadi RUU HPP. RUU ini disahkan pada 29 September 2021, dengan dukungan dari delapan fraksi partai di DPR, sementara PKS menolak. Pada 29 Oktober 2021, Presiden Jokowi menerbitkan UU HPP, yang mengatur kenaikan tarif PPN secara bertahap, yaitu 11 persen mulai 1 April 2022 dan 12 persen pada 1 Januari 2025. Pemerintah menyatakan bahwa UU HPP bertujuan untuk mempercepat pemulihan ekonomi, memperbaiki defisit anggaran, dan meningkatkan rasio pajak.
Peningkatan Tarif PPN
Pemerintah memastikan bahwa kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen, yang akan berlaku mulai tahun depan, tidak hanya berlaku untuk barang mewah, tetapi juga untuk seluruh barang dan jasa yang saat ini dikenakan tarif 11 persen. Ini mencakup barang sehari-hari yang sering dibeli oleh masyarakat, seperti sabun mandi, makanan siap saji di restoran, pulsa telepon, tiket konser, dan layanan video streaming seperti Netflix. Kebijakan ini memperluas cakupan PPN dan membuat tarif ini lebih merata di berbagai sektor.
Penolakan Masyarakat
Sejak diumumkannya kenaikan tarif PPN, masyarakat menyuarakan penolakan dengan menandatangani petisi yang berjudul "Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!". Petisi ini telah memperoleh lebih dari 171.000 tanda tangan hingga 23 Desember 2024, dan menargetkan 200.000 tanda tangan. Pembuat petisi menilai bahwa kenaikan PPN ini akan memberatkan rakyat, khususnya karena daya beli masyarakat yang sudah terpuruk. Petisi ini juga disertai dengan aksi yang dilakukan oleh sejumlah elemen masyarakat yang menyampaikan tuntutannya langsung ke Istana Kepresidenan Jakarta pada 19 Desember 2024.
Barang dan Jasa yang Dikecualikan
Meskipun tarif PPN dinaikkan, beberapa barang dan jasa tetap dibebaskan dari PPN atau tetap dikenakan tarif lebih rendah. Pemerintah memastikan bahwa kebutuhan pokok seperti beras, daging, ikan, telur, sayur-sayuran, dan minyak goreng tetap bebas PPN. Selain itu, jasa pendidikan, layanan kesehatan, angkutan umum, dan beberapa jasa lainnya juga tidak dikenakan PPN. Bahkan, beberapa barang strategis, seperti Minyakita, tepung terigu, dan gula industri, tetap dikenakan tarif PPN 11 persen, dengan pemerintah menanggung sebagian kecil dari beban PPN tersebut. Langkah ini diambil untuk meringankan beban masyarakat, khususnya yang berada di lapisan ekonomi bawah.
Kebijakan Insentif Pemerintah
Untuk meredam dampak dari kenaikan PPN, pemerintah menyiapkan berbagai paket kebijakan insentif. Pemerintah memberikan stimulus bagi sektor rumah tangga dengan bantuan pangan dan diskon listrik 50 persen. Sektor pekerja juga mendapatkan kemudahan dalam akses jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) bagi mereka yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Bagi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), pemerintah memberikan perpanjangan periode pemanfaatan PPh final 0,5 persen dari omzet hingga tahun 2025. Insentif juga diberikan kepada industri padat karya, dengan pekerja berpenghasilan di bawah Rp10 juta mendapat potongan PPh Pasal 21. Selain itu, sektor mobil listrik dan hybrid mendapat insentif khusus, dan sektor perumahan juga mendapat kemudahan berupa PPN DTP (ditanggung pemerintah) untuk pembelian rumah. Kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi tekanan ekonomi yang timbul akibat kenaikan PPN dan membantu mendorong pemulihan ekonomi.
Masalah Utama
Salah satu masalah utama yang muncul dari kebijakan PPN ini adalah ketidakadilan sosial dan ekonomi yang ditimbulkan. Dengan diperkenalkannya PPN pada sembako dan barang kebutuhan dasar lainnya, kelompok masyarakat yang paling membutuhkan akan menghadapi beban lebih besar. Masyarakat miskin dan menengah yang sebagian besar pengeluarannya dialokasikan untuk kebutuhan dasar, seperti pangan, energi, dan transportasi, akan semakin kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka.