Salah satu hal yang akan aku periksa sebelum keluar rumah adalah melihat apakah ada orang gila yang bertengger di pos ronda dekat rumah. Masih jelas terngiang dalam ingatan saat itu pukul 06.00 pagi. Matahari sudah mulai sempurna akan sinarnya. Ibu tengah bersiap keluar rumah untuk membeli nasi uduk.
"Sal, umi keluar duluan ya beli nasi uduk" tukasnya.
"Nanti salma kalau mau ikut nyusul aja" tambahnya.
"Iya, mi" jawabku.Â
Saat aku keluar rumah dan berjalan sekira tiga puluh meter, kudapati seorang wanita paruh baya berbaju merah, berambut putih yang kukenali sebagai teman ngaji ibuku. Perempuan itu mengajakku berjalan bersamanya. Digenggamnya tangan mungil ini, dengan raut wajah polos ku ikuti langkah kakinya tanpa ragu karena ingin segera menemui ibu.
Sepanjang perjalanan, rasa heran menghampiriku sebab banyak pasang mata mengarah pada aku dan orang yang kukira teman ibu.
"Kenapa orang pada ngeliatin aku ya, ada yang bisik-bisik lagi" batinku keheranan.
Sampailah kami pada sebuah warung nasi uduk. Kali pertama aku menginjakkan kaki di warung itu dan tak kudapati ibu disana. Aku masih belum mengerti tentang situasi yang tengah menghampiriku saat itu, hingga teriakan ibu yang memiliki warung tersebut datang.
"Eh Maria!! anak siapa ini yang lu bawa" bentak ibu pemilik warung.
"Anak gue, ini gue minta nasi buat anak gue ya" jawabnya santai.
Barulah aku tersadar ada yang tidak wajar dengan wanita yang ku kira sebagai teman ibuku ini. Beberapa menit setelah itu ku dengar teriakan anak laki-laki dari balik pintu warung nasi.
"Eh ayo keluar! jangan disitu" teriaknya dengan nada tersenggal.
Aku yang masih berusia enam tahun kala itu, masih belum sempurna mencerna situasi yang terjadi. Namun, ku coba ikuti perkataan anak laki-laki itu dan pergi meninggalkan wanita yang baru ku ketahui namanya Maria. Dirinya masih sibuk mengambil nasi untuk aku yang dia pikir sebagai anaknya.
Dalam perjalanan anak laki-laki tersebut menjelaskan bahwa wanita yang ku kenal sebagai teman ibuku adalah orang gila, ia juga mengatakan bahwa dirinya diminta untuk mengejar aku yang tengah di bawa Maria saat itu oleh tetangga dekatku. Penjual kerak telor yang melihatku pergi dibawa Maria.
Diantarnya aku kembali kerumah yang jaraknya 300 meter dari tempat kejadian. Sesampainya dirumah aku menceritakan kejadian pagi ini ke ibuku yang saat itu sudah berada dirumah. Terkejutlah ibu dan seluruh keluargaku saat aku menceritakannya dengan seksama, sebab mereka heran "kok bisa aku dibawa orang gila".
Aku pikir cerita ini berakhir dengan kaburnya aku dari warung nasi dan ternyata masih berlanjut yaitu kembalinya Maria ke tempat saat pertama kali ia bertemu dengan aku di dekat pos ronda
Dicarinya aku dan ditanyakannya keberadaanku oleh Maria kepada tetanggaku. Keramaian saat itu mengundang aku dan keluargaku untuk bergegas keluar dari rumah dan melihat situasi disana.
Tak berselang lama tetangga kami yang menerima bungkusan nasi tersebut menghampiri ibuku dan berkata "Ini dari Maria Mi, kayanya buat Salma deh" ujar tetanggaku.
Aku yang saat itu masih diliputi perasaan takut bergegas kembali kedalam rumah, sebab khawatir bertemu Maria kembali.
Keesokan harinya hari-hariku berjalan seperti biasa, aku pergi ke sekolah lalu kembali ke rumah, begitu seterusnya. Hingga tiga hari kemudian saat aku hendak keluar rumah. Kulihat dari kejauhan sosok yang tak asing dalam ingatan sedang duduk melamun di pos ronda.
"Hah ada Maria" batinku setengah berteriak.
Kembalilah aku kedalam rumah dan mengurungkan niatku untuk keluar, ada perasaan trauma yang kualami saat bertemu dengan Maria, anak kecil mana yang tidak takut akan dibawa orang gila.
Peristiwa itu membuatku lebih waspada lagi ketika ingin keluar rumah, seiring berjalannya waktu rasa berani dalam diriku muncul dan perlahan trauma itu menghilang. Ini tak luput dari nasihat ibuku setiap malam untuk menguatkanku dan bercerita bahwa Maria dulunya sama seperti ibu-ibu pada umumnya. Seorang ibu yang memiliki anak. Namun rasa berat hati ditinggal mati oleh suami dan faktor lainnya membuat ia menjadi tidak waras. Namun, tidak gila sepenuhnya.
Sesekali ia sadar dan nyambung saat diajak bicara. Sebagiannya lagi tidak, bahkan terkadang mengamuk di depan pos ronda. Namun, ia orang gila yang rajin, tak hanya hobi tidur di pos ronda tapi ia juga rajin membersihkan pos ronda dan menyapu halamannya.
Hari terus berganti hingga aku memasuki madrasah tsanawiyah dan duduk dibangku kelas 8. Aku mendengar kabar bahwa Maria telah meninggal. Orang gila yang sempat membuatku trauma sesaat, ia juga orang gila pertama yang membuatku berani saat berhadapan dengannya dan kini sedih saat mendengar kabar duka tentangnya
Maria mengajarkanku tentang sifat kasih sayang seorang ibu yang tidak luntur meski dirinya sedang tidak waras saat itu, dapat terlihat jelas, saat ia mengambilkan nasi untuk aku yang dikira anaknya, ia juga tetap menjadi pribadi yang rajin bahkan lebih rajin dari orang yang waras seperti aku. Terima kasih Maria telah memberikan pembelajaran yang berharga dalam hidupku
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H