Adapun dasar pertimbangan Kompilasi Hukum Islam terhadap perkawinan wanita hamil adalah Q.S An-Nur (24):3 yang artinya "laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin".
Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa pasal 53 Kompilasi Hukum Islam ini diterapkan hanya bagi wanita hamil yang pada saat kehamilannya itu wanita tersebut tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan seorang laki-laki manapun, baik statusnya masih perawan ataupun janda yang telah habis masa iddahnya.Â
Dengan demikian, kehamilannya tersebut dipastikan adalah karena zina ataupun diperkosa. Sedangkan jika yang hamil adalah seorang wanita yang pada saat itu berada dalam ikatan perkawinan dengan seorang laki-laki yaitu suaminya, maka pasal 53 ini tidak dapat diberlakukan walaupun kehamilannya itu terjadi akibat perzinaan dengan lelaki lain yang bukan
suaminya.
Perkawinan wanita hamil menurut para ulama
Syafii, Hanafi, Maliki dan Hambali membolehkan kawin dengan perempuan yang sedang hamil karena zina, asalkan mengawininya itu laki-laki yang menghamilinya, sebab hamil seperti ini tidak menyebabkan haramnya dikawini. Dalilnya terdaoat dalam QS. An-Nur: 3. Sedangkan Abu hanifah juga membolehkan mengenai hal ini. Secara umum, haram hukumnya seorang laki-laki menikahi seorang wanita yang sedang mengandung anak dari orang lain.Â
TETAPI BILA WANITA YANG HAMIL AKIBAT ZINA, MAKA ADA BEBERAPA PENDAPAT ULAMA:
a. Pendapat Imam Abu Hanifah
Menurut Abu Hanifah bahwa bila yang menikahi wanita hamil itu adalah laki-laki yang menghamilinya, hukumnya boleh (sesama pezina). Kalau pun yg menikahinya itu bukan laki2 yang menghamilinya, maka laki2 itu tidak boleh menggaulinya hingga melahirkan.
b. Pendapat Imam Asy-Syafi'i
Pendapat beliau adalah bahwa baik laki-laki yang menghamili atau pun yang tidak menghamili, dibolehkan menikahinya.