Mohon tunggu...
Money

Teori dan Asas Hukum Dalam Kontrak Syariah

10 Februari 2019   15:15 Diperbarui: 10 Februari 2019   15:38 13627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

TEORI DAN ASAS-ASAS HUKUM DALAM KONTRAK SYARIAH 

Salis Ainun Habibah

Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

Email: salisainiba2698@gmail.com,

Abstract

Sharia contracts are agreements or agreements that are deliberately made in writing based on sharia principles. The focus of the study in the discussion of this article is a discussion related to the theory and principles or principles underlying the sharia contract arrangement. This is intended so that in the future there will not be a conflict from the existence of the agreement or contract, especially matters related to the realization of the contract. The results in this study are in the Shari'ah contract law there are several principles or principles of agreement that form the basis of enforcement and implementation of a contract. The principles of the agreement are divided into two, namely the principles of the agreement that do not have legal consequences and are general in nature and the principles of the agreement which have legal consequences and are of a special nature.

Kontrak syariah adalah perjanjian atau perikatan yang sengaja dibuat secara tertulis berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Fokus penelitian dalam artikel ini ialah pembahasan terkait dengan teori dan asas-asas atau prinsip-prinsip yang melandasi dalam penyusunan kontrak syariah. Hal tersebut dimaksudkan agar dikemudian hari tidak terjadi suatu konflik dari adanya perjanjian atau kontrak tersebut, terutama hal-hal yang terkait dengan perealisasian kontrak. Adapun hasil dalam penelitian ini ialah dalam hukum kontrak syari'ah terdapat beberapa asas atau prinsip perjanjian yang menjadi dasar penegakan dan pelaksanaan suatu kontrak. Asas-asas perjanjian tersebut terbagi menjadi dua yaitu asas-asas perjanjian yang tidak berakibat hukum dan sifatnya umum dan asas-asas perjanjian yang berakibat hukum dan sifatnya khusus.

Keywords: Sharia contracts, theory, principles.

PENDAHULUAN

Dalam Lembaga ekonomi terdapat suatu konsep yang disebut dengan konsep Ekonomi Islam atau Ekonomi Syariah. Dengan adanya konsep tersebut terdapat beberapa nilai, teori, prinsip, serta hal hal yang berkaitan dengan kaidah ekonomi berlandaskan ajaran Islam. Tujuan dari adanya konsep tersebut ialah sebagai upaya untuk mengoptimalisasi praktek perekonomian oleh masyarakat Islam serta memfilter praktek perekonomian yang sesuai dan tidak sesuai dengan konsep ekonomi Islam.

Dalam kajian ekonomi Islam terdapat salah satu unsur penting yang mengatur dan menentukan hubungan antara para pelaku ekonomi dalam sebuah transaksi yaitu pembahasan terkait kontrak atau akad. Keterkaitan akad (kontrak) tersebut yang digunakan dalam sebuah transaksi dapat menjadi pembeda antara kontrak syariah dalam lembaga Keuangan syariah dan kontrak dalam Lembaga keuangan konvensional.

Pada hakikatnya sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari seseorang yang melakukan suatu perjanjian atau kontrak, seperti buyu' ( jual beli), tukar menukar, penitipan barang, perjanjian kerja dan lain sebagainya. Sebagai subjek perjanjian atau kontrak si pelaku perjanjian ini harus mengetahui ilmu dan tata cara dalam pembuatan kontrak syariah. Lalu bagaimana sebenarnya akad atau kontrak syariah itu?, Bagaimana teori-teori serta prinsip-prinsip atau azas yang melandasi suatu akad sehingga disebut dengan kontrak syariah.

Hal tersebut dimaksudkan agar dikemudian hari tidak terjadi suatu konflik dari adanya perjanjian atau kontrak tersebut, terutama hal-hal yang terkait dengan perealisasian kontrak. Dengan demikian melalui kontrak, apa yang disepakati para pihak dalam kontrak yang mereka buat akan mendapatkan kepastian hukum sehingga dalam hal ini fungsi kontrak sebagai sarana untuk melindungi kepentingan para pihak akan terjamin.

PEMBAHASAN

A. Teori Kontrak Syariah

1. Pengertian Kontrak Syariah

Kata akad atau kontrak berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti ikatan atau simpulan baik ikatan yang nampak (hissyy) maupun tidak nampak (ma'nawy).[1] Dalam hukum asing terdapat istilah overeenkomst (bahasa Belanda), Contract, agreement (bahasa Inggris), contract, convention (bahasa Prancis) dan lain sebagainya yang merupakan istilah dalam hukum di Indonesia dengan sebutan "kontrak" atau "perjanjian". Pada dasarnya Istilah-istilah tersebut memiliki pengertian yang sama.[2] Sedangkan akad atau kontrak menurut istilah ialah suatu kesepakatan bersama baik lisan, isyarat, maupun tulisan antara dua pihak atau lebih yang memiliki implikasi hukum yang mengikat.

Pengertian tentang akad dalam pasal 1 point 5 Undang-Undang nomor 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara dikatakan akad ialah perjanjian tertulis yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Jadi, yang dimaksud dengan kontrak syariah adalah perjanjian atau perikatan yang sengaja dibuat secara tertulis berdasarkan prinsip-prinsip syariah, sebagai alat bukti bagi para pihak yang berkepentingan.[3]

2. Syarat dan Rukun Akad

Ada dua istilah dalam hukum Islam yang harus dipenuhi dalam melakukan akad, yaitu syarat dan rukun akad. Selain itu hukum Islam juga memberikan ketentuan terkait dengan keabsahan (syarat sahnya) suatu perjanjian; yaitu hal-hal yang berhubungan dengan ketentuan ijab qabul, sighat akad serta ketentuan subjek dan objek akad.

Syarat dalam akad diartikan sebagai unsur yang membentuk keabsahan rukun akad. Jadi sahnya suatu akad sangat tergantung kepada terpenuhi atau tidaknya rukun dan syarat akad tersebut. Menurut Sayyid Sabiq[4] syarat sahnya perjanjian meliputi :

a. Tidak menyalahi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam syariah

Perjanjian yang diadakan oleh para pihak bukanlah perjanjian yang bertentangan dengan hukum atau perbuatan yang melawan hukum syariah, dikarenakan perjanjian yang bertentangan dengan hukum syariah adalah tidak sah dan secara otomatis tidak ada kewajiban bagi para pihak untuk menepati atau melaksanakan isi perjanjian tersebut. Dengan perkataan lain apabila isi perjanjian tersebut merupakan perbuatan yang melawan hukum (hukum syariah), maka perjanjian tersebut dengan sendirinya batal demi hukum.

b. Terjadinya perjanjian atas dasar saling ridho.

Dalam melakukan perjanjian tidak diperbolehkan adanya unsur paksaan dan harus merupakan kehendak bebas dari masing-masing pihak.

c. Isi perjanjian harus jelas

Apa yang diperjanjikan oleh para pihak harus jelas terkait dengan apa yang menjadi isi perjanjian, sehingga dikemudian hari tidak mengakibatkan terjadinya kesalahpahaman diantara para pihak tentang apa yang telah mereka perjanjikan.

Disamping itu istilah rukun dalam akad dapat di maknai sebagai unsur esensial yang membentuk sebuah akad yang keberadannya harus selalu dipenuhi dalam suatu transaksi. Ahmad Azhar Basyir menyatakan bahwa rukun akad meliputi:

a. Subjek Akad

Subjek akad yang dimaksud ialah Pihak yang berakad, yaitu terdiri dari paling sedikit dua orang yang harus sudah baligh, berakal sehat, dan cakap untuk melakukan perbuatan hukum.

b. Objek yang diakadkan.

Objek akad bermacam-macam, sesuai dengan bentuknya. Dalam akad jual beli objeknya adalah barang yang diperjualbelikan dan harganya. Agar objek akad dapat dipandang sah objek memerlukan syarat seperti telah ada pada waktu akad diadakan, dapat menerima hukum akad, dapat ditentukan dan diketahui, dapat diserahkan pada saat akad terjadi, dan lain-lain

c. Akad/Sighat

Akad/sighat ini terdiri dari (a) serah (ijab) atau penawaran; (b) terima (qabul) atau penerimaan ijab ialah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad. Qabul ialah jawaban pihak yang lain sesudah adanya ijab, buat menyatakan persetujuannya. Yang dimaksud sighat adalah dengan cara bagaimana ijab dan qabul yang merupkan rukun-rukun akad itu dinyatakan. Sighat akad dapat dilakukan dengan cara lisan, tulisan, isyarat, maupun perbuatan yang telah menjadi kebiasaan dalam ijab dan qabul.[5]

B. Asas-asas atau prinsip-prinsip hukum dalam kontrak syariah

Dalam hukum kontrak syari'ah terdapat beberapa asas atau prinsip perjanjian yang menjadi dasar penegakan dan pelaksanaan suatu kontrak. Asas-asas perjanjian tersebut terbagi menjadi dua yaitu asas-asas perjanjian yang tidak berakibat hukum dan sifatnya umum dan asas-asas perjanjian yang berakibat hukum dan sifatnya khusus. Adapun asas-asas perjanjian yang tidak berakibat hukum dan sifatnya umum adalah:

1. Asas Ilahiah atau Asas Tauhid

Setiap tingkah laku dan perbuatan manusia merupakan ketentuan dari Allah SWT. Seperti yang disebutkan dalam QS. al-Hadid (57): 4 yang artinya "Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan". Kegiatan bermu'amalah merupakan salah satu bentuk perbuatan perjanjian, dan tentunya tidak akan lepas dari nilai-nilai ketauhidan. Oleh karenanya manusia memiliki tanggung jawab akan hal tersebut, yaitu tanggung jawab kepada masyarakat, tanggung jawab kepada pihak kedua, tanggung jawab kepada diri sendiri, dan tanggung jawab kepada Allah SWT. Sebagai konsekuensi dari penerapan asas ini, manusia tidak akan berbuat sekehendak hatinya karena segala perbuatannya akan mendapat balasan dari Allah SWT.[6]

2. Asas Kebolehan (Mabda al-Ibahah),

Terdapat kaidah fiqhiyah yang artinya, "Pada asasnya segala sesuatu itu dibolehkan sampai terdapat dalil yang melarang".[7] Hadis riwayat Daruquthni, dihasankan oleh an-Nawawi yang artinya: "Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka janganlah kamu langgar dia, dan Allah telah mengharamkan sesuatu maka janganlah kamu pertengkarkan dia,dan Allah telah mendiamkan beberapa hal, maka janganlah kamu perbincangkan dia".[8] Kedua hadis di atas dapat disimpulkan bahwa asal dari segala sesuatu adalah boleh atau mubah untuk dilakukan. Kebolehan ini dibatasi sampai ada dasar hukum yang melarangnya. Hal ini berarti bahwa Islam memberi kesempatan luas kepada yang berkepentingan untuk mengembangkan bentuk dan macam transaksi baru sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.

3. Asas Keadilan

Disebutkan bahwasanya Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Hadid (57): 25 yang artinya "Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan Neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan". Selain itu disebutkan pula dalam QS.Al A'raf (7): 29 yang artinya "Tuhanku menyuruh supaya berlaku adil". Dalam asas ini para pihak yang melakukan kontrak dituntut untuk berlaku benar dalam mengungkapkan kehendak dan keadaan, memenuhi perjanjian yang telah mereka buat, dan memenuhi semua kewajibannya.[9]

4. Asas Persamaan Atau Kesetaraan

Hubungan mu'amalah dilakukan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Seringkali terjadi bahwa seseorang memiliki kelebihan dari yang lainnya. Oleh karena itu sesama manusia masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Maka antara manusia yang satu dengan yang lain, hendaknya saling melengkapi atas kekurangan yang lain dari kelebihan yang dimilikinya. Dalam melakukan kontrak para pihak menentukan hak dan kewajiban masingmasing didasarkan pada asas persamaan dan kesetaraan.[10]

5. Asas Kejujuran dan Kebenaran (Ash Shidiq)

Jika tidak ada kejujuran dalam perjanian atau kontrak, maka dapat merusak legalitas kontrak dan menimbulkan perselisihan diantara para pihak. Dalam QS. al-Ahzab (33): 70 disebutkan yang artinya, "Hai orang --orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar". Suatu perjanjian dapat dikatakan benar apabila memiliki manfaat bagi para pihak yang melakukan perjanjian dan bagi masyarakat dan lingkungannya. Sedangkan perjanjian yang mendatangkan madharat dilarang.

6. Asas Tertulis (Al Kitabah)

Hendaknya ketika melakukan suatu perjanjian dilakukan secara tertulis agar dapat dijadikan sebagai alat bukti apabila di kemudian hari terjadi persengketaan. Dalam QS.alBaqarah (2); 282- 283 dapat dipahami bahwa Allah SWT menganjurkan kepada manusia agar suatu perjanjian dilakukan secara tertulis, dihadiri para saksi dan diberikan tanggung jawab individu yang melakukan perjanjian dan yang menjadi saksi tersebut. Selain itu dianjurkan pula jika suatu perjanjian dilaksanakan tidak secara tunai maka dapat dipegang suatu benda sebagai jaminannya.[11]

7. Asas Iktikad baik (Asas Kepercayaan)

Asas ini selaras dengan pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi, "Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik".[12] Asas ini mengandung pengertian bahwa para pihak dalam suatu perjanjian harus melaksanakan substansi kontrak atau prestasi berdasarkan kepercayaan atau keyakinan serta kemauan baik dari para pihak agar tujuan perjanjian dapat tercapai.

8. Asas Kemanfaatan dan Kemaslahatan

Asas ini mengandung pengertian bahwa semua bentuk perjanjian yang dilakukan harus mendatangkan kemanfaatan dan kemaslahatan baik bagi para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian maupun bagi masyarakat sekitar. Dengan maslahat dimaksudkan memenuhi dan melindungi lima kepentingan pokok manusia yaitu melindungi religiusitas, jiwa-raga, akal-pikiran, martabat diri dan keluarga, serta harta kekayaan.[13]

Adapun asas-asas perjanjian yang berakibat hukum dan bersifat khusus adalah:

1. Asas Konsensualisme atau Asas Kerelaan (mabda' arrada'iyyah)

Pada dasarnya segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar suka sama suka atau kerelaan antara masing-masing pihak tidak diperbolehkan ada tekanan, paksaan, penipuan, dan mis-statement. Jika hal ini tidak dipenuhi maka transaksi tersebut dilakukan dengan cara yang batil.[14] Hal tersebut sesuai isi kandungan QS. An-Nisa (4): 29 yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu". Selain itu asas ini dapat pula di lihat dalam pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata yang menentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak, yang merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.

2. Asas Kebebasan Berkontrak (mabda' hurriyah at-ta'aqud)

Islam memberikan kebebasan kepada para pihak untuk melakukan suatu perikatan. Bentuk dan isi perikatan tersebut ditentukan ditentukan oleh para pihak. Apabila telah disepakati bentuk dan isinya, maka perikatan tersebut mengikat para pihak yang menyepakatinya dan harus dilaksanakan segala hak dan kewajibannya. Dalam QS.al-Maidah (5): 1 disebutkan, yang artinya "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah perjanjian-perjanjian"

3. Asas Perjanjian Itu Mengikat

Asas ini berasal dari hadis Nabi Muhammad saw yang artinya: "Orangorang muslim itu terikat kepada perjanjian-perjanjian (Klausul-klausul) mereka, kecuali perjanjian (klausul) yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram".[15] Dari hadis di atas dapat dipahami bahwa setiap orang yang melakukan perjanjian terikat kepada isi perjanjian yang telah disepakati bersama pihak lain dalam perjanjian. Sehingga seluruh isi perjanjian adalah sebagai peraturan yang wajib dilakukan oleh para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian.

4. Asas Keseimbangan Prestasi

Maksud dari asas ini ialah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian.[16]

5. Asas Kepastian Hukum (Asas Pacta Sunt Servanda)

Asas kepastian hukum ini terkait dengan akibat perjanjian. Dalam hal ini hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang, mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas Pacta Sunt Servanda dapat disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi, "Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang".[17]

6. Asas Kepribadian (Personalitas)

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan. Hal ini dapat dipahami dari bunyi pasal 1315 dan pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata berbunyi: "Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri". Sedangkan pasal 1340 KUH Perdata berbunyi "Perjanjian hanya berlaku antara para pihak yang membuatnya". Namun ketentuan ini terdapat pengecualian sebagaimana yang diintrodusir dalam pasal 1317 KUH Perdata yang berbunyi: "Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri atau suatu pemberian kepada orang lain mengandung suatu syarat semacam itu". Pasal ini menmberi penjelasan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga dengan suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam pasal 1318 KUH Perdata tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya. Dengan demikian asas kepribadian dalam perjanjian dikecualikan apabila perjanjian tersebut dilakukan seseorang untuk orang lain yang memberikan kuasa bertindak hukum untuk dirinya atau orang tersebut berwenang atasnya.

7. Asas Kebebasan Berkontrak

Dalam asas-asas perjanjian Islam dianut apa yang disebut dalam ilmu hukum sebagai "asas kebebasan berkontrak" (mabda' hurriyah al-ta'aqud). Adapun maksud dr asas kebebasasan berkontrak ialah kebebasan seseorang untuk membuat perjanjian macam apapun dan berisi apa saja sesuai dengan kepentingannya dalam batas-batas kesusilaan dan ketertiban umum, sekalipun perjanjian tersebut bertentangan dengan aturan-aturan atau pasal-pasal hukum perjanjian.[18]

C.  Syarat sah kontrak

Ada hal penting yang harus diperhatikan oleh para pihak ketika membuat perancangan kontrak yaitu syarat sahnya perjanjian atau kontrak sebagaimana telah diatur dalam pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang pada intinya mengatur tentang:

1. Kesepakatan para pihak

2. Kecakapan para pihak

3. Objek tertentu

4. Sebab yang halal.

Syarat 1 dan 2 disebut syarat subyektif, karena menyangkut subyek pembuat kontrak. Akibat hukum tidak dipenuhinya syarat subyektif maka kontrak dapat dibatalkan (vernietigbaar), artinya akan dibatalkan atau tidak, terserah pihak yang berkepentingan.

Syarat 3 dan 4 disebut syarat obyektif, karena menyangkut obyek kontrak. Akibat hukum jika tidak dipenuhi syarat obyektif maka kontrak itu batal demi hukum, artinya kontrak itu sejak semula dianggap tidak pernah ada. Juga perjanjian yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum adalah batal demi hukum.

Dalam membuat suatu perjanjian atau kontrak sangat diperlukan pemahaman akan ketentuan-ketentuan hukum perikatan, selain itu juga diperlukan keahlian para pihak dalam pembuatan kontrak akan terhindar dari sengketa atau perselisihan yang sulit untuk diselesaikan. Oleh karena itu kontrak menjadi sangat penting sebagai pedoman kerja bagi para pihak yang terkait.

D. Perbedaan Hukum Kontrak Syari'ah dan Hukum Kontrak Konvensional

Perjanjian dalam hukum Islam dikenal dengan istilah al-'aqd yang berarti perikatan, permufakatan. Secara terminologi fiqh akad didefinisikan dengan :

"Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada objek perikatan"

Sementara dalam pasal 1313 KUH Perdata disebutkan bahwa perjanjian adalah:

"Suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan suatu hal".[19]

Dengan demikian, setelah adanya perjanjian yang menimbulkan perikatan maka timbulah yang dinamakan kontrak atau disebut perjanjian tertulis sebagai media atau bukti kedua belah pihak

Perbedaan yang mendasar antara hukum kontrak syariah dengan hukum kontrak konvensional:

1. Dari segi Landasan filosofis: Dalam kontrak syariah terdapat nilai-nilai agama (Religius Transedental ), sedangkan dalam kontrak konvensional tidak terdapat nilai-nilai agama (sekuler).

2. Berdasarkan Sifatnya: Kontrak syariah bersifat individu proporsional sedangkan dalam kontrak konvensional bersifat individu/ liberal.

3. Berdasarkan Substansinya: Dalam kontrak syariah terdapat hubungan manusia dengan Allah (vertikal), manusia dengan manusia, benda dan lingkungan (horizontal). Sedangkan Dalam kontrak konvensional hanyalah sebatas hubungan manusia dengan manusia, dan manusia dengan benda (horizontal).

4. Dari proses Terbentuknya: Dalam kontrak syariah tedapat pengertian al-ahdu (perjanjian)-persetujuan-al-akhdu (perikatan), sebagaimana dalam QS.Ali Imron:76 dan QS.Al-Maidah:1. Sedangkan dalam kontrak konvensional terdapat pengertian perjanjian (overeenkomst) dan perikatan (verbintebsis). Pasal (1313 dan 1233 BW).

5. Dari segi sahnya perikatan: Dalam kontrak syariah harus memenuhi unsur halal, sepakat, cakap, tanpa paksaan serta ijab dan qabul. Adapun dalam kontrak konvensional harus memenuhi unsur : kesepakatan, kecakapan, hal tertentu dan halal (1320 BW).

6. Berdasarkan sumbernya: dalam kontrak syariah terdapat Sikap tindak yang didasarkan Syariat (persetujuan yang tidak melanggar Syariah). Sedangkan dalam kontrak konvensional harus adanya persetujuan dari undang-undang.

E. Macam-macam kontrak atau perjanjian syariah dan Kontrak atau perjanjian konvensional

1. Kontrak Syari'ah

Dalam kontrak Syari'ah kebanyakan mengenai perjajanjian muamalat, diantaranya :

a. Al-Wakalah

b. Ash shulhu

c. Perjanjian Jual Beli

d. Perjanjian Sewa Menyewa (Al-Ijarah)

e. Bagi Hasil

f. Penitipan Barang (Wadi'ah)

g. Serikat/Perseroan (Syirkah)

h. Pemberian (Hibah)

i. Pinjam Pakai (Al-Ariyah)

j. Perjanjian Pinjam Pakai habis (Pinjam Meminjam)

k. Gadai (Rahn)

l. Penanggungan Hutang (Kafalah)

m. Perjanjian Perdamaian (As Shulhu), dan lain-lain.[20]

2. Kontrak Konvensional

Berikut adalah beberapa perjanjian yang biasa dijumpai dalam perjanjian konvensional :

a. Perjanjian Timbal Balik

b. Perjanjian Cuma-Cuma (Pasal 1314 KUHPerdata)

c. Perjanjian Atas Beban

d. Perjanjian Bernama (Benoemd)

e. Perjanjian Tidak Bernama (Onbenoemde Overeenkoms)

f. Perjanjian Obligator

g. Perjanjian Kebendaan (Zekelijk)

h. Perjanjian Konsensual

i. Perjanjian Rill

j. Perjanjian Liberatoir

k. Perjanjian Pembuktian (Bewijsovereenkomst)

l. Perjanjian Untung-untung

m. Perjanjian Publik

n. Perjanjian Campuran (Contractus Sui Generis)[21]

Kesimpulan

Dalam pembutan kontrak syariah sangat diperlukan pemahaman akan ketentuan-ketentuan hukum terkait dengan syarat dan rukun akad, syarat sah suatu perjanjian dan prinsip-prinsip atau azas yang harus di terapkan dalam penyusunan kontrak. Hal tersebut ditujukan untuk menghindari sengketa atau perselisihan yang sulit untuk diselesaikan di kemudian hari.

Dalam hukum kontrak syari'ah terdapat beberapa asas atau prinsip perjanjian yang menjadi dasar penegakan dan pelaksanaan suatu kontrak. Asas-asas perjanjian tersebut terbagi menjadi dua yaitu asas-asas perjanjian yang tidak berakibat hukum dan sifatnya umum dan asas-asas perjanjian yang berakibat hukum dan sifatnya khusus.

Daftar Pustaka

Ali, Mohammad Daud. Asas-asas Hukum Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.

Badrulzaman, Mariam Darus. Kompilasi Hukum Perikatan, Jakarta : PT. Citra Aditya Bakti, 2001.

Basyir, Ahmad Azhar. Azas-azas Hukum Muamalah. Cet 2. Yogyakarta: UII Press, 2004).

Dewi, Gemala. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006.

Djamil, Faturrahman. "Hukum Perjanjian Syari'ah", cet. 1. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.

H. S, Salim. Hukum Kontrak. Jakarta : Sinar Grafika, 2003.

Ibn Ya'qub, Fayruz Abadyy Majd al-Din Muhammad. al-Qamus al-Muhit, jilid 1. Beirut: D Jayl

Muharrom, M.Tamyiz. "Kontrak Kerja: Antara Kesepakatan dan Tuntutan Pengembangan SDM", dalam Al Mawarid Jurnal Hukum Islam, Edisi X tahun 2003. Yogyakarta: Program Studi Syari'ah FIAI UII.

Musbikin, Imam. Qawa'id Al-Fiqhiyah, cet.1.Jakarta: Raja Grafindo Persada,2001.

Pasaribuan, Chairuman dkk. Hukum Perjanjian Dalam Islam. Jakarta : Sinar Grafika, 1993.

Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah 12 dan 3. Bandung: Al-Maarif, 1998.

Subekti, Hukum Perjanjian. Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 1990.

Suhardana, F.X, Contract Drafting Kerangka Dasar dan Teknik Penyusunan Kontrak, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2009.

Syakir, Aula Muhammad. Asuransi Syari'ah, (Life and General,2004): Konsep dan Sistem Operasional, Cet. 1. Jakarta: Gema Insani Press,2004.

http://mozhatia.blogspot.com/2010/04hukum--perjanjian-syariah-dan.html, diakses tanggal 5 februari 2019

[1] Fayruz Abadyy Majd al-Din Muhammad Ibn Ya'qub, al-Qamus al-Muhit, jilid 1. (Beirut: D Jayl), h. 327.

[2] F.X. Suhardana, Contract Drafting Kerangka Dasar dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2009), h. 7

[3] "Hukum Perjanjian Syariah dan Pelaksanaanya," http://mozhatia.blogspot.com/2010/04hukum--perjanjian-syariah-dan.html, diakses tanggal 5 februari 2019

[4] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 12 dan 3, (Bandung, Al-Maarif, 1998), h. 178

[5] Ahmad Azhar Basyir, Azas-azas Hukum Muamalah, Cet 2, (Yogyakarta; UII Press, 2004), h. 34

[6] Muhammad Syakir Aula,  Asuransi Syari'ah, (Life and General,2004): Konsep dan Sistem Operasional, Cet. 1. (Jakarta: Gema Insani Press), h. 723-727

[7] Imam Musbikin, Qawa'id Al-Fiqhiyah, cet. 1. (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2001), h. 12

[8] Musbikin, Qawa'id Al-Fiqhiyah, h. 59

[9] Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana,2006), h. 33

[10]Gemala, Hukum Perikatan, h. 32-33

[11] Gemala, Hukum Perikatan, h.37-38.

[12] Mohammad Daud Ali, Asas-asas Hukum Islam , (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2000), h. 123.

[13] M.Tamyiz Muharrom, "Kontrak Kerja: Antara Kesepakatan dan Tuntutan Pengembangan SDM", dalam Al Mawarid Jurnal Hukum Islam, Edisi X tahun 2003, (Yogyakarta: Program Studi Syari'ah FIAI UII), h.10

[14] Faturrahman Djamil. "Hukum Perjanjian Syari'ah", cet. 1. (Bandung: Citra Aditya Bakti,2001), h. 250,

[15] Hadis riwayat Bukhari, Tirmizi dan al-Hakim.

[16] Daud Ali,  Asas-asas Hukum Islam, h. 115.

[17] Salim H. S,  Hukum Kontrak (Jakarta, Sinar Grafika, 2003), h.10

[18] Subekti, Hukum Perjanjian, cet. ke-6. (Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 1990), h.13

[19] Salim, Hukum Kontrak, h.27

[20] Chairuman Pasaribuan,dkk , Hukum Perjanjian Dalam Islam, ( Jakarta : Sinar Grafika, 1993), h.19-148

[21]Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Jakarta : PT. Citra Aditya Bakti, 2001), h.66-69.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun