Mohon tunggu...
salahudin tunjung seta
salahudin tunjung seta Mohon Tunggu... Administrasi - Individu Pembelajar

Mohon tinggalkan jejak berupa rating dan komentar. Mari saling menguntungkan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Di Balik Polemik Sebuah Peringatan Tragedi

20 Februari 2022   01:32 Diperbarui: 20 Februari 2022   01:58 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di balik sebuah peristiwa tidak jarang terdapat sebuah alasan yang tidak dijelaskan di depan khalayak ramai, alasan tersebut tetap dijaga dan tidak tersampaikan ke masyarakat. Polemik atau perbedaan pandangan seringkali tidak menunjukan suatu hal yang memang menjadi sebuah alasan. Mereka, pihak dalam polemik atau peristiwa tersebut tak jarang menggunakan eufimisme, sehingga masyarakat tidak memahami maksud atau niat sesungguhnya dari para pihak. Bahkan seringkali masyarakat menjadi seperti korban dari penipuan. 

Dahulu, ketika penjajahan Belanda digantikan oleh datangnya Jepang, mereka mengklaim telah mengusir penjajah Belanda. Dai Nippon menyatakan bahwa Jepang adalah Saudara Tua dari Indonesia. Menyusul klaim dan pernyataan tersebut, Jepang membentuk Propaganda Tiga A. Tak ayal, masyarakat Indonesia cukup banyak yang berteriak "Banzai" ketika iring-iringan para Serdadu Jepang dan para Perwira Jepang melewati jalan-jalan di Indonesia pada saat awal pendudukan Jepang. Namun kenyataannya, Jepang menggunakan eufimisme dalam kata "Saudara" untuk menyatakan "Penjajahan". Sebagaimana dijelaskan dalam biografi Maulwi Saelan dengan judul "Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 66" bahwa Jepang membutuhkan Indonesia dalam hal Sumber Daya Alam guna menyokong militer Jepang untuk menghadapi Perang Asia Timur Raya. 

Dahulu, ketika Soekarno digantikan posisinya sebagai Presiden oleh Soeharto, era yang disebut sebagai Orde Baru sebagai sebuah klaim politik untuk menegaskan bahwa rezim Soeharto adalah anti-thesis masa Soekarno yang disebut sebagai Orde Lama, menyatakan bahwa akan melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 secara lurus. Hal tersebut dikarenakan era Soekarno dianggap lebih dekat ke blok komunis dan menjalankan Demokrasi Terpimpin yang disebut sebagai tidak menjalankan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 secara penuh.

Salah satu wujud dari sikap Orde Baru adalah dengan mengadakan Pemilu secara periodik, yang pada saat itu dilaksanakan hanya untuk memilih legislatif. Walaupun demikian, nyatanya Pemilu diadakan hanya sebagai sebuah formalitas saja. Masyarakat sebelum hasil pemilu diumumkan, hampir selalu dapat menebak dengan tepat, partai politik mana yang menjadi pemenang Pemilu. Hal tersebut karena sistem kepartaian yang membuat Golkar (Kelompok Fungsional yang menjalankan fungsi kepartaian) mendominasi dan mengakar, tidak hanya ke masyarakat desa-desa, tetapi juga pegawai negeri yang pada saat ini dilarang untuk menjadi simpatisan kelompok politik. Di sisi lain, partai politik lain dilemahkan dengan ditetapkannya fusi, yaitu partai-partai islam, seperti pada saat itu Parmusi, PSII dan Perti dijadikan satu partai, yaitu PPP. Sedangkan partai-partai non-Islam dan Nasionalis, seperti pada saat itu PNI, Murba, IPKI, serta Parkindo dan lain-lain dijadikan satu partai, yaitu PDI. Dengan strategi demikian, maka Golkar yang merupakan kelompok fungsionalis tetapi menjalankan fungsi kepartaian dapat mengakar dengan kuat. Sehingga Soeharto dapat dipastikan selalu menjadi Presiden, karena kelompok-kelompok penyokongnya menjadi mayoritas menduduki kursi di MPR. Dengan kondisi demikian, Soeharto menggunakan eufimisme dengan menggunakan frasa "menjalankan Pancasila dan UUD Tahun 1945" untuk kata "diktatoriat". Eufimisme selalu memakan korban, tidak lain yaitu masyarakat yang berada di luar peristiwa atau polemik yang ada. Karena masyarakat yang berada di luar peristiwa yang ada, tidak sedikit yang membaca atau melihat dengan 'polos'. 

Akhir-akhir ini, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan berdirinya museum di Minahasa yang didirikan untuk memperingati tragedi kemanusiaan, yaitu Holocaust. Pro dan kontra muncul setelah didirikannya Museum Holocaust ini. Kelompok kontra, mayoritas menghubungkan dengan konflik Israel-Palestina. Sebagaimana dinyatakan oleh Sudarnoto, Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri, di media CNN bahwa Zionisme sama jahatnya dengan Nazi yang melakukan Holocaust, seharusnya Indonesia sebagai negara pembela Palestina, tidak ada Museum Holocaust di Indonesia. Itulah paraphrase dari pernyataan Sudarnoto. Selain itu, dalam media Republika Sudarnoto menegaskan bahwa pendidikan sejarah mengenai Holocaust tidak tepat untuk dilakukan di Indonesia, lebih tepat dilakukan di Jerman. Sedangkan di yang berseberangan dengan MUI , berpandangan bahwa sikap dari MUI adalah sebuah sikap yang kurang dapat menerima perbedaan. Achmad Nurcholish, pimpinan Conference on Religion and Peace (ICRP) sebagaimana dilansir BBC, menyatakan bahwa penolakan terhadap museum Holocaust merupakan bukti masyarakat Indonesia masih beragama secara ekslusif. Lebih lanjut Nucholis menyatakan bahwa :

Kita hidup beragama masih di level eksklusif, yang masih dihinggapi kecurigaan, prasangka. Ini persoalan pola pikir.

Selain itu, menurut Nurcholish sikap dari pimpinan MUI merupakan bukti bahwa MUI belum siap menerima perbedaan.

Pro-kontra mengenai Museum Holocaust ini sebaiknya tidak ditelan mentah-mentah oleh publik mengenai pandangan-pandangan para pihak yang masuk dalam polemik ini. Pun juga hati-hati terhadap pendapat-pendapat yang membawa 'Identitas' dalam polemik Museum Holocaust, karena dapat menyebabkan konflik lain dalam polemik yang ada dan bukan malah menyelesaikan polemik yang sudah ada terlebih dahulu. Oleh karena itu, dengan maksud untuk "urun rembug" dalam menyikapi pembangunan Museum Holocaust di Indonesia, penulis dengan segala keterbatasan yang terdapat dalam diri, ikut untuk memperkaya cara pandang publik. Tentu bukan pendapat yang 100% benar, oleh sebab itu, penulis menerima kritik dan koreksi, karena bisa jadi, literatur yang dibaca oleh penulis dan pemahaman penulis kurang tepat dalam beberapa hal. 

HOLOCAUST : TRAGEDI KEMANUSIAAN 

Hitler, seorang diktator Jerman, merupakan salah satu orang terkejam di sejarah modern. Polandia, Austria, Perancis adalah negara-negara yang berhasil diduduki oleh tentara NAZI yang dipimpin olehnya. 

Hitler lahir di Austria, 20 April 1889. Ketika dia hijrah ke Jerman, dia sempat bergabung dengan tentara Jerman untuk menghadapi Perang Dunia Pertama. Sebagai prajurit, hitler cukup berprestasi karena sempat mendapatkan medali Iron Cross. Walaupun demikian, dia sangat terpukul dengan hasil yang diperoleh Jerman pada Perang Dunia Pertama tersebut. Ditandatanganinya Perjanjian Versailles merupakan hal yang memalukan bagi Jerman menurut Hitler.

Pasca perjanjian Versailles, kondisi Jerman memburuk, pemogokan terjadi di mana-mana. Kekacauan pasca perang membuat ia meyakini bahwa perlu adanya pemimpin dengan jiwa Nasionalis Jerman yang tinggi untuk mengeluarkan kekacauan dan penderitaan bangsa Aria pasca perang, dan menjadikannya ras unggul. 

Dengan cita-cita tersebut dia bergabung dengan Partai Pekerja Jerman, yang pada saat itu, ia berhasil hingga menduduki pimpinan partai. Setelah menduduki pimpinan partai dia merubah gaya "berpartai" menjadi semi-militer dan merubah nama partai menjadi Partai Pekerja Nasionalis Sosialis Jerman, yang disingkat dalam bahasa Jerman menjadi NAZI. 

Adolf Hitler berhasil dilantik sebagai Kanselir (jabatan kepala pemerintahan Jerman, yang setara dengan Perdana Menteri) pada 30 Januari 1933. Pada bulan Februari 1933 terjadi pembakaran gedung Reichstag (Gedung Parlemen Jerman), membuat Hitler terbesit ide untuk menyalahkan kelompok komunis dan menetapkan Undang-Undang Darurat.

Pasca diundangkannya Undang-Undang Darurat, kelompok militer Partai NAZI dikeluarkan dan menyerang toko-toko Yahudi, melumpuhkan para pimpinan serikat buruh, dan menyerang para Anti-NAZI hingga ke rumah-rumahnya. Setelah menyerang para lawan politiknya, Hitler berhasil menjadi Kepala Negara. Sehingga pada saat itu Hitler tidak hanya menjadi Kanselir tetapi juga sebagai Kepala Negara Jerman. Sah sudah Hitler menjadi diktator Jerman. 

Tujuan dia adalah membuat Jerman dan Bangsa Aria menjadi gilang-gemilang dan tidak dipermalukan seperti pada saat ditandatanganinya Perjanjian Versailles. Oleh karena itu, Jerman mulai menyerang negara-negara seperti, Austria, Cekoslovakia, dan Polandia, dan Perang Dunia II pun meletus. 

Sepanjang Perang Dunia Kedua itulah tragedi kemanusiaan terjadi yang dilakukan oleh NAZI akibat Nasionalisme yang kebablasan hingga Chauvinisme. Pembunuhan secara sistematis dilakukan terhadap tidak hanya kepada orang-orang Yahudi, namun juga ras ataupun kelompok politik yang menurut NAZI adalah inferior, seperti bangsa Rom (Gipsi), orang-orang cacat, dan orang kulit hitam, serta kelompok politik komunis, sosialis, dan kelompok homoseksual. 

Tregedi itu disebut sebagai Holocaust, yang diambil dari bahasa Yunani kuno yang memiliki arti "persembahan bakaran". Setelah Perang Dunia Kedua kata tersebut diidentikan dengan genosida yang dilakukan oleh NAZI Jerman. Pembunuhan maha besar yang dilakukan oleh NAZI, pada khususnya terhadap Yahudi sebenarnya bisa dirunut ke belakang, untuk menemukan mengapa NAZI dapat melakukan tindakan yang begitu kejam tersebut. 

Pada saat Adolf Hitler pergi ke Wina, sebelum menjadi prajurit Jerman pada Perang Dunia Kesatu, untuk mendaftar ke Akademi Seni Rupa, ia hidup sengsara dengan penuh keterbatasan. Rasa marah akan penderitaan yang dialaminya tersebut disalurkan kepada kebencian terhadap "orang kaya Yahudi". 

Sepanjang yang pernah dialami, saat itulah terjadi perubahan terbesar dalam hidupku. Karena saya menjadi warga dunia yang rendah, maka saya menjadi seorang anti Semitis yang... fanatik.... di manapun saya pergi saya mulai dengan memandang Yahudi

Tulisnya dalam otobiografinya yang berjudul Mein Kampf .

Anti-semitisme yang dianut oleh Adolf Hitler tersebut tetap dipegang teguh hingga menjadi Kanselir dan Kepala Negara (Diktator) Jerman dan pasca itu menyebabkan sebuah pembunuhan sistematis maha besar dengan dasar kebencian rasial dan ideologis di era modern. 

Holocaust disebut sebagai pembunuhan yang dilakukan secara sistematis dikarenakan pembunuhan yang dilakukan oleh NAZI itu dilakukan secara bertahap. Kamp konsentrasi didirikan oleh NAZI untuk menampung para tahanan yang dipaksa untuk bekerja hingga mereka kekelahan dan mati. 

Kedatangan Yahudi Hongaria di kamp konsentrasi Auschwitz pada 1944. (source : Hannolans/wikipedia.org)
Kedatangan Yahudi Hongaria di kamp konsentrasi Auschwitz pada 1944. (source : Hannolans/wikipedia.org)

Sebelum dikirim ke kamp konsentrasi, mirisnya, mereka, para korban Holocaust tidak mengetahui bahwa nasib buruk akan menanti mereka. Mereka hanya mengetahui bahwa akan diberikan tempat tinggal baru. (voi.id)

Holocaust sebagaimana dijelaskan di atas tidak hanya memakan korban para orang-orang Yahudi tetapi juga lawan politik, tahanan perang, orang cacat dan mereka yang dianggap kelompok orang-orang inferior oleh NAZI. Dilansir dalam Ensiklopedia Holocaust, jumlah korban Holocaust adalah 6 juta orang Yahudi, warga sipil Soviet sekitar 7 juta (termasuk 1,3 juta warga sipil Yahudi Soviet, yang sudah tercakup dalam angka 6 juta untuk Yahudi), tahanan perang Soviet sekitar 3 juta (termasuk kira-kira 50.000 serdadu Yahudi), warga sipil non-Yahudi Polandia sekitar 1,8 juta (termasuk anggota elite Polandia sekitar 50.000 hingga 100.000 orang), Warga sipil Serbia (di wilayah Kroasia, Bosnia dan Herzegovina) 312.000, bangsa Roma (Gipsi) hingga 250.000, orang-orang cacat hingga 250.000 dan lain-lain. Dengan jumlah yang sangat besar tersebut tentu dapat kita melihat bahwa begitu besarnya dampak dari sebuah ideologi rasial atau kebencian rasial, apapun ideologi tersebut, tidak hanya anti-semitisme.

Kemanusiaan yang dilahirkan oleh pencerahan eropa adalah kemanusiaan yang pada akhirnya dapat terjebak dalam sebuah kemanusiaan yang eksklusif. Walaupun dia mendeklarasikan sebagai sebuah kemanusiaan universal namun ternyata sebagai 'penemu', orang-orang eropa menggunakan sudut pandang mereka dalam memahami kemanusiaan. Oleh karena itu, kemanusiaan pada saat itu dapat melahirkan sebuah kolonialisme dengan maksud memanusiakan orang-orang di luar eropa. Menurut F. Budi Hardiman dalam buku "Humanisme Dan Sesudahnya" menyatakan bahwa kolonialisme memang terjadi karena adanya motif-motif ekonomi. Namun penjajahan tidak akan menjadi kekuatan sistemis apabila tidak ada pembenaran-pembenaran  moral mengenai harusnya membuat bangsa-bangsa di luar eropa menjadi beradab. Dengan demikian "NAZIsme" dapat dikatakan sebagai sebuah pemahaman kemanusiaan, tetapi terkait dengan kemanusiaan yang eksklusif tadi. 

NAZI adalah bentuk lanjut dari Kemanusiaan yang eksklusif, dia tidak merupakan dalam misi memanusiakan orang di kelompok lain di luar NAZI. Tetapi memandang secara rasial atau memandang berdasarkan kelompok atau kelas tertentu. sehingga mereka yang berada di luar kelompoknya bukan hanya dipandang rendah tetapi juga dapat dimusnahkan. NAZIsme adalah sebuah humanisme karena melihat manusia sebagai pusat sejarah, suatu subjek yang dapat merubah sejarah dengan kebebasan dan  kemampuan-kemampuan kodratinya. Namun ketika manusia digantikan atau dipersempit pada ras atau kelas tertentu, humanisme mereka berubah menjadi mendestruksi manusia konkret dengan kekhasan individu dan keberagamannya. Hal tersebut tergambar dari tindakan yang dilakukan oleh NAZI melalui Holocaust yang menghilangkan kelompok-kelompok manusia yang mereka anggap inferior dan menjadikan bangsa Aria menjadi penyelamat dunia karena dianggap sebagai ras yang unggul. 

Holocaust adalah sebuah tragedi kemanusiaan, bukan Humanisme Universal hasil dari pencerahan eropa. Namun merupakan tragedi yang melukai kemanusiaan, dalam arti melukai manusia-manusia konkret. Manusia-manusia yang plural, soal nilai, kebudayaan, gender, hingga agama dan keyakinan. Oleh karena itu, Holocaust adalah sebuah tragedi yang mengacam kemanusiaan kita, kemanusiaan yang penuh pluralisme. Bukan saja merupakan luka bagi orang-orang Yahudi, namun luka bagi kita juga, karena pemahaman humanisme yang eksklusif dapat berakibat bagi siapapun juga nantinya. 

YAHUDI, ZIONISME DAN KONFLIK PALESTINA-ISREAL

Konflik Palestina-Israel adalah  konflik yang diakibatkan oleh adanya 'penjajahan' dan tindakan rasialisme oleh orang Yahudi pro-Zionisme Israel terhadap orang Arab Palestina. Namun saat ini tidak sedikit yang memahaminya secara lebih sempit, yaitu konflik perihal agama. Pertanyaannya adalah apakah Yahudi selalu pro-Israel, pro Zionisme ? 

Kita harus memahami terlebih dahulu mengapa negara Israel dapat berdiri di tengah-tengah dan menyingkirkan bangsa Arab Palestina dari tanahnya. Sebelum Israel berdiri, orang-orang Yahudi tersebar di berbagai negara (hingga saat ini pun masih pula banyak yang tidak menjadi warga negara Israel). Pada 1880, ketika eropa mulai melakukan kolonialisasi ke Afrika, kala itu beberapa orang-orang Yahudi meyakini bahwa keterikatan ras dan agama Yahudi adalah ikatan kebangsaan, yang menyebabkan, mereka seharusnya memiliki hak sebagaimana bangsa-bangsa pada umumnya, khususnya hak untuk berada terpisah dalam suatu wilayah mereka sendiri (negara). Ketika bangsa-bangsa eropa telah melakukan kolonialisasi dan menguasai wilayah-wilayah di luar negaranya. Maka seharusnya, menurut mereka (beberapa orang Yahudi), dapat mengirim penjajahnya sendiri, mendirikan pemukiman di suatu wilayah, yang pada akhirnya berdiri suatu negara, di mana seluruh orang Yahudi di seluruh dunia akan tinggal di situ. Sehingga menurut Dr. Fayez. A Sayegh :

Bagi Zionisme, maka dari itu, penjajahan adalah instrumen dari pembangunan bangsa, bukan hasil sampingan dari nasionalisme yang telah terwujud.

Agustus 1987, diadakan kongres Zionis Pertama, di Basel, Swiss, di bawah kepemimpinan Theodor Herzl kongres tersebut menghasilkan tujuan dari Zionisme adalah untuk membangun rumah bagi orang Yahudi di Palestina yang terjamin oleh hukum publik.

Pada tahun 1907/1908 strategi dari Zionisme berubah, tidak mempertimbangkan secara de jure untuk kolonisasi. Strategi bergeser ke cara-cara de facto untuk pada nantinya ketika posisi tawar sudah di miliki para Zionis maka pengakuan secara politik pada nantinya dapat diperjuangkan. Gelombang kedua kolonialisasi Zionis ini lebih militan guna memisahkan diri dari Arab Palestina, namun masih tidak menghasilkan sesuatu yang berarti. 

Perang Dunia Pertama meletus dan Zionisme mendapatkan keuntungan dari perang tersebut. Inggris memiliki kepentingan di timur tengah, mereka mencoba mengamankan wilayah Terusan Suez dan menjaga wilayah yang dapat menjadi rute darat menuju India, bebas dari kekuasaan bangsa Eropa lainnya. Untuk mengamankan itu, pada 1917 lahir sebuah Deklarasi Balfour yang menyatakan bahwa Inggris mendukung penuh pendirian tanah air Yahudi di Palestina. 

Pada selanjutnya Inggris membuka gerbang migrasi besar-besaran Zionis ke Palestina. Selain itu, Inggris juga mengalihkan lahan kepada orang-orang Zionis. Inggris pun mengizinkan pendirian kekuatan militer Zionis (Haganah) serta memeliharanya. Pada akhir Perang Dunia Kedua, melemahnya Inggris dan semakin dekatnya kemerdekaan India, membuat Inggris merasa telah kehilangan minat dengan Palestina dan persekutuannya dengan Zionis. Namun Zionis dengan cepat mendapatkan penyokong baru, yaitu Amerika Serikat, dan pada akhirnya 1948, Israel berhasil lahir sebagai negara di atas tanah Palestina. 

Penjelasan tersebut di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa Zionisme adalah sebuah gerakan untuk menyatukan orang-orang Yahudi dunia dalam satu wilayah, yaitu Palestina. Pernyataan tersebut selaras dengan yang di sampaikan oleh Dr. Fayez. A Sayegh dalam bukunya yang berjudul "Kolonialisme Zionis di Palestina", yang menyatakan bahwa 

Dorongan primordial bagi Kolonialisme Zionis adalah pengupayaan “realisasi-diri nasional” dengan “bangsa Yahudi”, melalui perkumpulan kembali dalam satu wilayah dan kenegaraan yang berdaulat. Pemisahan diri rasial dengan demikian adalah inti dari Zionisme.

Walaupun Zionisme adalah sebuah gerakan yang mengedepankan alasan ras dan agama, bukan berarti dia dapat hidup tanpa adanya sebuah penolakan dari orang-orang Yahudi itu sendiri. Orang-orang Yahudi yang tersebar di seluruh Dunia termasuk yang ada di dalam negara Israel tidak 100% mendukung Zionisme ataupun tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Israel terhadap Arab Palestina. 

Penolakan tersebut tersebar dalam kelompok dan latar ideologi yang beraneka ragam. Salah satunya adalah Neturai Karta, yaitu kelompok Ultra-ortodoks Yahudi yang memiliki motto "Yahudi Bersatu Melawan Zionisme". Dari motto yang mereka tuliskan, tentu kita sudah dapat membayangkan sikap yang diambil dari kelompok Neturai Karta ini. Mereka pro-Palestina dan menentang Zionisme yang memiliki tujuan adalah mendirikan negara Yahudi, karena menurut mereka, orang-orang Yahudi tidak boleh memiliki negara sendiri sebelum Mesias Yahudi turun. Selain Neturai Karta yang memegang prinsip agama dalam organisasinya, terdapat Center for Jewish Non-Violence (CJNV) yang memegang prinsip demokratis-kolaboratif untuk mendorong diaspora Yahudi untuk bersolidaritas dengan rakyat Palestina guna melawan pendudukan Israel. Dengan demokratis-kolaboratif sebagai prinsip yang mereka pegang, CJNV menjunjung tinggi kemanusiaan universal dan kesetaraan penuh antara orang Israel dengan orang Palestina. Selain, CJNV dan Neturai Karta, masih ada PeaceNow atau Jewish Voice for Peace yang merupakan organsasi kiri orang-orang Yahudi di Amerika Serikat serta sederetan organisasi-organisasi lainnya yang dimotori orang-orang Yahudi dengan tujuan menolak Zionisme. Hal ini membuktikan bahwa Israel bukanlah manifestasi 100% dari orang-orang Yahudi. Yahudi tidak bisa secara serta merta disamakan dengan Zionisme. 

Hal ini menandakan bahwa, tidak tepat untuk melihat konflik Israel-Palestina adalah sebagai konflik agama. Melihat konflik Israel-Palestina sebagai konflik agama adalah mempersempit cara pandang dalam melihat konflik itu sendiri, bahkan menyimpan bom waktu berupa anti-semitisme yang dapat muncul tanpa kita sadari ketika cara pandang tersebut dibiasakan di tengah masyarakat. Alih-alih membela Palestina dan melawan Zionisme, kelompok yang menentang Zionisme akan terjebak pada anti-semitisme yang pada dasarnya adalah sebuah paham rasis terhadap orang Yahudi, padahal dengan adanya fenomena CJNV, Neturai Karta, PeaceNow, atau Jewish Voice for Peace menandakan bahwa isu Palestina adalah isu milik publik, isu yang universal dan semua tanpa adanya sekat dapat membelanya dan bersolidaritas dengan rakyat Palestina. Sebagaimana dijelaskan oleh Ahmad Rizky M. Umar dalam tulisan yang berjudul "Perspektif Kiri untuk Solidaritas Palestina" menjelaskan bahwa

Ia bukan hanya sekedar ekspresi umat Islam yang disingkirkan dari tanah suci tempat berdirinya Masjid Al-Aqsha. Ia juga adalah ekspresi orang-orang tak berdaya yang disingkirkan dari rumah yang mereka diami selama bertahun-tahun oleh penjajah yang menggantikan Inggris. Ia juga adalah ekspresi perjuangan orang-orang miskin tak berpunya-punya, para pekerja yang tak sempat menikmati hasil jerih payah mereka sendiri karena tidak punya hak legal untuk menjadi tuan di tanah mereka sendiri.

Peringatan sebuah tragedi Holocaust adalah murni sebagai sebuah peringatan terkait tragedi kemanusiaan. Museum atau apapun itu yang terkait dengan tragedi tersebut adalah sebagai wujud dari 'Peringatan' bagi kita, agar peristiwa serupa tidak boleh terjadi lagi dalam wujud atau motif apapun, baik dilandasi oleh alasan ideologi politik, kebanggaan budaya, ataupun agama, karena dehumanisasi terhadap manusia konkret adalah wujud dari kekerasan terhadap kemanusiaan. Kemanusiaan di dalamnya termasuk juga adalah keunikan manusia itu sendiri, yaitu perbedaan. Sehingga kebencian yang didasari atas identitas suatu kelompok dan mengakibatkan adanya usaha meniadakan kelompok tertentu adalah sebuah kejahatan kemanusiaan. Hal itulah yang perlu dilawan dan diusahakan untuk tidak terjadi lagi sebagaimana dahulu terjadi tragedi Holocaust. Bukan malah memandang secara konspiratif antara Museum Holocaust dengan sikap Indonesia terhadap isu Palestina-Israel  

Penolakan terhadap pembangunan Museum Holocaust di Minahasa, mayoritas didasari oleh alasan konflik Israel-Palestina. Bahwa Indonesia sebagai pembela Palestina, maka tidak pantas untuk didirikan Museum Holocaust. Hal-hal seperti ini jangan-jangan merupakan wujud dari Anti-semitisme, dengan eufimisme berupa "Bela Palestina". Karena sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Israel-Palestina adalah isu universal, sehingga siapapun tanpa sekat dapat bersolidaritas dengan Palestina termasuk orang Yahudi, sebab Yahudi tidak selalu Zionis. Dengan demikian orang-orang yang berpandangan bahwa membela Palestina berarti mencurigai segala hal yang berbau Yahudi, hampir sama dengan NAZI yang ingin menyelematkan Jerman dengan pengalaman dasar dari Adolf Hitler yang salah satunya mencurigai Yahudi sebagai biang keladi kehancuran Jerman. 

Jangan sampai perjuangan yang didasari dengan sebuah semangat kemanusiaan dinodai dengan hal yang bertolak belakang dengan kemanusiaan (anti-semitisme), maka sebuah tragedi akan berulang lagi dan lagi, mungkin dengan wajah yang lain tetapi dengan luka yang sama.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun