Mohon tunggu...
Astromen
Astromen Mohon Tunggu... Ilmuwan - FUS RO DAH

Petani sukses di Bulan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sorenetta

27 Januari 2023   14:38 Diperbarui: 19 April 2024   12:01 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jauh dari perkotaan, jauh dari bising kendaraan, jauh dari segalanya. Ada sebuah taman memanggil namaku.

Tak ada seorangpun disini. Hanya aku seorang diri bersama kawanan burung melalui pohon-pohon yang rindang sampai cakrawala.

Inilah waktu yang kuhabiskan setiap hari dalam seminggu terakhir.

Pada suatu hari, ketika aku sedang membaca buku di taman. Ada seorang gadis kecil mencari sesuatu dibalik semak-semak.

“Popo! Dimana kamu?”

Itu adalah nama boneka beruang berwarna coklat yang hilang entah kemana.

Bersama-sama, kita mencari boneka itu sepanjang hari. Sayangnya tak berhasil menemukan Popo.

Menjelang sore aku meminta si gadis itu segera pulang dan mencari bonekanya lagi besok.

Tidak tahu kenapa ada rasa ingin menolong dia. Kalimat itu terselip begitu saja di lidahku.

Dari kejauhan, gadis itu tersenyum melambaikan tangan “namaku Leah, besok kita bertemu lagi disini.”

Besok harinya Leah mengajakku bermain di taman. Padahal dia merasa sedih saat mencari bonekanya kemarin.

Leah berkata dengan santai “Popo tidak mungkin pergi jauh. Cepat atau lambat kita pasti menemukannya.”

Aku tidak mengerti maksud perkataannya. Apapun itu, kita menghabiskan waktu bersama. Bermain ayunan, seluncuran, menghias bunga sampai matahari terbenam.

Warna langit menjadi jingga. Kita terbaring terlentang di padang rumput dengan tangan menggapai matahari.

Leah yang berada disampingku menanyakan pertanyaan paling sulit kujawab. “Apa kamu bahagia selama ini?” Leah menatapku dengan wajah cemas. “Terkadang … kamu terlihat sedih walau sesaat,” dia menggengam tanganku.

Kita baru saja bertemu tapi Leah tahu isi hatiku. Sebenarnya aku tidak pernah membahas ini kepada siapapun. Entah kenapa rasanya aku bisa menjadi terbuka karena dia.

Memalingkan wajahku ke langit. “Aku kabur dari rumah, berhenti dari pekerjaan, masa depanku meredup, menyadari apa yang kulakukan selama ini sia-sia.”

Tidak berharap Leah bisa memahami ucapanku. Dia masih menatap dan menggengam tanganku dan berkata “Semua akan baik-baik saja.” Itu adalah perkataan yang sangat kekanakan, namun entah kenapa rasanya aku menjadi tenang. Sangat tenang sampai tak sadar aku tertidur sampai larut malam.

Saat terbangun, leah sudah tak ada disampingku. Aku berdiri dan melihat sekitar, sisi lain yang belum pernah kulihat.

Tidak ada penerangan. Semuanya gelap gulita, kecuali satu tempat.

Ada sebatang pohon besar yang dihiasi kunang-kunang.

Aku berjalan mendekatinya dan tak kusangka secara kebetulan, ada boneka beruang coklat bersandar dibawah pohon itu.

Besoknya, saat langit cerah berangin. Aku menunggu di taman seperti biasa dengan boneka ditanganku. Tapi …. Leah tidak datang hari ini.

Tidak tahu dimana rumahnya. Aku hanya mengikuti jalan setapak dan berharap menemukan rumahnya.

Dalam perjalanan menelusuri sungai dan perkebunan. Terdengar suara tawa yang sangat kukenal. Kucari dari mana arah suara itu, lalu berdiri didepan sebuah rumah.

Ada seorang wanita sedang menyiram tanaman di halaman rumah. 

“Halo permisi, apakah ini rumahnya Leah?”

Lalu wanita itu terkejut dan menjatuhkan ember tanpa disadari. Dia menangis saat melihat boneka yang kupegang.

Pada saat itu kita berbicara cukup lama. Aku tidak bisa berkata apa-apa saking terkejutnya. Hal yang bisa kulakukan adalah memberikan boneka beruang padanya lalu pergi.

Tak jauh dari tempat itu, aku pergi dimana Leah berada. 

Terbaring dimakamnya.

“Aku tidak percaya kau telah tiada selama ini, ternyata kita seumuran dengan nasib yang sama.”

Didepan batu nisan aku memejamkan mata dan berdoa sampai matahari terbenam “Terima kasih Leah.”

Pada saat itu, aku putuskan untuk pulang ke rumah. Bukan tempat apartment dimana aku tinggal sekarang melainkan tempat dimana aku dibesarkan.

Berdiri menghadap ibu dan ayah, memberanikan diri dan mengambil keputusan. “Aku sudah siap.”

Mereka memelukku dengan erat tanpa satu katapun. Aku terima tanpa penyesalan.

Dokter berkata kemungkinan aku selamat hanya tiga puluh persen. Bagiku …. itu sudah cukup.

Inilah adalah momen terakhir atau sebuah awal yang baru.

Aku terbaring diruang operasi lalu Dokter menyuntikan obat bius.

Perlahan-lahan aku mulai hilang kesadaran dan cahaya lampu mulai meredup.

Semakin terang sebuah cahaya, semakin gelap bayangannya dan saat-saat seperti ini, kau lah yang paling menerangi hatiku.

“… Leah.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun