Besok harinya Leah mengajakku bermain di taman. Padahal dia merasa sedih saat mencari bonekanya kemarin.
Leah berkata dengan santai “Popo tidak mungkin pergi jauh. Cepat atau lambat kita pasti menemukannya.”
Aku tidak mengerti maksud perkataannya. Apapun itu, kita menghabiskan waktu bersama. Bermain ayunan, seluncuran, menghias bunga sampai matahari terbenam.
Warna langit menjadi jingga. Kita terbaring terlentang di padang rumput dengan tangan menggapai matahari.
Leah yang berada disampingku menanyakan pertanyaan paling sulit kujawab. “Apa kamu bahagia selama ini?” Leah menatapku dengan wajah cemas. “Terkadang … kamu terlihat sedih walau sesaat,” dia menggengam tanganku.
Kita baru saja bertemu tapi Leah tahu isi hatiku. Sebenarnya aku tidak pernah membahas ini kepada siapapun. Entah kenapa rasanya aku bisa menjadi terbuka karena dia.
Memalingkan wajahku ke langit. “Aku kabur dari rumah, berhenti dari pekerjaan, masa depanku meredup, menyadari apa yang kulakukan selama ini sia-sia.”
Tidak berharap Leah bisa memahami ucapanku. Dia masih menatap dan menggengam tanganku dan berkata “Semua akan baik-baik saja.” Itu adalah perkataan yang sangat kekanakan, namun entah kenapa rasanya aku menjadi tenang. Sangat tenang sampai tak sadar aku tertidur sampai larut malam.
Saat terbangun, leah sudah tak ada disampingku. Aku berdiri dan melihat sekitar, sisi lain yang belum pernah kulihat.
Tidak ada penerangan. Semuanya gelap gulita, kecuali satu tempat.
Ada sebatang pohon besar yang dihiasi kunang-kunang.