Mohon tunggu...
Saiful Furkon
Saiful Furkon Mohon Tunggu... -

Aku Cinta Menulis

Selanjutnya

Tutup

Puisi

True Story: Keyakinan yang Memisahkan Kita

20 Januari 2011   08:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:22 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Diangkat Dari Kisah Nyata

Aku masih disibukan oleh pekerjaanku. Suara telfon dari orang yang kusayangi masih saja kuacuhkan. Lantaran pekerjaan ini benar-benar menguras tenaga dan menyita pikiranku. Sudah sebulan belakangan ini targetku harus cepat terlaksana. Selain tuntutan dari kantor tempat aku bekerja, ini juga demi menunjukan keprofesionalan dalam bekerja.

Pukul delapan malam, aku masih berada diruang kantor. Semestinya aku sudah berada didalam kamar, istirahat sambil menonton DVD ditemani secangkir moccacino dan kacang atom. Namun sepertinya aku harus terus berkutat didepan layar komputer.

Kulirik telfon genggamku yang tak kuusik semenjak siang tadi. Ada enam panggilan tidak terjawab. Siapa lagi kalau bukan, Astri. Calon istriku yang amat kucinta. Namun ambisi dalam menyelesaikan pekerjaanku, membuat asmaraku terbengkalai dan waktu yang kujanjikan untuk pergi dinner malam ini kubatalkan.

"Gion!" suara Astri tatkala aku menghubunginya, menyempatkan waktuku diantara tuntutan dan himpitan pekerjaan

"Ia sayang? Ada apa?"

"Banyak sekali hal yang ingin aku omongin" suara Astri terlihat ada yang berbeda, namun aku tak mau berprasangka apapun. Aku tak ingin fikiranku terbagi kembali

"Ngomongin apa?"

"Soal pernikahan kita"

"Ia sayang, lain waktu saja. Aku sekarang tengah sibuk. Aku masih dikantor, belum pulang" ujarku, berharap Astri mengakhiri percakapan, agar aku bisa kembali menyelesaikan pekerjaan yang tengah menggunung dan satu persatu harus terselesaikan malam ini juga.

Aku dan Astri sudah menjalin hubungan semenjak 4 tahun silam, saat itu kami sama-sama kuliah di Universitas swasta di ibu kota. Perkenalan kami berawal dari salah seorang sahabatku, dan juga teman masa sma ia sewaktu di Serang. Ia mengenalkan pada sosok wanita muslim yang lembut itu. Walau kami berbeda keyakinan, namun nampaknya Astri sangat serius mencintaiku. Terbukti hingga sampai sekarang, kami sampai menuju tahap level persiapan pernikahan kami.

Walau aku dekat dengannya. Namun tidak begitu dengan keluarganya. Aku merasa belum ada kecocokan. Terutama dari neneknya. Neneknya seolah merasa ada yang lain seketika menatapku. Namun aku terus mengambil hal positifnya saja. Toh aku berhubungan dengan cucunya serius, bukan main-main.

Tepat pukul Sembilan, akhirnya aku bisa bernafas lega. Setelah dituntut oleh loyalitas dalam bekerja, akhirnya aku pulang dengan sedikit ketenangan. Karena pekerjaan ini akhirnya selesai juga.

"Gion, kamu dimana?" suara ibu tatkala aku sudah berada didalam mobilku

"Dijalan bu, ada apa?" tanyaku

"Kamu cepat pulang, orang dari percetakan undangan sudah datang"

"Oh, ia bu. Lima belas menit dari sekarang saya pasti datang. Ibu bilang saja kalau disuruh menunggu"

"Ia-ia"

Ibu mematikan telfonnya. Jelas, ada kebahagiaan dalam wajahku. Akhirnya aku akan menjadi lelaki seutuhnya. Menikahi seorang gadis yang amat sangat kucintai. Sempat terbersit dalam fikiran bahwa aku laki-laki yang paling beruntung. Yang mampu meminangnya.

Sesampainya dirumah, kulihat Pak Danang tengah duduk diruang tamu dan ditemani ibu. Senyum mengembang dari bibirnya. Kulihat beberapa plastik besar, yang isinya undangan yang aku pesan.

"Sudah selesai, Pak" aku tersenyum dan ikut nimbrung

Aku duduk sambil melihat-lihat hasilnya. Cukup bagus, dan aku merasa puas. Lantaran undangan yang sudah jadi hasilnya sesuai dengan apayang aku minta.

"Pembayarannya saya sudah transfer pak via rekening tadi pagi"ujarku

"Ia pak, saya juga sudah menerima laporannya. Semoga saja pernikahan Pak Gion berjalan lancar" seutas doa terucap dari bibirnya

Aku hanya membalas dengan senyuman.

Sepulang Pak Danang, aku langsung masuk kekamar. Wajah bahagiaku terlihat dibalik cermin. Entah kenapa, pekerjaan yang membebani pikiran perlahan hilang seketika dirumah. Dan mengingat bahwa pernikahanku tinggal beberapa minggu. Bahkan undangan pun esok akan kusebar.

"Sayang" panggilanku lewat telfon

"Ia..." suara lembut terdengar menyejukan hati

"Undangan yang aku pesan sudah jadi, besok akan aku sebar untuk teman-teman kantorku"

"Ia sayang. Kamu sekarang sudah pulang? Jangan lupa makan malam"

"Ia sayang"

****

Dikantorku heboh dengan berita pernikahanku. Tak ayal banyak yang menggodaku hingga membuat aku terkadang malu sendiri. Dan banyak juga yang memberi ucapan selamat. Seprti pak Triosa manager ditempat aku bekerja.

"Yon, beneran nih mau nikah. Sudah bisa belum caranya?" ledek Bang Yosi, teman kantorku yang usianya sepuluh tahun lebih tua dariku, dan ia seperti kakaku sendiri

"Maksudnya, bang?" aku belum paham

"Aku punya banyak kaset sama bukunya, kalau kamu mau belajar, Kupinjamkan"

Aku ketawa geli. Ada-ada aja Bang Yosi. Dia pikir aku anak kecil yang polos yang belum tahu apa-apa. Jelas saja aku juga lelaki normal yang berkembang seperti manusia pada umumnya.

"Rencana mau punya anak berapa Yon?" sambar Rafi

"Belum kepikiran, Fi"

"Kalo pertama hati-hati, jangan bikin gak nyaman"ledeknya juga

"Alah kamu tahu apa sih, kamu aja belum nikah" sergahku

Rafi senyum malu.

"Atau jangan-jangan kamu..."

"Enak saja kau, biar gini aku masih original" bantah Rafi soal dugaanku, aku cuma cengengesan. Obrolan khas laki-laki terdengar ngalir dan tak jaim. Bahkan Rina, satu-satunya pegawai perempuan dibagian departemenku nyaman-nyaman saja mendengarnya.

Setelah pulang kerja, aku berencana mau bertemu dengan Astri. Selain untuk membicarakan soal pernikahan yang sudah mendekati waktunya, aku juga kangen melihat wanita berparas cantik yang membuat aku cinta setengah mati.

Tepat pukul lima sore, aku sudah menunggu didepan bank ia bekerja. Setelah hampir lima menit aku menunggu, akhirnya ia keluar juga. Aku tak melihat senyuman yang mengembang dari bibirnya. Ia nampak datar saja melihatku.

"Yang, lama bener?" tanyaku

"Tadi ada masalah saja,Yon"

"Yaudah, nyari tempat makan yuk" ajaku

Astri hanya tersenyum tandanya mengiyakan. Didalam mobil, aku tak mendengar obrolan dari Astri. Ia hanya diam, dan sesekali menatapku. Ada kecurigaan yang mendasar dalam benaku, namun aku buru-buru membuangnya. Aku tak mau berprasangka dengannya.

"Kamu sudah undang teman-temanmu?" tanyaku

"Hhhh...." Astri nampak terbata-bata "Aku belum sempat sayang, paling nanti hari minggu" jawabnya, kulihat tatapan nanar dari wajahnya

Suasana hening. Aku diam. Apa mungkin ini efek dari tanggal perkawinan yang semakin mendekat. Sehingga membuat Astri sedikit berubah.

"Aku sayang kamu, Tri" ujarku mencairkan suasana

Tak ada jawaban dari bibir manis itu, dalam hati aku sedikit kecewa. Sebenarnya ada apa dengan gadis ini.

****

Tanggal pernikahanku semakin dekat. Aku memakai tata cara islam dalam pernikahan kami. Walau aku seorang budhist, namun aku menyadari bahwa perkawinan di Indonesia belum dapat dilaksanakan antar beda agama. Entahlah, aku tak mau ambil pusing. Toh selagi Astri menerima aku apa adanya, dengan keyakinan masing-masing. Tak ada yang terlalu sulit. Walau cobaanya pasti besar nanti, karena harus melengkapi satu samalain. Namun aku yakin mampu mengatasinya.

Hari-hariku menunggu tanggal pernikahan amat sangat bahagia. Aku merasa sekarang saatnya berbenah diri. Memikirkan apa-apa yang harus kulakukan. Bahkan ijab Kabul pun sudah aku pelajari. Yah susah-susah gampang, apalagi kalau latihan dikantor. Partnerku Bang Yosi, bagaimana aku bisa serius.

"Jadilah suami yang baik nanti untuk istrimu" ujar Ibu tatkala ia tengah merapihkan barang-barang yang akan dibawa untuk lamaran beberapa hari lagi diruang tengah

"Ia, bu. Sebisa mungkin Gion akan menjadi suami yang baik"

Aku langsung masuk kekamar tatkala ibu sudah selesai bicara denganku. Aku benar-benar tidak menyangka kalau hari-hari kebersamaanku selama ini dengan Astri akan disatukan dengan ikatan suci. Dan yang terpenting aku akan memiliki gadis itu seutuhnya. Mungkin benar, banyak sekali hal yang harus aku sadari mengenai kekuranganku, agar nantinya tidak berdampak buruk bagi hubungan nanti.

Kuambil telfon genggam yang aku taruh dimeja. Kulihat, tak ada panggilan ataupun sms darinya. Yang ada hanya sms promo dari operator selulerku. Aku langsung mencari namanya dikontak, dan tanpa pikir panjang aku langsung menekan tombol call.

Sekali tak ada jawaban, dua kali tak ada jawaban, dan akhirnya untukyang ketiga kalinya aku bisa mendengarkan suaranya.

"Kamu lama sekali mengangkatnya" ujarku sedikit kesal

"Maaf, Yon. Aku lagi nggak enak badan. Telfon tadi aku silent. Ada apa?" tanyanya yang membuat aku sedikit heran, kenapa Astri semakin aneh sekali. Aku melihat perubahan semakin signifikan terhadapnya. Benar-benar hal diluar dugaan. Namun seperti biasa, aku selalu saja berfikiran posisitf, mudah-mudahan ini efek dari tanggal pernikahan yang semakin mendekat. Bukan karena problema lain.

"Besok malam aku mau kita ketemu, aku ingin bicara sejujur-jujurnya apa yang terjadi sama diri aku. Dan aku ingin kamu mengerti dan memahami kondisiku" ujar Astri

Apa maksudnya? tanda tanya besar menyelinap dibenaku. Aku benar-benar kefikiran dengan omongan Astri, sebenarnya dia kenapa. Namun aku belum berani untuk bertanya terlalu dalam. Karena ia memutuskan untuk bicara segalanya besok, bertatap mata. Bukan Via telephone.

****

Aku berjalan mengikuti langkah Astri. Mataku menatap ke arahnya, kulihat ia nampak lebih murung. Dan sepertinya ada air mata yang menggenang dimatanya. Rasa penasaranku berkecambuk. Aku tidak mampu menerka. Kubiarkan ini mengalir apa adanya. Dan Akhirnya aku bisa duduk tenang disebuah Café, dimana aku mampu berhadapan dengan calon istriku.

"Maafin semua kesalahanku sebelumnya, Yon" ujarnya mengawali pembicaraan

"Maksud kamu?" Aku tidak mengerti

"Maafin kalau aku punya salah. Selama ini kamu baik sekali sama aku. Aku benar-benar bingung mau mengawali pembicaraan dari mana." Astri semakin menangis

"Kamu kenapa harus nangis, sebenarnya ada apa sih? Dari kemarin aku benar-benar bingung, Tri"

Astri menghapus air matanya. Aku hanya menampakan wajah kekesalan. Bagaimana tidak, omongan Astri hanya membuat aku bertanya-tanya dan menduga saja.

"Maafin aku, aku harus membatalkan pernikahan kita"

Kata itu benar-benar menohok jantungku. Bagaimana bisa aku mendengar Atsri bicara seperti itu disaat kondisi seperti ini.

"Kenapa?" aku menetralisir keadaan diri, kulihat gadis itu semakin menangis

"Aku bingung harus ngomong apa, tapi mungkin ini jalan yang terbaik untuk kita berdua. Aku sayang kamu. Tapi bukan berarti kita bisa bersama. Mungkin kita tidak berjodoh Yon"

"Atas dasar apa kamu ngomong seperti itu. Kamu jangan mempermainkan perasaan saya, Astri!" aku menaikan nada bicaraku

"Dari kemarin aku sudah pengen ngomong sama kamu, tapi aku nunggu waktu yang pas. Dan mungkin sekarang. Sampaikan permintaan maaf aku keorang tua kamu. Aku harap kamu bisa menemukan seseorang yang terbaik buat kamu"

"Ini konyol, Tri. Kamu jangan bercanda"

"Demi Allah, aku serius, Yon. Pernikahan ini tidak bisa terlaksana"

"Ini keputusan bodoh yang kamu ambil. Kenapa kamu tiba-tiba berubah seperti ini. Mana janji kamu dulu. Apa arti semua cerita kita bersama kalau akhirnya seperti ini. Kenapa kamu begitu tega mengambil keputusan sepihak"

"Ini bukan keinginanku, Yon. Maafin aku, selama seminggu belakangan aku mengalami depresi berat. Kamu nggak tahu gimana pusingnya aku mengambil sebuah keputusan. Tapi aku lakuin demi semua kebaikan bersama. Aku nggak mau pernikahan hanya mengikat jalinan kita saja. Pernikahan itu dua keluarga yang disatukan tanpa ada keterpaksaan. Aku tidak mau aku bahagia sedangkan yang lain tidak"

"Yang lain siapa? Walau kita berbeda keyakinan, tapi keluargaku setuju dan sangat mendukung. Mereka tidak mempermasalahkannya. Ibuku muslim, ayahku budha. tapi toh mereka bisa. Kenapa kamu ragu"

"Aku menyayangimu, tapi aku juga menyayangi keluargaku. Maafin aku Yon atas keputusan bodoh ini, namun inilah yang harus aku hadapi"

Aku benar-benar hancur setelah Astri meninggalkan tempat itu. Aku sulit menghubunginya lagi, nomornya tidak aktif lagi. Bahkan yang aku ketahui, ia berhenti dari tempat kerjanya sekarang. Aku benar-benar kecewa padanya. Tanggal pernikahan yang semakin mendekat rasanya mimpi saja. Berita tentang kegagalan pernikahanku sudah berhembus kemana-mana. Semua kerabatku sudah tahu. Mereka berusaha menenangkanku dan memberi semangat serta dukungan.

Mungkin ini memang jalan terbaik yang dipilih Astri untuknya. Namun tidak begitu dengan aku. Aku hampir depresi berat. Setiap hari kerjaanku marah-marah dirumah setiap ada kesalahan kecil. Semua jadi limpahan emosiku. Namun ibu terus menenangkanku.

Entahlah amarah berkecambuk dibenaku. Aku benar-benar sakit hati dengan perempuan itu. Namun jujur, aku benar-benar mencintainya. Kartu sisa undangan yang belum kusebarkan, kubakar habis-habis. Foto kebersamaanku selama empat tahun lamanya. Harus aku buang. Aku benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran keluarganya.

Aku sadari, mungkin keyakinanku yang mereka ragukan. Namun seharunya mereka berfikir, kalau sesungguhnya cinta menyatukan hati, bukan keyakinan. Shit...

Setelah hampir kurang lebih lima bulan lamanya aku sudah hampir gila, aku berusaha untuk belajar sabar dan ikhlas. Hingga kutemukan seseorang yang membuat aku jatuh cinta kembali, gadis itu... Ressha. Yah, seorang agent asuransi yang membuatku jatuh cinta kembali dan menghidupkan rasaku kembali.

Ia dewasa, dari awal ia berkomitmen kalau ingin serius dan menikah. Karena usianya pun kini sudah matang. Setelah hubungan selama kurang lebih setahun, akhirnya aku memutuskan untuk menikah denganya. Yah Rahasia besar dimasa laluku, tak akan pernah kuceritakan padanya. Ia perempuan, aku menghargai perasaannya. Aku tak ingin menyakitinya, sejatinya jodohku adalah dirinya. Bukan Astri, dan berapa tahun lamanya sebuah hubungan. Bukan berarti sebuah jaminan untuk bisa menikah dan bersatu.

Sampai detik ini, aku ngilu kalau mengingat kisah itu. Namun sekarang, betapa bahagianya keluargaku sudah mampu melihat aku tersenyum kembali. Memiliki wanita yang perlahan memenuhi ruang hatiku.

Terima kasih Tuhan, atas pelajaran berharga selama ini. Dan terimakasih, telah kau temukan aku dengan seseorang yang mampu membuat aku tersenyum kembali....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun