"Aku bingung harus ngomong apa, tapi mungkin ini jalan yang terbaik untuk kita berdua. Aku sayang kamu. Tapi bukan berarti kita bisa bersama. Mungkin kita tidak berjodoh Yon"
"Atas dasar apa kamu ngomong seperti itu. Kamu jangan mempermainkan perasaan saya, Astri!" aku menaikan nada bicaraku
"Dari kemarin aku sudah pengen ngomong sama kamu, tapi aku nunggu waktu yang pas. Dan mungkin sekarang. Sampaikan permintaan maaf aku keorang tua kamu. Aku harap kamu bisa menemukan seseorang yang terbaik buat kamu"
"Ini konyol, Tri. Kamu jangan bercanda"
"Demi Allah, aku serius, Yon. Pernikahan ini tidak bisa terlaksana"
"Ini keputusan bodoh yang kamu ambil. Kenapa kamu tiba-tiba berubah seperti ini. Mana janji kamu dulu. Apa arti semua cerita kita bersama kalau akhirnya seperti ini. Kenapa kamu begitu tega mengambil keputusan sepihak"
"Ini bukan keinginanku, Yon. Maafin aku, selama seminggu belakangan aku mengalami depresi berat. Kamu nggak tahu gimana pusingnya aku mengambil sebuah keputusan. Tapi aku lakuin demi semua kebaikan bersama. Aku nggak mau pernikahan hanya mengikat jalinan kita saja. Pernikahan itu dua keluarga yang disatukan tanpa ada keterpaksaan. Aku tidak mau aku bahagia sedangkan yang lain tidak"
"Yang lain siapa? Walau kita berbeda keyakinan, tapi keluargaku setuju dan sangat mendukung. Mereka tidak mempermasalahkannya. Ibuku muslim, ayahku budha. tapi toh mereka bisa. Kenapa kamu ragu"
"Aku menyayangimu, tapi aku juga menyayangi keluargaku. Maafin aku Yon atas keputusan bodoh ini, namun inilah yang harus aku hadapi"
Aku benar-benar hancur setelah Astri meninggalkan tempat itu. Aku sulit menghubunginya lagi, nomornya tidak aktif lagi. Bahkan yang aku ketahui, ia berhenti dari tempat kerjanya sekarang. Aku benar-benar kecewa padanya. Tanggal pernikahan yang semakin mendekat rasanya mimpi saja. Berita tentang kegagalan pernikahanku sudah berhembus kemana-mana. Semua kerabatku sudah tahu. Mereka berusaha menenangkanku dan memberi semangat serta dukungan.
Mungkin ini memang jalan terbaik yang dipilih Astri untuknya. Namun tidak begitu dengan aku. Aku hampir depresi berat. Setiap hari kerjaanku marah-marah dirumah setiap ada kesalahan kecil. Semua jadi limpahan emosiku. Namun ibu terus menenangkanku.