Pada bab 2 yaitu tinjauan hak asuh anak pasca perceraian memaparkan pengertian dari hak asuh anak yaitu tanggung jawab resmi untuk memelihara dan memutuskan masa depan anak. Lebih jelas lagi, hak asuh adalah istilah hukum untuk melukiskan orang tua mana yang akan tinggal bersama si anak, apakah hal itu telah diputuskan oleh pengadilan atau tidak. Menurut Pasal 1 ayat (5) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa anak adalah setiap manusia yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.Selanjutnya Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan definisi yaitu anak adalah anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih berada di dalam kandungan."
Sedangkan menurut Sayyid Sabiq Hak asuh anak dalam hukum Islam dikenal dengan istilah hadhanah, yaitu pemeriharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya putus perkawinan. Hal ini dibicarakan dalam fiqh karena secara praktis antara suami dan istri telah terjadi perpisahan sedangkan anak-anak memerlukan bantuan dari ayah dan/atau ibunya. Pemeliharaan atau pengasuhan anak itu berlaku antara dua unsur yang menjadi rukun dalam hukumnya, yaitu orang tua yang mengasuh yang disebut hadhin dan anak yang diasuh atau mahdhun. Keduanya harus memenuhi syarat yang ditentukan untuk wajib dan sahnya tugas pengasuhan itu. Dalam masa ikatan perkawinan ibu dan ayah secara bersama berkewajiban untuk memelihara anak hasil dari perkawinan itu.
Bila kedua orang tua si anak masih lengkap dan memenuhi syarat, maka yang paling berhak melakukan hadhanah atas anak adalah ibu. Alasannya adalah ibu lebih memiliki rasa kasih sayang dibandingkan dengan ayah, sedangkan dalam usia yang sangat muda itu dibutuhkan kasih sayang. Bila anak berada dalam asuhan seorang ibu, maka segala biaya yang diperlukan untuk itu tetap berada di bawah tanggung jawab si
ayah. Hal ini sudah merupakan pendapat yang disepakati ulama.
Selanjutnya yaitu pada Pelimpahan Hak asuh anak yang menjelaskan bahwa Putusnya perkawinan akibat perceraian seringkali disertai dengan perebutan hak asuh anak. Pada prinsipnya anak berhak diasuh oleh orang tuanya karena orang tualah yang paling bertanggung jawab terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Orang tua pula yang memiliki ikatan batin yang khas dan tidak tergantikan oleh apa pun dan/atau siapa pun. Ikatan yang khas inilah yang kemudian akan sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak hingga anak menjadi dewasa. Jadi ikatan yang khas tersebut menorehkan warna positif bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, maka anak akan mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal. Sebaliknya, jika kekhasan hubungan dengan orang tua ini menorehkan warna yang negatif, maka hal itu akan sangat berpengaruh terhadap masa depan anak secara potensial.
Perselisihan mengenai penguasaan anak Pengadilan memberi keputusannya yaitu bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu. Bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya. Pengadilan bebas memberikan ketetapannya dalam memberikan hak asuh anak setelah mendengar keterangan-keterangan para pihak-pihak lain yang terlibat secara langsung misalnya keluarga sedarah atau keluarga terdekat yang mengetahui permasalahan rumah tangga pihak yang bercerai.
Bab III Undang-undang No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak mengatur tentang tanggungjawab orangtua terhadap kesejahteraan anak. Dimana dikatakan pertama-tama yang bertanggungjawab atas kesejahteraan anak adalah orangtua (Pasal 9). Orangtua yang terbukti melalaikan tanggungjawabnya, yang mengakibatkan timbulnya hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, dapat dicabut kuasa asuhnya sebagai orangtua terhadap anak (Pasal 10 ayat 1). Apabila ini terjadi maka ditunjuk orang atau badan sebagai wali.
Pencabutan kuasa asuh ini tidak menghapuskan kewajiban orangtua tersebut untuk membiayai sesuai kemampuannya terhadap penghidupan, pemeliharaan dan pendidikan anaknya. Pencabutan dan pengembalian kuasa asuh orangtua ini ditetapkan dengan keputusan hakim. Jadi jelasnya pencabutan kuasaasuh itu harus diajukan kepada pengadilan, demikian juga pengembaliannya. Bentuknya adalah permohonan penetapan hakim. Untuk itu harus ada pihak yang mengajukan permohonan misalnya salah seorang dari keluarga.
Selanjutnya yaitu pada Dasar Hukum pelimpahan hak asuh anak yang berikut adalah beberapa dasar hukum nya :
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan secara tegas menyebutkan bahwa tentang penguasaan anak adalah rangkaian dari hokum perkawinan di Indonesia, akan tetapi hukum penguasaan anak tersebut belum diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang penjelasan UU No.1 Tahun 1974 secara luas dan rinci.
Merujuk pada Pasal 41 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa apabila perkawinan putus karena perceraian, maka akibat itu adalah: (1) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai pengasuhan anak Pengadilan memberikan keputusannya; (2) Bapak yang bertanggungjawab atas semuanya biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. (3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagian bekas istri