Tiba-tiba dalam lamunan, Kikah mendengar suara lelaki di balik pintu kosanya, memanggil-menyebut namanya. Suara yang tak asing baginya.
“Assalamualaikum ..., Kikah!”
“Waalaikumsalam ...,” sahut Kikah sembari bergegas melepas mukena yang membalut tubuhnya, lalu memasang jilbab yang ia ambil tergantung di dinding tembok.
Kikah bergegas berjalan menuju pintu depan kosannya, ia melihat sosok lelaki bertubuh gegap, hidung mancung, matanya agak sipit rambut panjang bah artis Korea.
“Rupaya kau Kak Murdin. Ada perlu apa?” tanya Kikah.
“Ada yang hendak aku sampaikan kepadamu.”
“Apalagi yang hendak di sampaikan?”
“Ingin ku antarkan rinduku, ingin kusampaikan segenap hasrat yang membuatku terdiam di atas pembaringan, saat aku beristirahat sejenak. Lulu lantah hatiku tak dapat berdiri di atas senyumku sendiri saat semua orang tertawa di sekelilingku, tapi saat pula hatiku dibakar rindu ingin bertutur kata denganmu,” seru Murdin menatap penuh rindu Kikah yang berdiri di depannya.
“Ah ..., sampai lupa. Silaskan masuk!” Kikah mempersilakan.
“Makasi,” sembari tersenyum Murdin berujar, lalu masuk ke dalam ruang tamu yang tedapat di kosan Kikah.
Mudin duduk, sembari menunggu Kikah yang beranjak ke dapur membuatkannya minuman. Tak perlu waktu yang lama Kikah datang dengan secangkir gelas di tangannya.