“Terima kasih atas nasihatmu, Wan. Aku ingin menjadi diriku sendiri, kecantikan yang di pancarkan bukan dari raut mukaku yang dipoles indah supaya orang suka kepadaku. Tapi Wan, aku ingin yang mencintai dan menyukaiku, bukan karena kecantikan, tapi karena hati yang menjalin simpul-simpul untuk saling mengenal, itulah yang akan melekat dalam kegemaran dan rasa suka. Cukuplah aku menjadi diriku sendiri untuk disukai, tak perlu menjadi orang lain supaya bisa disukai oleh siapa pun, apalagi harus ikuti semua apa yang dikerjakan oleh orang-orang barat.”
“Ya, itulah pendirianmu!” ujar Wawan dengan nada serius, “selamanya jika kau takut mengubah dirimu dan tak mau mengikuti zaman kau tetap akan dianggap orang aneh dan kolot dalam lingkungan dan sosialmu.”
“Tak apa , Wan. Selama pandangan keliru darimu adalah suatu pandangan yang keliru juga dari realitas lingkungan sosial kita. Bukankah kita akan menjadi kolot jika hanya menjadi pengekor saja. semuanya serba barat.”
“Karena yang mendominasi dari bangsa yang maju dan berkembang pesat adalah barat.”
“Iya, hal itu saya tidak memungkirinya,” tutur Kikah, “namun pandanganmu dengan busanaku itulah yang tak dapat aku amini. Wan, Modernitas mengandung unsur ilmu pengetahuan, lalu tidak lantas kita percaya bahwa keterbelakangan merupakan bagian dari esensi bangsa-kultur, sistem, nilai, kepercayaan dan sejarahnya, sehingga kita belajar melupakan masa lalu dan menghilangkan identitas diri kita dan merestrukturisasi dengan model perkembangan barat. Lantas dalam segi pengetahuanlah kita harus mengambil kemajuan bagaimana barat bisa bangkit, lalu kita bersaing dalam segi ilmu pengetahuan dan teknologi, bukan berlomba-lomba mengakuti gaya hidup lantaran otak kosong,” tutur Kikah dengan lugas.
Wawan tak dapat berkata apa, ia hanya terdiam merasa malu dengan perkataannya yang mencoba menasihati Kikah. Awan di langit melintas dengan gerak lambat, sementara ranting-ranting pohon di halaman kampus mengayun, melambai-lambai. Langit cerah memancar sinar mentari dengan kehangatan suhu di udara memeluk hangat menenggelamkan dingin.
***
Langit biru mulai memudar, matahari memancarkan sinar memerah. Perlahan gelap mencekam, lalu lintas kembali ramai, tak terdengar suara kicauan burung yang merdu di ranting-ranting yang bergoyang. Suara-suara kendaraan melaju saling salip-menyalip, mendahului satu persatu seperti dikejar waktu. Keindahan alam yang dipenuhi kicauan burung di dahan pohon kini hanya berada pada angan para penyair saja, pudar pada suara klakson melengking mengusir langkah gontai si nenek tua yang ingin melintas. Suara azan berkumandang, menggaung di masjid-masjid, orang-orang masih ramai di pinggir jalan menjajakan nasi yang digerumuti anak kos sibuk mencari makan. Tukang bakso mendeking di setiap jalan yang dilewati sambil memukul piring berbunyi denting.
Terngiang-ngiang suara dalam benak Kikah, saat takbir sampai pada salam lalu bibir mengucap dizikir berakhir pada doa. Bayangan berebut masuk dalam benak sampai pada kata, sebuah rasa mengganggu asa, terbesit kata-kata dari Wawan lalu bertukar tangkap pada keadaan, sikap Murdin yang seakan malu pada cinta. Terbayang semua kenangan, dalam diri masih menyimpang setiap kata yang terucap.
“Kau begitu cantik dan memesona, seperti gitar hatiku dipetik berdenting rasa cinta yang menggebu-gebu,” kata Murdin seminggu lalu yang kembali diingat Kikah, “lalu aku tertidur dibuatnya, memandang gelap bertabur bintang penuh mimpi. Kau usap pandanganku dalam kalbu, memandangmu bukan pada ada apanya, tapi apa adanya. Seperti cintaku pada negeri ini yang kian merindu segala budaya yang mulai pudar tergantikan kebiasaan bangsa barat. Meski kau kelihatan tak ikut zaman, namun wajah alamimu adalah yang kurindui seperti hutan-hutan yang dipenuhi suara burung berkicau di dahan pohon dan sungai-sungai yang bening tanpa limbah mengotorinya. Begitulah wajahmu tanpa polesan bedak dan lukisan alis yang akan pudar seiring waktu terik matahari yang semakin menyengat di siang hari, atau saat hujan mengguyur tubuh. Tetaplah menjadi dirimu yang aku cintai.”
Air mata Kikah mengalir, terkenang kata manis memanjakan diri. “Bohong ..., bohong ..., semua hanya kebohongan belaka. Ia tetap memandang kecantikan yang binar dengan polesan dan pakaian indah memperlihatkan bentuk tubuh. Lelaki memang demikian, pandai merayu dan menenangkan hati. Lantas ke manakah ia? Sudah menjauh saat memahami keadaan tak sama seperti sekeliling. Tak ada kabar, bertemu tak tegur sapa meski dalam kelas,” Kikah membatin, memuai keadaan yang dulu digenggam oleh Murdin ingin mencintai apa adanya, pacaran tanpa harus berjalan berduaan. Tak mengikuti bagaimana kawan-kawannya pacaran saling memperlihatkan kemesraan.