Mohon tunggu...
SAHRIL
SAHRIL Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Sebatang pena yang lahir di pulau terpencil pagerungan besar-Sumenep Madura. "Biarkan nama tercatat bukan hanya dibatu Nisan yang akan pudar oleh masa" @SahrilPGB

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kun Anta

2 April 2016   00:13 Diperbarui: 2 April 2016   03:21 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Kun Anta"][/caption]Matahari bersinar tipis, diiringi daun-daun yang mulai rontok, terkapar di pinggir jalan ketika mobil melintas memecah sunyi, hambar ditemani suara klakson melengking, saat mobil angkutan umum melaju dengan kecepatan tinggi. Pasukan kuning mengumpulkan sampah dengan gerobak mereka. Kakek tua melintas di pinggir jalan dengan gontai mengayun sepedanya, diboncengnya tumpukan sampah yang ia kumpulkan di malam hari. Para gadis yang modis tak peduli angin dan suhu udara yang menyapa, dingin di kota Malang saat kabut tipis perlahan pudar, saat embun, dan pagi menghardik malam mematahkan kesunyian, paha dan betis di perlihatkan lantaran betis mulus tak punya bulu.

Seorang gadis melintas, menyeberang jalan, pagi-pagi betul ia pergi ke kampus dengan jubah besar membungkus tubuhnya. Wajahnya berseri, mata binar memancar nan indah menawan. Alisnya melengkung bah bulan sabit melukis indah di atas sepasang mata yang binar, alis yang melengkung bukan lukisan hasil karya pensil alis tapi karya Tuhan, bibir tipis mungil memerah bukan karena lipstik yang tebal. Wajahnya berseri bukan karena bedak yang melekat, karena air wudu yang selalu membasahi mukanya.

Kikah, sapaan sehari-hari gadis itu yang memiliki modis sederhana, tak perlu lama berada di cermin lantaran kepercayaan diri yang selalu menuntun langkahnya. Ingin dipandang sebagai diri yang tak banyak tingkah. Meski dalam kelas banyak kawan yang tak luput membawa cermin dan alat hias takut alis dan bedak luntur. Kikah tetap saja tak tertarik meski merasa beda sendiri di antara kerumunan orang-orang di sekelilingnya. Terkadang penuh cibiran di sangka fanatik terhadap agama, kadang-kadang keluar candaan dari kawannya, dirinya adalah teroris lantaran busana di anggap kolot dan norak.

Saat duduk di bangku kelas, kawan-kawannya berdatangan satu per satu, lain dengan gadis yang membiarkan rambutnya terurai, celana yang semakin ketat mencekik paha dan betisnya, mereka datang bergerombolan.

“Si teroris datang terlebih dahulu,” kata Sintia berbisik kepada teman sebelahnya.

“Ada-ada saja kamu, Sin,” sahut Amel dengan senyum.

“Hussstttt” seru yang lain di dalam kelas yang mendengar percakapan itu, “kalian berhentilah membicarakan orang lain, belum tentu kalian itu baik daripada yang kalian cibir,” kata Murdin, lelaki yang menjadi idola bagi kaum hawa di dalam kelas, selain mukanya yang tampan rupawan, ia juga pintar secara akademik.

Mendengar ucapan Murdin, serentak gadis-gadis itu diam. Kikah yang mulai tadi menyadari dirinya menjadi bahan ocehan, ia menatap gadis-gadis yang memandangnya sinis dengan senyum, meski berujung tanggapan semakin sinis.

“Senyumnya pasti penuh maksud!” kata Sintia kepada kawan-kawan sebelahnya, “ia gembira lantaran Murdin membelanya.”

Kawan-kawannya tak menanggapi perkataan Sintia, lantaran seorang lelaki tua sudah masuk ke dalam kelas, duduk sembari memandang wajah mahasiswanya satu per satu dengan senyum, lalu menabur muka ceria dan membuka salam sebelum memulai perkuliahan.

***

“Tunggu ..., tunggu ...!” suara lelaki terdengar menyapa Kikah, “Tunggulah sebentar, Kah!”

Kikah menoleh ke belakang, di tatapnya langkah cepat mendekat kepadanya, ia tersenyum memandang lelaki itu yang sudah beranjak di sampingnya. “Ada apa Wan?” sapa Kikah kepada Wawan.

“Ada hal yang ingin aku bicarakan kepadamu,” tutur Wawan sambil melirik suasana yang masih ramai ketika kawan-kawannya keluar dari kelas.

“Lekaslah sampaikan apa yang hendak disampaikan.”

“Duduklah dulu sejenak,” kata Wawan, mengajak duduk di bangku yang berada di depan kelas.

Kikah beranjak duduk ditemani Wawan di sampingnya, “Apakah yang hendak engkau sampaikan,” tanya Kikah.

Wawam menarik napas panjangnya, ia terdiam sambil bertukar tangkap dengan pikirannya, “Kau begitu cantik, namun tertutupi kecantikanmu. Ia tak dapat memancar jika kau tak mengubah penampilanmu yang dianggap norak itu.”

“Maksudmu?” tutur lembut Kikah, meski agak tersinggung.

“Maaf sebelumnya, aku rasa yang menjadi sumber kawan-kawan di kelas tidak suka kepadamu adalah penampilanmu yang norak. Zaman sudah modern kau tetap saja berpenampilan demikian.”

“Lantas adakah yang salah dengan penampilanku.”

“Tidak salah, namun tak sesuai dengan kondisi lingkunganmu. Zaman sekarang sudah berkembang, jadi perkembangan pakaian pun tak boleh ketinggalan,” kata Wawan menasihati.

“Terima kasih atas nasihatmu, Wan. Aku ingin menjadi diriku sendiri, kecantikan yang di pancarkan bukan dari raut mukaku yang dipoles indah supaya orang suka kepadaku. Tapi Wan, aku ingin yang mencintai dan menyukaiku, bukan karena kecantikan, tapi karena hati yang menjalin simpul-simpul untuk saling mengenal, itulah yang akan melekat dalam kegemaran dan rasa suka. Cukuplah aku menjadi diriku sendiri untuk disukai, tak perlu menjadi orang lain supaya bisa disukai oleh siapa pun, apalagi harus ikuti semua apa yang dikerjakan oleh orang-orang barat.”

“Ya, itulah pendirianmu!” ujar Wawan dengan nada serius, “selamanya jika kau takut mengubah dirimu dan tak mau mengikuti zaman kau tetap akan dianggap orang aneh dan kolot dalam lingkungan dan sosialmu.”

“Tak apa , Wan. Selama pandangan keliru darimu adalah suatu pandangan yang keliru juga dari realitas lingkungan sosial kita. Bukankah kita akan menjadi kolot jika hanya menjadi pengekor saja. semuanya serba barat.”

“Karena yang mendominasi dari bangsa yang maju dan berkembang pesat adalah barat.”

“Iya, hal itu saya tidak memungkirinya,” tutur Kikah, “namun pandanganmu dengan busanaku itulah yang tak dapat aku amini. Wan, Modernitas mengandung unsur ilmu pengetahuan, lalu tidak lantas kita percaya bahwa keterbelakangan merupakan bagian dari esensi bangsa-kultur, sistem, nilai, kepercayaan dan sejarahnya, sehingga kita belajar melupakan masa lalu dan menghilangkan identitas diri kita dan merestrukturisasi dengan model perkembangan barat. Lantas dalam segi pengetahuanlah kita harus mengambil kemajuan bagaimana barat bisa bangkit, lalu kita bersaing dalam segi ilmu pengetahuan dan teknologi, bukan berlomba-lomba mengakuti gaya hidup lantaran otak kosong,” tutur Kikah dengan lugas.

Wawan tak dapat berkata apa, ia hanya terdiam merasa malu dengan perkataannya yang mencoba menasihati Kikah. Awan di langit melintas dengan gerak lambat, sementara ranting-ranting pohon di halaman kampus mengayun, melambai-lambai. Langit cerah memancar sinar mentari dengan kehangatan suhu di udara memeluk hangat menenggelamkan dingin.

***

Langit biru mulai memudar, matahari memancarkan sinar memerah. Perlahan gelap mencekam, lalu lintas kembali ramai, tak terdengar suara kicauan burung yang merdu di ranting-ranting yang bergoyang. Suara-suara kendaraan melaju saling salip-menyalip, mendahului satu persatu seperti dikejar waktu. Keindahan alam yang dipenuhi kicauan burung di dahan pohon kini hanya berada pada angan para penyair saja, pudar pada suara klakson melengking mengusir langkah gontai si nenek tua yang ingin melintas. Suara azan berkumandang, menggaung di masjid-masjid, orang-orang masih ramai di pinggir jalan menjajakan nasi yang digerumuti anak kos sibuk mencari makan. Tukang bakso mendeking di setiap jalan yang dilewati sambil memukul piring berbunyi denting.

Terngiang-ngiang suara dalam benak Kikah, saat takbir sampai pada salam lalu bibir mengucap dizikir berakhir pada doa. Bayangan berebut masuk dalam benak sampai pada kata, sebuah rasa mengganggu asa, terbesit kata-kata dari Wawan lalu bertukar tangkap pada keadaan, sikap Murdin yang seakan malu pada cinta. Terbayang semua kenangan, dalam diri masih menyimpang setiap kata yang terucap.

“Kau begitu cantik dan memesona, seperti gitar hatiku dipetik berdenting rasa cinta yang menggebu-gebu,” kata Murdin seminggu lalu yang kembali diingat Kikah, “lalu aku tertidur dibuatnya, memandang gelap bertabur bintang penuh mimpi. Kau usap pandanganku dalam kalbu, memandangmu bukan pada ada apanya, tapi apa adanya. Seperti cintaku pada negeri ini yang kian merindu segala budaya yang mulai pudar tergantikan kebiasaan bangsa barat. Meski kau kelihatan tak ikut zaman, namun wajah alamimu adalah yang kurindui seperti hutan-hutan yang dipenuhi suara burung berkicau di dahan pohon dan sungai-sungai yang bening tanpa limbah mengotorinya. Begitulah wajahmu tanpa polesan bedak dan lukisan alis yang akan pudar seiring waktu terik matahari yang semakin menyengat di siang hari, atau saat hujan mengguyur tubuh. Tetaplah menjadi dirimu yang aku cintai.”

Air mata Kikah mengalir, terkenang kata manis memanjakan diri. “Bohong ..., bohong ..., semua hanya kebohongan belaka. Ia tetap memandang kecantikan yang binar dengan polesan dan pakaian indah memperlihatkan bentuk tubuh. Lelaki memang demikian, pandai merayu dan menenangkan hati. Lantas ke manakah ia? Sudah menjauh saat memahami keadaan tak sama seperti sekeliling. Tak ada kabar, bertemu tak tegur sapa meski dalam kelas,” Kikah membatin, memuai keadaan yang dulu digenggam oleh Murdin ingin mencintai apa adanya, pacaran tanpa harus berjalan berduaan. Tak mengikuti bagaimana kawan-kawannya pacaran saling memperlihatkan kemesraan.

Tiba-tiba dalam lamunan, Kikah mendengar suara lelaki di balik pintu kosanya, memanggil-menyebut namanya. Suara yang tak asing baginya.

“Assalamualaikum ..., Kikah!”

“Waalaikumsalam ...,” sahut Kikah sembari bergegas melepas mukena yang membalut tubuhnya, lalu memasang jilbab yang ia ambil tergantung di dinding tembok.

Kikah bergegas berjalan menuju pintu depan kosannya, ia melihat sosok lelaki bertubuh gegap, hidung mancung, matanya agak sipit rambut panjang bah artis Korea.

“Rupaya kau Kak Murdin. Ada perlu apa?” tanya Kikah.

“Ada yang hendak aku sampaikan kepadamu.”

“Apalagi yang hendak di sampaikan?”

“Ingin ku antarkan rinduku, ingin kusampaikan segenap hasrat yang membuatku terdiam di atas pembaringan, saat aku beristirahat sejenak. Lulu lantah hatiku tak dapat berdiri di atas senyumku sendiri saat semua orang tertawa di sekelilingku, tapi saat pula hatiku dibakar rindu ingin bertutur kata denganmu,” seru Murdin menatap penuh rindu Kikah yang berdiri di depannya.

“Ah ..., sampai lupa. Silaskan masuk!” Kikah mempersilakan.

“Makasi,” sembari tersenyum Murdin berujar, lalu masuk ke dalam ruang tamu yang tedapat di kosan Kikah.

Mudin duduk, sembari menunggu Kikah yang beranjak ke dapur membuatkannya minuman. Tak perlu waktu yang lama Kikah datang dengan secangkir gelas di tangannya.

“Maafkan aku!” kembali tutur Murdin membuka perbincangan.

“Maaf atas apa?” tanya Kikah keheranan.

“Maaf atas sikapku kepadamu, seakan aku tak pernah menganggapmu sebagai kekasihku. Maaf atas diri ini menghilangkan jejak tak pernah memberikanmu kabar akhir-akhir ini.”

“Sudahlah! Jadilah dirimu sendiri dalam mencintaku, jika hati berat maka tak usah kau paksakan. Lagi pula aku tak mengapa, jika kita jodoh biar Allah mempertemukan kita di pelaminan,” jawab Kikah dengan senyum. Bersambung ...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun