Mohon tunggu...
S A Hadi
S A Hadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sholikhul A Hadi

Happy is the people whitout history

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terbelit

12 September 2019   16:26 Diperbarui: 12 September 2019   16:40 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Senja masih sama ketika Toro duduk di kursi bacanya menikmati pemandangan sore itu. Melempar pandang ke luar jendela untuk mengamati anak-anak muda yang bermain basket di lapangan rumah susunnya. Mereka tampak lihai dalam memainkannya, melemparkan bola, menangkapnya, merebutnya dari yang lain dan melompat sambil memasukkannya ke keranjang.

 "Hei Tor, Mbak Sisi menelponku. Dia butuh bantuanmu untuk mengantarnya ke Rumah sakit. Sepertinya dia akan melahirkan hari ini." Ucap Fahri, teman sekolah yang selama ini bersamanya.

"Baik. Kamu yang nyetir mobilku, biar aku yang menjemput ke kamarnya." Toro mengambil kunci mobilnya dari saku dan melemparkannya ke Fahri. " Innova parkir di depan warungku."

Hari itu dia merasa beruntung memiliki kesempatan untuk terlibat  dalam proses kelahiran generasi baru. Setidaknya membantu saja sudah cukup membuatnya bahagia, ditambah dengan kebahagiaan menyambut seorang manusia baru. Hatinya terasa mengembang, bulu kuduknya berdiri ketika langkah kakinya menjejaki satu demi satu tangga Rusun ke kamar mbak Sisi yang berada  dua lantai di atasnya.

Baru enam bulan lamanya Mbak Sisi tinggal di Rusun itu sendiri tanpa disertai keluarga. Selain memasak, dia melakukan aktifitasnya sendiri mulai dari mencuci hingga membersihkan kamarnya. Untuk urusan makan, dia lebih memilih Warung Makan dan caf milik Toro yang bertempat di lantai dasar Rusun. Dari sanalah dia dan Toro berkenalan serta menjalin komunikasi layaknya tetangga Rusun lainnya.

"Mbak, Kamu tidak apa?" Ucap Toro ketika menyaksikan Mbak Sisi duduk panik di sofanya dengan napas terengah-engah. Terdapat darah segar mengalir melewati betisnya.

"Sepertinya bayiku aku akan lahir Ro." Jawab mbak Sisi dengan mengangkat tangan kanannya ke arah Toro.

"Tenang, aku akan membawamu ke Rumah sakit." Toro membuka Gawainya, mengetikkan permintaan pertolongannya di Group Whatapps penghuni Rusun. "Mbak Sisi yang tinggal di lantai 5 kamar 507 akan melahirkan. Tolong merapat ke kamarnya!"

Toro membersihkan darah yang mengalir di betis Mbak Sisi. Mengambil sebuah selimut dari lemari dan menutupkannya pada tubuh Mbak Sisi. Dia keluar kamar mencari tandu yang tersimpan di Gudang lantai 6.  Ketika kembali, tetangganya telah berdesakan di depan kamar. Mereka tampak antusias untuk ikut membantu.

"Rio, Ardian dan Yongkie, tolong kalian angkat mbak Sisi dan taruh di atas tandu ini! Untuk yang lain, tolong bersihkan tetesan darah yang menetes di lantai dan cuci Sofa Mbak Sisi! Sepertinya nanti mbak Sisi akan menerima banyak tamu setelah kelahiran anaknya." Toro menaruh Tandu di lantai dan menunggu ketiganya mengangkat Mbak Sisi.

Bersama dengan Rio, Ardian dan Yongki, Toro menandu mbak Sisi menuruni tangga. Beberapa ibu-ibu yang tinggal di Rusun itu berlari mengikuti mereka, dalam hati mereka berdoa agar keselamatan selalu terlimpah untuk mbak Sisi.

Sesampainya di bawah, Fahri telah mempersiapkan mobilnya di depan pintu utama Rusun. Mbak Sisi diturunkan dari tandu dengan mengangkat tubuhnya pelan-pelan dan mendudukkannya di kursi mobil. Rio, Ardian dan Yongkie berdiri di samping mobil bersama dengan kerumunan ibu-ibu yang mengiringkannya sejak dari kamar. Hanya Toro dan Fahri yang malam itu mengantar Mbak Sisi ke Rumah Sakit. Penghuni lainya percaya bahwa Toro dapat membantu Mbak Sisi sebagaimana bantuannya kepada mereka selama ini.

Sementara itu, seorang pendorong kereta pasien, Randi, telah menunggu kedatangan Toro. Dia berdiri di depan lobi Rumah sakit dengan kaki yang sebentar-sebentar mengetuk tanah. Setelah mendapatkan kabar dari grup itu, dia memutuskan untuk terlibat dalam proses kelahiran anak Mbak Sisi dan menunggu Toro di depan lobi, tidak seperti biasanya yang bermalasan di kursi depan meja pendaftaran. Torolah satu-satunya alasan dia berdiri di sana melawan nyamuk yang terus mengganggu.

Fahri memberhentikan mobilnya tepat di depan pintu Lobi. Dia dan Toro keluar mobil dan membuka pintunya. Keduanya berusaha mengangkat Mbak Sisi. Randi dengan kereta pasiennya berlari menghampiri keduanya. " Kalian datang terlambat sekitar setengah jam dari perkiraanku." Ujar Randi.

"Jam pulang kerja, Jalanan macet." Jawab Fahri.

"Ayo cepat segera bawa Mbak Sisi masuk!" Perintah Toro setelah membaringkan Mbak Sisi di atas kereta Pasien.

Randi mendorong kereta itu dan langsung menuju ke ruang bersalin. Wajah Mbak Sisi semakin memucat dan darahnya membasahi selimut yang menutupi tubuhnya memberi corak merah gelap padanya. Toro berhenti di meja pendaftaran untuk mengisi identitas Pasien.

"Siapa wali pasien itu?" Tanya perempuan berbaju putih yang duduk di balik meja pelayanan.

"Aku, Nirwantoro." Toro menyodorkan identitasnya untuk di daftar.

"Apa hubunganmu dengan pasien?"

"Aku pemilik Rusun tempatnya tinggal."

Proses persalinan itu berjalan lancar. Tepat ketika pukul dua belas malam seorang dokter menghampiri Toro dan mengucapkan selamat atas kesuksesan proses bersalinnya. Dengan bahagia, Toro, Fahri dan Randi pergi ke kamar Mbak Sisi. Ketiganya berdiri melingkar di samping Mbak Sisi.

"Selamat Mbak." Ucap Toro dan yang lainnya secara bersamaan.

Mbak Sisi tersenyum, terlihat rona bahagia tersemat di wajahnya. "Terima kasih."

"Mbak, saya ingin menyampaikan kabar bahagia ini ke keluargamu. Bolehkah saya meminta alamat dan atau nomer telponnya?" Toro meminta ijin.

Mbak Sisi tampak kaget dengan pertanyaan itu. Matanya membelalak dan napasnya tertahan. Ruangan kembali hening. " Aku sudah tidak memiliki keluarga mas." Mbak Sisi tersenyum dan matanya segera berubah memerah." Kalianlah keluargaku sekarang."

"Anda memilih keluarga dengan tepat Mbak. Aku juga sebatang kara dulu, dan merekalah yang selama ini menjadi keluargaku. Aku dulu seorang pecandu narkoba yang hampir mati di dekat lampu merah kota satelit. Aku sakau dan terluka akibat tawuran antar geng. Mereka berdua yang menolongku Mbak. Mereka orang baik mbak. Bukankah begitu mas?" Lirik Randi pada Farhi.

"Bagaimana dengan ayah dari anakmu?" Toro mendekatkan kepalanya ke telinga Mbak Sisi. Dia mengabaikan ocehan Randi.

"Dia orang yang baru saja keluar penjara satu tahun lalu. Melalui temannya, dia menyewaku di Bali untuk menemaninya selama seminggu." Jawabnya lantang.

Toro menarik dirinya ke belakang. Dia menatap Fahri dengan muka yang memerah. "Fahri kamu mengetahuinya?"

"Aku dan Rio yang mengetahuinya." Fahri merunduk.

"Dan Kalian menyembunyikannya dariku?" Toro terduduk sambil mengacak-acak rambutnya. " Harusnya aku mengenalimu sejak pertama kali datang ke Rusunku."

"Untuk apa?" Sisi membalikkan badan, memunggungi yang lain.

"Dahulu setelah menjalani empat tahun masa hukumanku, seorang anak perempuan mendatangiku dengan membawa sebilah pisau. Dia berlari menyerangku. Hampir saja aku terbunuh olehnya. Tetapi Rio dengan sigap menghalaunya. Dia berhasil melumpuhkan anak itu." Fahri memulai ceritanya.

***  

Rio memegang tangan anak perempuan itu, membawanya masuk ke dalam mobil dan mengikatnya dengan tali layaknya seorang tawanan. Tidak ada pembicaraan yang terjadi diantara ketiganya dalam perjalanan menuju ke Rumah Susun, tampak amarah yang masih membara dari mata anak itu.

Ketiganya turun di Caf Toro dan masuk ke dalam ruang rahasia. Anak itu didudukan berhadapan dengan Rio dan Fahri. " Kau Gila, bisa saja aku sekarang memperkosamu." Ucap Fahri sambil memegang dagu anak perempuan itu. " Wajahmu cukup cantik juga untuk kita nikmati."

Terlihat jelas bagaimana rasa takut anak perempuan itu telah hilang. Sedikitpun dia tidak gentar dengan dua orang lelaki di hadapannya. Sambil menyodorkan pisau ke leher anak itu Rio berkata, " Aku akan membunuhmu jika tidak kamu sebutkan identitasmu."  Ancamnya.

"Kalian tidak akan berani membunuhku. Aku Desi, anak Budiman. Kalian bisa saja membunuhku, tetapi Aku akan tetap mencari kalian walau sudah mati. " Desi menatap mata Fahri.

Fahri menarik napasnya dalam. Dia mengenang malam-malam kelam itu saat dia harus menjaga pintu kamar dan membiarkan teman-temannya melepaskan amarah pada Budiman dan keluarganya. Saat itu dia melihat seorang anak perempuan yang bersembunyi di bawah meja di samping kamar. Anak itu tangannya bergetar hebat. Seharusnya, Fahri membunuh anak itu. Tetapi dia memilih untuk membiarkannya hidup. Dia melindungi anak itu dengan menduduki meja untuk mengalihkan perhatian teman-temannya.

****

"Suara hakim itu masih terdengar jelas di telingaku. Saat hukuman seumur hidupmu dikurangi menjadi sepuluh tahun." Sisi angkat bicara, tangannya mengepal dengan erat seolah hendak menghajar seseorang. " Aku tahu, usiamu saat itu masih enam belas tahun. Tetapi... ." Terdengar suara napas Sisi terengah-engah. Fahri menghampirinya dan menyodorkan air gelas yang ada di meja.

 "Dengan tenang aku menatap matamu dan keluargamu yang sejatinya ingin membunuhku sambil berteriak, Andai saja Budiman mengambil harta orang tuaku dengan tanpa mengambil nyawanya, mungkin aku tidak akan berdiri di sini dan menerima kutukan dari kalian semua." Toro pergi meninggalkan kamar dan diikuti oleh Randi di belakangnya..

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun