"Dahulu setelah menjalani empat tahun masa hukumanku, seorang anak perempuan mendatangiku dengan membawa sebilah pisau. Dia berlari menyerangku. Hampir saja aku terbunuh olehnya. Tetapi Rio dengan sigap menghalaunya. Dia berhasil melumpuhkan anak itu." Fahri memulai ceritanya.
*** Â
Rio memegang tangan anak perempuan itu, membawanya masuk ke dalam mobil dan mengikatnya dengan tali layaknya seorang tawanan. Tidak ada pembicaraan yang terjadi diantara ketiganya dalam perjalanan menuju ke Rumah Susun, tampak amarah yang masih membara dari mata anak itu.
Ketiganya turun di Caf Toro dan masuk ke dalam ruang rahasia. Anak itu didudukan berhadapan dengan Rio dan Fahri. " Kau Gila, bisa saja aku sekarang memperkosamu." Ucap Fahri sambil memegang dagu anak perempuan itu. " Wajahmu cukup cantik juga untuk kita nikmati."
Terlihat jelas bagaimana rasa takut anak perempuan itu telah hilang. Sedikitpun dia tidak gentar dengan dua orang lelaki di hadapannya. Sambil menyodorkan pisau ke leher anak itu Rio berkata, " Aku akan membunuhmu jika tidak kamu sebutkan identitasmu." Â Ancamnya.
"Kalian tidak akan berani membunuhku. Aku Desi, anak Budiman. Kalian bisa saja membunuhku, tetapi Aku akan tetap mencari kalian walau sudah mati. " Desi menatap mata Fahri.
Fahri menarik napasnya dalam. Dia mengenang malam-malam kelam itu saat dia harus menjaga pintu kamar dan membiarkan teman-temannya melepaskan amarah pada Budiman dan keluarganya. Saat itu dia melihat seorang anak perempuan yang bersembunyi di bawah meja di samping kamar. Anak itu tangannya bergetar hebat. Seharusnya, Fahri membunuh anak itu. Tetapi dia memilih untuk membiarkannya hidup. Dia melindungi anak itu dengan menduduki meja untuk mengalihkan perhatian teman-temannya.
****
"Suara hakim itu masih terdengar jelas di telingaku. Saat hukuman seumur hidupmu dikurangi menjadi sepuluh tahun." Sisi angkat bicara, tangannya mengepal dengan erat seolah hendak menghajar seseorang. " Aku tahu, usiamu saat itu masih enam belas tahun. Tetapi... ." Terdengar suara napas Sisi terengah-engah. Fahri menghampirinya dan menyodorkan air gelas yang ada di meja.
 "Dengan tenang aku menatap matamu dan keluargamu yang sejatinya ingin membunuhku sambil berteriak, Andai saja Budiman mengambil harta orang tuaku dengan tanpa mengambil nyawanya, mungkin aku tidak akan berdiri di sini dan menerima kutukan dari kalian semua." Toro pergi meninggalkan kamar dan diikuti oleh Randi di belakangnya..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H