Mekanisme Pertanggungjawaban Presiden pasca Amandemen UUD 1945 : Quo Vadis ?
Era reformasi dimulai ketika runtuhnya rezim pemerintahan soeharto, yang telah membawa negara ini kedalam dimensi pemerintahan dan tata masyarakat yang lebih demokratis dan mandiri. Runtuhnya rezim soeharto membawa negara memasuki babak baru.
Gejolak yang lahir ketika itu adanya tuntutan dari elemen masyarakat untuk menciptakan penegakan hukum, kehidupan politik, pertumbuhan ekonomi yang lebih baik, pemerintahan yang bersih dari KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) yang pada saat itu dihadapi oleh negara kita.
Berakhirnya rezim orde baru, dirancang suatu reformasi total antara lain terkait reformasi UUD 1945. Tentunya tidak ada yang menampil bahwa negara menganut asas demokrasi.
Oleh karena itu dituntut adanya negara yang konstitusional serta kokoh guna melindungi bangsa dan negara dari berbagai ancaman baik dari dalam maupum dari luar. konstitusi dianggap kokoh tentunya ketika adanya batas-batas kewenangan dalam suatu lembaga dan harus saling mengawasi dengan sistem checks and balances serta memberikan jaminan perlindungan hak asasi manusia berdasarkan atas hukum sebagai konsekuensi logis negara hukum.
Dalam konteks negara hukum tentu salah satu cirinya adalah adanya pembagian kekuasaan ( distribution of power). Menurut paham yang dikembangkan oleh Montesque dikenal dengan konsep trias politica yanh membagi 3 cabang kekuasaan yakni : kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yudikatif.
Tujuan pembagian kekuasaan ini tentunya untuk mencegah dominasi kekuasaan yang berlebih pada salah satu lembaga.
Dalam bukunya Soewoto Mulyosudarmo “Pembaharuan ketatanegaraan melalui Perubahan Konstitusi” menyatakan ada beberapa alasan perubahan mengenai konstitusi, yakni :
1. Mengurangi kekuasaan presiden dengan cara mendistribusikan kekuasaan secara vertikal dan membagi kekuasaan secara horizontal
2. mengubah kekuasaan yang sentralistik
3. meningkatkan peran DPR dalam hal melalukan pengawasan
4. Mengembalikan keadulatan rakyat sepenuhnya tanpa adanya pemilihan sistem distrik
5. mengubah struktur keanggotaan MPR
6. Menjaga kekuasaan yang seimbang atau check and balances
7. menata kembali sistem peradilan
8. konstitusi memuat secara rinci hak asasi manusia, kewajiban penyelenggaraan negara, pembatasan / pengendalian kekuasaan.
Jika ditinjau dari UUD 1945 sistem pemerintahan Indonesia adalah sistem presidensil, yang sederhananya eksekutif dipilih melalui pemilu terpisah dengan kekuasaan legislatif. Namun dalam UUD 1945 sebelum amandemen menempatkan kekuasaan yang lebih kepada Presiden, sehingga bangak yang menyebut eksecutive heavy.
Berbicara hal ihwal kekuasaan tentu tidak lepas dengan pertanggungjawaban. Pertanggungjawaban merupakan salah satu unsur penting dalam Sistem Pemerintahan negara. Sebab Bagir Manan mengatakan bahwa: "Jabatan apa pun yang memiliki kekuasaan, sebaiknya dilengkapi dengan pertanggungjawaban, supaya dapat diadakan penilaian terhadap pelaksanaan jabatan yang bersangkutan dalam melakuan kekuasaan yang dipercayakan kepadanya".
Menurut UUD 1945 sebelum amandemen, jika berbicara pertanggungjawaban presiden adaah kepada MPR yang sebagian besar anggotanya adalah parlemem (DPR). Karena sebelum amandemen pasal 1 ayat 2 UUD 1945 adalah kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Sedangkan setelah amandemen menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar.
Hal ini tentunya memiliki konsekuensi logis jika berbicara mengenai pertanggungjawaban presiden. Sebelum amandemen pertanggungjawaban Presiden langsung dihadapan MPR yang dulu dipilih oleh MPR. Hari ini pasca amandemen pertanggungjawaban presiden langsung kepada rakyat, karena dipilih langsung oleh rakyat. Dengan demikian, Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat (Pasal 6 ayat 2 UUD 1945 pasca amandemen) menerima kekuasaan dari rakyat dan secara inklusif bersedia melaksanakan tanggung jawab kepada rakyat.
Pertanyaan yang muncul, Melalui mekanisme apa pertanggungjawaban presiden hari ini? ketika dahulu pertanggungjawaban jawaban presiden dihadapan MPR.Penulis memiliki keresahan hari ini, karena tidak ada suatu bentuk konkret ketika berbicara pertanggungjawban presiden hari ini, apakah melalui pidato kepresidenkan? atau melalui media lain yang dibentuk sebuah forum khusus serta resmi dan rakyat bisa menilainya ? terlepas dari uraian pembagian kekuasaan hari ini pasca UUD 1945
Penulis mencoba kembali menguraikan historis amandemen UUD 1945, mohon kritisi jika keliru dalam menyebutkan amandemen UUD 1945. Mulai tahun 1999 sampai pada tahun 2002 UUD 1945 telah diamandemen sebanyak empat kali. Amandemen pertama pada terjadi pada sidang umum MPR tahun 1999, amandemen kedua ketika sidang tahunan MPR tahun 2000, amandemen ketiga terjadi pada sidang tahunan MPR 2001, dan perubahan keempat terjadi pada sidang tahunan MPR 2002.
Sebelum diamandemen, UUD 1945 menyebutkan bahwa presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak, dan penjelasan UUD 1945 bahwa MPR mengangkat kepala negara dan wakil kepala negara, itu artinya Pertanggungjawaban Presiden ketika itu kepada MPR.
Penulis kembali mencoba mengkomparasi hubungan kerja Presiden dan MPR sebelum dan sesudah Amandemen UUD 1945
*Hubungan Presiden dan MPR Sebelum Amandemen UUD 1945
Berdasarkan konstitusi yang berlaku, negara Indonesia menganut paham demokrasi. Dasarnya secara konstitusional dan fundamental dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Alinea IV yang antara lain menegaskan salah satu dasar negara, berbunyi : "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan ". Kemudian pasal 1 ayat (2) Batang Tubuh Undang-undang Dasar 1945 sebelum amendemen ditegaskan bahwa "kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya ole Majelis Permusyawaratan Rakyat".
Pemegang seluruh kekuasaan di Negara Republik Indonesia adalah rakyat . yang kemudian diserahkan pelaksanaannya kepada MPR. Dengan demikian MPR mempunyai kekuasaan tertinggi di Indonesia, segala kekuasaan untuk menyelenggarakan negara ini pada dasarya terletak di bawah kekuasaan MPR atas mandat dari rakyat; artinya MPR lah yang secara resmi memegang kedaulatan rakyat. Tetapi mengingat bahwa MPR adalah satu badan yang besar dan lamban sifatnya sehingga amat tidak mungkin melaksanakan seluruh kekuasaannya itu, maka Majelis tersebut menyerahkan lagi kekuasaannya kepada lembaga-lembaga yang ada di bawahnya, yang ketika itu pra amandemen MPR sebagai pembaga tinggi negara.
Menurut Mashuri Maschab dalam bukunya kekuasaan eksekutif di Indonesia, lembaga Presiden itu merupakan pemegang kekuasaan yang diambil dan dibagi dari kekuasaan MPR. Dengan demikian maka adanya lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara merupakan penjelmaan adanya aparatur demokrasi di tingkat pusat yang berpucuk kepada MPR.
Menurut pandangan dan argumentasi penulis, sistem ini logis, karena Presiden diangkat oleh Majelis. Presiden bukan saja diangkat oleh Majelis, tetapi ia dipercaya dan diberi tugas untuk melaksanakan kebijaksanaan MPR yang berupa Garis-garis Besar Haluan Negara atau ketetapan lainnya. Oleh karena itu Presiden adalah mandataris Majelis.
Presidenlah yang memegang tanggung jawab atas jalannya pemerintahan yang dipercayakan kepadanya dan tanggung jawab kepada Majelis bukan kepada badan lain.
Berbicara Hal ihwal hubungan kerja Presiden dan MPR tentu tidak bisa leas dari adanya kekuasaan. Menurut Soewoto Mulyosudarmo UUD 1945 sebelum amandemen kekuasaan Presiden dapat diperoleh melalui dua macam cara, yaitu secara derivatif dan secara atributif. Derivatif berbicara mekanisme pelimpahan kekuasaan dari MPR, sedangkan Atributif yakni pengakuan kekuasaan melalui UUD 1945
Berangkat dari dua macam kekuasaan menurut penulis, pra amandemen kekuasaan Presiden dan MPR terletak pasa kekuasaan derivatif, yakni bahwa presiden menjalankan mandat dari MPR untuk melaksanakan tugasnya yang telah ditetapkan dalam GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara). Namun hari ini konsekuensi yang logis pula tidak adanya GBHN sehingga menurut penulis pembangunan negara menjadi tidak sustainable development.
Disini dapat diketahui bahwa hubungan kerja antara Presiden dengan MPR menurut UUD 1945 sebelum amandemen yaitu dalam bentuk pelimpahan kekuasaan, bahwa Presiden sebagai Mandataris MPR mempunyai tugas maupun kewajiban untuk melaksanakan Garis-garis Besar Haluan Negara yang ditetapkan oleh MPR, yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugas sebagai mandataris.
*Hubungan Presiden dan MPR setelah Amandemen UUD 1945
Berbicara kedudukan Presiden menurut UUD 1945 setelah di amandemen tidak lagi sebagai mandataris MPR yang menjalankan tugas Mejelis yang berupa Haluan Negara. Sehingga penulis berpendapat bahwa hubungan kerja antara Presiden dengan MPR tidak nampak hubungan vertikal tetapi sebagai hubungan horizontal.
Ketika MPR bukan lagi sebagai Lembaga Tertinggi di atas Presiden, melainkan suatu lembaga negara yang sama kedudukannya. Artinva bahwa MPR dengan Presiden adalah sama-sama yang kedudukannya sejajar (horizontal). Setelah di amandemen tidak ada lagi istilah pelimpahan kekuasaan akan tetapi yang ada adalah pemisahan kekuasaan yang artinya bahwa sebelum amandemen MPR sebagai Lembaga Tertinggi melimpahkan kedudukan Presiden menurut UUD 1945 setelah di amandemen tidak lagi sebagai mandataris MPR yang menjalankan tugas Mejelis yang berupa Haluan Negara. Sehingga penulis berpendapat bahwa hubungan kerja antara Presiden dengan MPR tidak nampak hubungan vertikal tetapi sebagai hubungan horizontal.
Maielis Permusyawaratan Rakyat bukan lagi sebagai Lembaga Tertinggi di atas Presiden, melainkan suatu lembaga negara yang sama kedudukannya.MPR sebagai Lembaga Negara tidak berhak meminta pertanggungjawaban kepada Presiden mengenai tugas dan kewajiban Presiden, karena MPR tidak lagi melimpahkan kekuasaannya kepada Presiden, walaupun demikian bukan berarti Presiden dapat bertindak sewenang-wenang, dan berangkat dari argumentasi awal ketika ada kekuasaan maka wajib ada pertanggungjawaban didalamnya.
Presiden dalam menjalankan kewajibannya bertanggung jawab kepada rakyat selaku yang memilihnya, kembali mencuat pertanyaan : Melalui mekanisme apa pertanggungjawban presiden hari ini ?
MPR dalam UU MD3 memiliki tugas dan wewenang sebanyak 7 (jika tidak keliru) *lihat pasal yg mengatur MPR di UU MD3. Jika kita tinjau tugas dan wewenang MPR, penulis berpendapat bahwa hubungan Presiden dengan MPR merupakan hubungan horizontal, sedangkan hubungan vertikal antara Presiden dengan MPR setelah di amandemen tidak ada atau tidak diatur. MPR hanya melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan hasil pemilihan umum, MPR tidak lagi memilih Presiden dan Wakil Presiden.
MPR memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya. Hubungan Presiden dengan MPR semata-mata didasarkan sistem checks and balances. Hubungan antara Presiden dengan MPR setelah amandemen juga melahirkan bahwa MPR tidak lagi berwenang meminta pertanggungjawaban dan memberhentikan Presiden atas dasar tidak melaksanakan Putusan MPR. Presiden tidak lagi berkewajiban melaksanakan GBHN. Presiden mempunyai program tersendiri yang ditawarkan kepada rakyat pada sat pencalonan dalam kontestasi politik pilpres.
Sekarang kita tinjau pertanggunjawaban Presiden sebelum dan sesudah Amandemen UUD 1945
Sebelum amandemen pertanggungjawaban presiden tersurat dan tersirat di pembukaan, batang tubuh, dan juga penjelasan. Menurut Bagir manan salah satu unsur tetpenting dalam penyelenggaraan negara atau pemerintah adalah pertanggungjawaban dan pengawasan. Sebelum Amandemen dalam penjelasan UUD 1945 disebutkan "Presiden yang diangkat oleh MPR bertunduk dan bertanggungjawab kepada MPR. Dalam praktek ketatanegaraan yang berlaku, pengertian bertunduk dan bertanggung jawab tidak sekedar diartikan pengawasan, tetapi juga pemberhentian Presiden dari jabatannya.
Menurut Soewoto Pertanggungiawaban Presiden menurut jenisnya ada tiga, pertanggungjawaban politik, hukum dan pertanggungjawaban moral. Dalam Ketetapan MPR No I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR mempunyai wewenang untuk mencabut mandat dan memberhentikan Presiden apabila melanggar haluan negara baik yang ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar maupun MPR. Dengan adanya pertanggungjawaban Presiden atas pelaksanaan haluan negara maka sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 sebelum amandemen adalah Presidensil semu atau quasi Presidensil. Soewoto Mulyosudarmo menyatakan bahwa pertanggungjawaban pelaksanaan haluan negara kepada Presiden bukanlah sistem Presidensil. Dengan adanya pertanggungjawaban tersebut kedudukan Presiden adalah lemah, karena Presiden sewaktu-waktu dapat diminta. pertanggungjawabannya oleh MPR yang sanksinya adalah diberhentikan dari jabatannya. Sistem ini kurang menjamin adanya kestabilan Pemerintahan. Namun menurut pandangan penulis dalam hal ini adanya kelebihan ketika MPR memiliki kewenangan untuk mengevaluasi kinerja presiden lebih konkret.
Dari sini dapat diketahui bahwa pertanggungjawaban politik Presiden adalah kepada MPR yang dapat diminta sewaktu-waktu pada masa jabatan, dan pertanngungjawaban tersebut mempunyai sanksi. Selain pertanggungjawaban politik, Presiden juga mempunyai pertanggungjawaban moral.
Pertanggungjawaban moral ini berkaitan dengan sumpah Presiden sekarang berangkat kepada pembahasan pertanggungjawaban presiden setelah amandemen UUD 1945. Dalam pasal 6A ayat (1) UUD 1945 setelah di amandemen dirumuskan bahwa "Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat". Mengenai pertanggungjawaban Presiden, Simorangkir dalam bukunya Tengang dan sekitar Undang-Undang Dasar menyatakan : "apakah pengertian pemilihan dan pengangkatan Presiden/Kepala Negara oleh MPR tidak berarti adanya pertanggungjawaban ? jawabannya pasti tidak mungkin mengingkari adanya pertanggungjawaban". Dari sini dapat diartikan bahwa konsekuensi logis pertanggungjawaban Presiden adalah kepada rakyat selaku yang memilih Presiden secara langsung.
Jika berbicara dalam konteks dipilih langsung oleh rakyat, dan pertanggungjawaban tersebut harus tetap ada. Namun hari ini menurut penulis pertanggungjawaban tersebut suatu pertanggungjawaban dalam arti sempit, yang artinya tidak mempunyai sanksi berupa pemberhentian di tengah masa jabatan ataupun bentuk forum evaluatif tethadap presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
Dalam pasal 7 UUD 1945 setelah di amandemen dirumuskan bahwa Presiden dan Wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan". Dari ketentuan di atas maka pertanggungjawaban Presiden kepada rakyat terjadi pada waktu Presiden mencalonkan diri lagi untuk masa jabatan yang kedua. Kalau memang dia tidak terpilih lagi, berarti pertanggungjawabannya tidak diterima dan hanya sebatas itu.
Pasca amandemen, menurut penulis kedudukan Presiden menjadi kuat, dalam artian bahwa Presiden tidak dapat dijatuhkan di tengah masa jabatannya akibat kebiiakan-kebijakan yang diambil. Hal ini di satu sisi menjamin terciptanya suatu kestabilan roda pemerintahan, namun di lain sisi akan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan Presiden dalam mengambil kebijakan yang dapat merugikan rakyat. Oleh sebab itu untuk mencegah hal tersebut di atas, diperlukan adanya tanggungjawab moral. Meskipun tanggungjawab moral itu sifatnya suka rela dan tidak mempunyai sanksi yang dapat menjatuhkan Presiden dari jabatannya, menurut penulis tanggungjawab moral ini adalah satu-satunya pranata yang mampu mencegah Presiden berbuat sewenang-wenang dalam mengambil kebijakan. Tetapi apakah hal ini sudah dilakukan sebelum-sebelumnya ?
Dalam pasal 9 ayat 1 UUD 1945 sebelum presiden dan wakil presiden memangku jabatannya presiden dan wakil presiden berjanji dan bersumpah. Sumpah ini memiliki konsekuensi, tanggung jawab, dan ikatan moral. Pasca amandemen pertanggungjawaban presiden hanyalah pertanggungjawaban hukum apabila ada dakwaan kriminal terhadapnya.
Dalam pasal 7A UUD 1945 dinyatakan bahwa Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya tau perbuatan tercela maupun terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden.
Pertanyaan kembali muncul dalam diri penulis, ketika hari ini presiden menerbitkan perpu cipta kerja, apakah itu termasuk pengkhianatan terhadap negara dan konstitusi, ketika Putusan MK menyatakan uu cipta kerja inkonkonstitusional bersyarat, dan dalam amar putusannya mewajibkan DPR(legislatif) untuk memperbaikinya dalam jangka waktu 2 tahun, namun presiden (eksekutif) malah menerbitkan perppu. Sekali lagi, apakah itu bukan termasuk pengkhianatan terhadap negara dan konstitusi?
Menurut pandangan dangkal penulis, kiranya diperlukan suatu forum untuk meminta pertanggungjawaban Presiden ketika masih dalam masa jabatannya ataupun diakhir masa jabatannya yang direkomendasikan oleh MPR melalui forum terbuka, sehingga hasil tersebut adalah bentuk konkrit dan hasilnya evaluatif untuk presiden dalam memangku jabatannya. Ataukah ketika hari ini akan diwacanakan kembali GBHN vol 2 dengan nama PPHN akan terjadi amandemen ke-5 UUD 1945 dan mengembalikan MPR sebagai lembaga tinggi negara? menurut penulis kecil kemungkinan dan tentu akan menimbulkan gejolak politik, hemat penulis jika ingin menerapkan PPHN dalam rangka sustainable development melalui konsensus saja.
Jadi bagaimana pertanggungjawaban presiden hari ini kepada rakyat?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H