Mohon tunggu...
Saepul Alam
Saepul Alam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hidup hanya sekali, Jangan menua tanpa karya dan Inspirasi !!!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hukum Pidana Islam dan HAM Internasional

28 Desember 2023   14:19 Diperbarui: 28 Desember 2023   14:36 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Universitas Gadjah Mada

Namun, meskipun demikian, Komite Hak Asasi Manusia menolak segala pembatasan atau pembenaran yang terkait dengan dalih tersebut. Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa juga menyatakan pendapatnya sesuai dengan Pasal 3 Konvensi Eropa dalam kasus Tyrer v. UK, bahwa hukuman mati tidak serta merta kehilangan sifat merendahkan martabatnya hanya karena menjadi alat hukuman atau membantu secara efektif dalam pengendalian kejahatan. Komite Hak Asasi Manusia lebih lanjut mencatat bahwa Pasal 7 harus diinterpretasikan sejalan dengan Pasal 2 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, yang menetapkan bahwa Negara Pihak memiliki kewajiban khusus untuk menghapuskan segala hukuman yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 7 Kovenan tersebut.

Keyakinan terhadap sifat penjera, hukuman-hukuman hudud hanyalah salah satu dari banyak faktor yang mempengaruhi masyarakat Muslim. Namun, faktor yang paling berpengaruh adalah bobot Ilahi dari hukuman-hukuman hudud, karena semuanya merupakan perintah-perintah Syariat. El-Awa menyatakan bahwa sementara teori-teori penghukuman dalam sistem pidana Barat didasarkan pada pertimbangan keperluan sosial, teori penghukuman dalam hukum Islam didasarkan pada keyakinan akan wahyu Ilahi yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunah Nabi Muhammad. Oleh karena itu, hukum hudud dianggap sebagai hak-hak Allah (haqqullah). Semua ini dianggap sebagai hukuman atas pelanggaran perintah-perintah Ilahi yang menjaga kepentingan publik dan oleh karena itu, tidak dapat diberikan remisi. Al-Mawardi telah menunjukkan bahwa hudud adalah hukuman-hukuman yang ditetapkan oleh Allah untuk mencegah manusia melanggar larangan-Nya. Dengan mempertimbangkan alasan-alasan tersebut, para ahli fiqih Muslim berpendapat bahwa kekerasan dan kedahsyatannya tidak dapat dipertanyakan.

Meskipun ada kebutuhan untuk memberikan hukuman kepada pelaku kejahatan, prinsip yang ditegaskan adalah bahwa para pelaku kejahatan dan pelanggaran tetaplah manusia yang harus diperlakukan dengan martabat. Oleh karena itu, hukuman atas kejahatan tidak boleh terlalu keras, merendahkan martabat, atau tidak manusiawi. Sebaliknya, hukuman tersebut seharusnya bertujuan untuk memperbaiki pelaku. Meskipun kaum Muslim memiliki kewajiban agama untuk meyakini sifat Ilahi hukum hudud dan tidak mempertanyakan kekerasannya, kelompok non-Muslim tidak memiliki kewajiban yang sama. Mengingat bahwa hukuman pidana tidak terbatas pada kalangan Muslim saja di dalam Negara Muslim, maka prinsip-prinsip hukum pidana Islam harus diuji di luar lingkup penologi Ilahi yang sempit.

Dari sudut pandang pragmatis, faktor-faktor yang umumnya dipertimbangkan dalam penentuan hukuman pidana melibatkan kepentingan masyarakat, baik bagi korban maupun pelaku. Dengan demikian, kebijakan penologi cenderung didasarkan pada teori-teori penahanan, retribusi, dan reformasi. Meskipun mungkin ada tumpang tindih, pada dasarnya penahanan dapat dianggap untuk kepentingan masyarakat, retribusi untuk kepentingan korban, dan reformasi untuk mencapai keseimbangan yang tepat antara pelaku. Adalah mungkin sulit memutuskan kebijakan hukuman yang tepat untuk kejahatan tertentu berdasarkan pertimbangan kepentingan ini. Sebagai contoh, meskipun opini mayoritas masyarakat mungkin menganggap bahwa hukuman untuk suatu kejahatan tertentu terlalu keras, pandangan korban dalam masyarakat yang sama bisa bervariasi tergantung pada tingkat penderitaan mereka, dengan beberapa menganggap bahwa tidak ada hukuman yang cukup berat bagi pelaku. Argumen yang dapat diajukan adalah bahwa para pelaku adalah produk dari masyarakat itu sendiri, sehingga upaya perbaikan mereka seharusnya menjadi prioritas dalam merumuskan kebijakan hukum pidana.

Berdasarkan konteks ini, dapat disimpulkan bahwa hukuman hudud memiliki sedikit perhatian terhadap usaha perbaikan pelaku, lebih fokus pada pencegahan pengulangan pelanggaran. Prioritasnya adalah menjaga kepentingan masyarakat dengan cara mencegah pelanggaran jenis hudud sejak awal melalui tindakan penjeraan dan pencegahan. Ini mencerminkan tujuan hukum Islam dalam membentuk masyarakat yang ideal. Meskipun hukuman hudud bersifat keras sebagai efek jera, pertanyaan muncul ketika pelanggaran berlanjut, yaitu apakah masyarakat turut serta dalam mempertahankan keberlanjutan kejahatan tersebut atau tidak. Bahkan dalam pelaksanaan hudud, prinsip ini tetap berlaku di dalam masyarakat Islam yang dianggap ideal. Jika terdapat bukti bahwa pelaku kejahatan atau pelanggaran merupakan hasil dari masalah sosiologis masyarakat, maka pertimbangan terhadap kepentingan pelaku harus dipertimbangkan dan hukuman hudud bisa diringankan.

Bukti menunjukkan bahwa Nabi menunda penerapan hukuman hudud untuk pencuri selama masa perang, dan Khalifah kedua, Umar, menunda pelaksanaannya selama masa kelaparan di Madinah. Referensi ini juga merujuk pada riwayat Abu Yusuf, seorang ahli fiqh terkemuka dari mazhab Hanafi pada abad ke-8, yang menyatakan bahwa situasi tertentu bisa menjustifikasi penangguhan atau kelonggaran penerapan hukuman hudud oleh otoritas yang berwenang. Oleh karena itu, dapat diajukan argumen bahwa, meskipun hukuman hudud bagi umat Islam bersifat mutlak, penerapannya oleh negara tidak dapat dipisahkan dari faktor-faktor sosiologis lain dalam negara tersebut. Penentuan faktor-faktor sosiologis yang dapat mendukung atau menghambat penerapan hukum hudud, sebagaimana ditunjukkan oleh contoh-contoh di atas, bergantung pada kebijakan negara untuk melaksanakannya dengan itikad yang tulus dan sesuai dengan kepentingan masyarakat dan rakyat secara umum.

Sementara hukuman hudud bersifat sebagai tindakan penjeraan untuk kepentingan umum, hukuman takzir, karena tingginya kewenangan Negara dalam menetapkannya, memberikan basis untuk hukuman yang bertujuan untuk memperbaiki pelaku kejahatan. Hukum Qishash melengkapi pola ini dengan mempertimbangkan kepentingan korban dalam pemberlakuan hukuman balas dendam. Oleh karena itu, tiga tingkat hukuman dalam hukum Islam dapat diinterpretasikan secara pragmatis untuk menyesuaikan dengan prinsip-prinsip penologi modern, dengan catatan ada niat politik dan kepedulian kemanusiaan dari pihak yang berwenang.

Mengacu pada konteks di atas, konflik antara hukuman pidana dalam hukum Islam dan larangan terhadap hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat dalam hukum hak asasi manusia internasional dapat dianalisis dari dua perspektif. Dimensi pertama terkait dengan hukuman atas pelanggaran non-hudud. Mengingat bahwa, menurut hukum Islam, negara memiliki kebebasan untuk memilih hukuman yang lebih ringan untuk pelanggaran non-hudud. Negara-negara Muslim dapat dengan efektif menjalankan kewenangan ini sesuai dengan kewajiban-kewajiban hukum hak asasi manusia internasional, dan secara langsung menghindari hukuman non-hudud yang bertentangan dengan larangan terhadap hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat. Penting untuk dicatat bahwa, terlepas dari pertimbangan religius, berbagai faktor, termasuk keterbatasan sumber daya, membuat negara-negara berkembang lebih memilih hukuman pidana yang bersifat mengekang, keras, dan tidak manusiawi dibandingkan dengan pendekatan reformatif yang lebih berorientasi pada kemanusiaan, walaupun hak prerogatif legislatif sepenuhnya ada di tangan Negara.

Aspek kedua berkaitan dengan pelanggaran hudud, yang secara spesifik diatur melalui perintah langsung Al-Qur'an. Dalam konteks hukuman hudud, penting untuk diingat bahwa dalam setiap masyarakat Muslim, penilaian manusia terhadap kepatutan atau ketidakpatutan hukuman yang diperintahkan oleh Allah sepenuhnya di luar jangkauan pemikiran, mengingat tidak mungkin ada reinterpretasi Islam atau dialog lintas budaya yang dapat sepenuhnya menghilangkan hukuman tersebut. Mempertanyakan hukuman hudud dapat dianggap sebagai upaya untuk mempertanyakan kebijaksanaan yang mendasarinya dan meragukan sifat ilahi Al-Qur'an serta karakter teosentris dari hukum Islam.

Dari perspektif hukum Islam, konflik ini dapat diatasi secara tidak langsung melalui sarana-sarana prosedural. Para ahli hukum Islam menyadari bahwa penggunaan sarana-sarana prosedural adalah sah untuk menghindari penerapan hukuman hudud tanpa melanggar prinsip hukum. Nabi Muhammad sendiri pernah menyuruh menghindari penerapan hukuman hudud jika terdapat keraguan, karena memberi ampunan dianggap lebih baik daripada kesalahan dalam menjatuhkan hukuman. Oleh karena itu, mantan Hakim Ketua Mahkamah Agung Pakistan, Afzal Zullah, mencatat dalam perkara The State v. Ghulam Ajas bahwa Prinsip Hudud yang tak terbantahkan tidak hanya mencakup manfaat maksimum dari asas praduga tak bersalah bagi terdakwa, tetapi juga harus melibatkan upaya untuk mencegah pelaksanaan Hadd. Dengan demikian, meskipun negara-negara Muslim tidak dapat melarang hukuman hudud karena sifat Ilahiahnya, mereka dapat mengatur penerapannya secara sah melalui perangkat prosedural yang sesuai dengan hukum Islam. Salah satu langkah yang diambil oleh Republik Islam Pakistan untuk mengatasi tantangan ini adalah dengan ketat menerapkan persyaratan prosedural dan pembuktian (evidensial) untuk pelanggaran yang diatur dalam Al-Qur'an. Ini sering kali mengarah pada penerapan hukuman takzir karena sulitnya menyediakan bukti sesuai dengan persyaratan penerapan hukuman hudud.

Mayer mengajukan pertanyaan tentang bagaimana seseorang bisa mempertahankan kompromi semacam itu di hadapan kritikus fundamentalis yang mungkin menuduhnya gagal menghormati perintah-perintah Ilahi dengan serius. Pertanyaan ini menyoroti kerentanan isu ini, tetapi dapat dijelaskan melalui dialog internal di negara-negara Muslim dan di antara para ahli fiqih Muslim. Dengan merujuk pada yurisprudensi Islam klasik, dapat diakui bahwa upaya untuk menghindari penerapan hukuman hudud melalui prosedur-prosedur tidak sama dengan meragukan perintah-perintah Ilahi. Tindakan menghindari tersebut tidak secara otomatis berarti pembatalan hukum. Namun, kesetiaan terhadap aturan-aturan prosedural yang ketat dan sesuai dengan hukum Islam akan membuat penerapan hukuman takzir lebih mungkin daripada hukuman hudud, mengingat sulitnya memenuhi syarat-syarat pembuktian, sebagaimana ditegaskan oleh Hakim Agung Zullah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun