Mohon tunggu...
Saepul Alam
Saepul Alam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hidup hanya sekali, Jangan menua tanpa karya dan Inspirasi !!!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hukum Pidana Islam dan HAM Internasional

28 Desember 2023   14:19 Diperbarui: 28 Desember 2023   14:36 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Universitas Gadjah Mada

Hukum Pidana Islam memberikan hukuman yang sifatnya tetap seperti Hudud dalam pelanggaran Jarimah Sariqah (pencurian), Hirabah (Perampokan), Qazaf (menuduh zina), Bughat (Pemberontakan), Zina (melakukan persetubuhan diluar pernikahan), Khamr (Meminum minuman yang memabukan) dan Murtad. Hukuman Retributif yang dikenal sebagai Qishahs sebagai pembalasan bagi pelaku pembunuhan pada umumnya dan yang lainnya serta hukuman diskresioner yang disebut sebagai Ta'zir. Qishash dan Ta'zir adalah hukuman variabel dalam pemutusannya diskresi (kebebasan mengambil keputusan sendiri) tergantung keluarga korban maupun Hakim.

Dalam Hukuman Qishash bagi pelaku pembunuhan Hukum Islam masih meberikan sanksi alternatif seperti sanksi Diyat apabila keluarga korban memaafkan maupun Ta'zir. keselarasan negara muslim dengan standar internasional dalam konteks Hukum Pidana Islam yang melibatkan hukuman qishash dan ta'zir tergantung pada itikad politik dan pertimbangan Internasional lain suatu negara tertentu. Ketegangan antara Hukum Pidana Islam dan HAM secara esensial berkenaan dengan hukuman Hudud yang sifatnya tetap dan tidak bisa berubah selama kejahatan itu terbukti menurut Hukum Pidana Islam.

Sanksi Hudud diantaranya: Pemotongan tangan bagi pelaku pencurian, hukuman mati, penyaliban, pemotongan tangan serta kaki secara silang, dan pembuangan bagi pelaku pemberontakan maupun perampokan bersenjata, pelemparan batu sampai mati bagi pelaku zina muhsan dan seratus cambukan bagi pelaku zina ghair muhsan, delapan puluh cambuk bagi pelaku tuduhan palsu tentang kesusilaan, empat puluh atau delapan puluh cambukan bagi pelaku peminum khamr, dan hukuman mati bagi pelaku murtad.

Walaupun terdapat kesepakatan di antara para fuqaha mengenai empat hukuman pertama, masih terdapat perbedaan pendapat tentang pelanggaran meminum khamar dan kemurtadan. Sebagian besar ahli fiqih mengakui bahwa meminum khamar termasuk pelanggaran jenis hudud, tetapi sejumlah kecil menganggapnya sebagai pelanggaran jenis takzir. Sementara Mazhab Hanafi, Hanbali, dan Maliki mengikuti pendapat yang menetapkan hukuman delapan puluh kali dera, Imam Syafi'i, dan beberapa ahli fiqih lain berpendapat bahwa hukumannya hanya empat puluh kali dera. Beberapa sarjana dan ahli fiqih Muslim kontemporer juga berpendapat bahwa kemurtadan murni bukanlah pelanggaran jenis hudud dan tidak dapat dijatuhi hukuman mati secara otomatis tanpa melibatkan tindakan pemberontakan terhadap negara.

Berdasarkan perspektif hukum hak asasi manusia internasional, Mayer berpendapat bahwa penerapan hukuman hudud tidak sesuai dengan prinsip-prinsip penologi dan norma-norma HAM modern. Sebagian besar pendukung pelaksanaan hukuman hudud di negara-negara Muslim mungkin merasa ambivalen terhadapnya karena sifat yang keras dari hukuman-hukuman tersebut. Meskipun mungkin tidak semua sarjana dan Fuqaha setuju bahwa hukuman hudud secara kategoris dianggap kejam dan tidak manusiawi, baik sarjana klasik maupun kontemporer dalam hukum Islam tidak menyangkal bahwa hukuman-hukuman tersebut bersifat kasar.

Meskipun demikian, pembenaran terhadap kekasaran hukuman hudud adalah bahwa kekerasan tersebut dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pelanggaran. Para Fuqaha berpendapat bahwa standar pembuktian untuk semua pelanggaran hudud dalam hukum Islam sangat tinggi. Semua pelanggaran tersebut harus dibuktikan tanpa adanya keraguan, sesuai dengan ajaran Nabi yang menyatakan, "Hindarkan hukuman hudud bila ada keraguan." Hal ini disebabkan karena kesalahan dalam memberikan pengampunan dianggap lebih baik daripada kesalahan dalam menjatuhkan hukuman. Akibatnya, pelaksanaan hukuman jarang terjadi. Contohnya, dalam kasus perzinaan, Shalabi mengungkapkan bahwa persyaratan pembuktian yang tinggi membuat hukuman zina hanya dapat diterapkan pada mereka yang melakukannya secara terbuka tanpa memperhatikan norma kesopanan umum, suatu hal yang hampir mustahil dan tidak dapat diterima dalam masyarakat beradab.

Dengan nada yang serupa, dalam sebuah Konferensi di Riyadh, Arab Saudi pada tahun 1972, tentang Doktrin Muslim dan Hak Asasi Manusia, yang melibatkan para delegasi dari Kementerian Kehakiman Arab Saudi dan Dewan Eropa, Dr. Al-Dawalibi dari delegasi Arab Saudi menyampaikan pengamatannya sebagai berikut:

"Saya telah tinggal di negeri ini (Arab Saudi) selama tujuh tahun, dan selama waktu tersebut, saya tidak pernah menyaksikan atau mendengar mengenai pemotongan tangan akibat pencurian. Kejadian seperti itu sangat jarang terjadi. Oleh karena itu, satu-satunya aspek yang tersisa dari hukuman itu adalah kekerasannya, yang pada akhirnya memastikan bahwa semua orang dapat hidup dalam keamanan dan ketertiban yang sempurna. Bagi sebagian orang yang tergoda untuk mencuri, mereka lebih memilih untuk menjaga agar tangan mereka tetap utuh seperti semula. Sebelumnya, ketika wilayah ini masih di bawah kendali Hukum Pidana Perancis pada masa Kekaisaran Utsmani, para jamaah haji yang melakukan perjalanan antara dua Kota Suci, Mekkah dan Madinah, tidak merasa aman terhadap nyawa dan harta benda mereka kecuali dengan adanya pengawalan yang kuat. Namun, setelah negara ini menjadi Kerajaan Saudi dan Hukum Al-Qur'an diterapkan, kejahatan segera menghilang. Kemudian, para musafir tidak hanya dapat bepergian di antara kedua Kota Suci, tetapi bahkan dari Al-Dahran di Teluk hingga ke Jidah di Laut Merah, menempuh jarak lebih dari seribu lima ratus kilometer melintasi gurun pasir seorang diri dengan mobil pribadinya, tanpa merasa takut atau cemas atas nyawa atau harta benda mereka, bahkan jika bernilai jutaan dolar, atau meskipun mereka adalah orang yang sama sekali asing."

Delegasi lain menyampaikan pendapatnya dengan menyatakan bahwa:

Dengan cara ini, di Kerajaan Arab Saudi, di mana Hukum Islam diberlakukan, uang negara dapat dialihkan dari satu kota ke kota lain, dari satu bank ke bank lain, menggunakan mobil biasa, tanpa adanya pengawalan atau perlindungan, kecuali dari seorang sopir mobil. Saya ingin bertanya kepada Anda semua: di negara-negara Barat manakah Anda bersedia untuk mentransfer uang dari satu bank ke bank lain, di salah satu ibu kota negara Anda, tanpa perlindungan dari unit polisi dan sejumlah mobil lapis baja yang diperlukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun