Bencana gempa di Kota Palu sudah lima tahun berlalu, bertepatan bulan ramadan, Mas Syam mulai mengingat-ingat lalu membuat daftar di dalam imajinasinya tentang tema-tema khutbah, atau ceramah-ceramah yang ia dengarkan di masjid yang berkaitan dengan bencana gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi di Kota Palu.
Ia membuat suatu kesimpulan bahwa rata-rata khatib atau mubalig mengingatkan tentang perlunya memperbaiki amal sebelum pulang menghadap sang pencipta.
Belakangan, ada satu yang ia dengarkan tentang kupasan makna Maliki yaumiddin. Entah mengapa, tablig itu terngiang-ngiang, hingga akhirnya pada suatu malam Mas Syam bermimpi. Di dalam mimpinya itu ia bertemu dengan gurunya, Pak Muh. Kemudian Mas Syam bertanya:
'Hari agama itu apa, Pak? Soalnya maliki yaumiddin sering diartikan harfiah seperti itu.'
'Oh, bukan,' jawab Pak Muh, 'itu bukan yang seperti kamu kira. Setiap hari adalah yaumiddin. Apa itu? Kesadaran akan waktu. Jadilah Raja atas  ruang dan waktu ....'
Kemudian Pak Muh mengingatkan dua idiom jawa:
'Hidup kudu ngerti sangkan paraning dumadi.'
Manusia harus nemahami bahwa hidup punya tujuan, yakni kembali kepada sang pencipta, tempat ia pertama-tama semula jadi.
'Urip iku mung mampir ngombe.'
Hidup itu hanya untuk mampir minum. Berapapun lama usia manusia, atau bahkan alam semesta, jika dibandingkan dengan yang tak terhingga, hasilnya tetap mendekati nol (dilambangkan dengan simbol ~), hampir tidak ada.
Lalu Pak Muh memberikan 4 tahap evolusi horizontal, dan 3 tahap evolusi vertikal manusia.
***
Mimpi itu akhirnya diceritakan oleh Mas Syam kepada anak-anak yang nongkrong di kedainya, sambil menunggu waktu berbuka puasa (ngabuburit).
"Memangnya 4 tahap evolusi horizontal, dan 3 tahap evolusi vertikal itu apa, Mas?" Tanya Rusman.
"4 tahap horizontal: batu, tumbuhan, hewan, dan manusia." Jawab Mas Syam.
"Maksudnya manusia berasal (berevolusi) dari batu, begitu?" Sambar Muzakkir segera.
"Hahaha ... dengarkan dulu!"
Evolusi yang dimaksud bukanlah evolusi biologis--Mas Syam menerangkan begitu. Melainkan evolusi kesadaran makhluk hidup.
Batu adalah makhluk yang tidak berkesadaran; tumbuhan memiliki kesadaran tumbuh, tapi tidak memiliki kesadaran ruang; hewan memiliki kesadaran tumbuh dan ruang, tapi tidak memiliki kesadaran akan masa depan dan masa silam; manusia, selain memiliki kesadaran yang dimiliki oleh batu, tumbuhan, dan hewan, juga memiliki kesadaran akan waktu.
"Jadi, manusia itu tahu, kalau seandainya besok-besok dia akan dicelakai, melalui kesadarannya akan waktu. Tidak seperti ayam, yang tidak akan pernah menyadari kalu besok-besok bakal dipotong." Jelas Mas Syam.
"Jadi, benarlah dalil, 'al-Insanu hayawanun natiqun?' Manusia adalah hewan yang berpikir?" Sahut Roni.
"Husss ... itu bukan dalil, itu hanya postulat Aristoteles yang diarabkan." Protes Irfan.
"Intinya, manusia istimewa sebab pengetahuannya." Balas Roni.
"Tetapi bukan karena pengetahuan manusia bisa lebih unggul dari binatang, melainkan karena kesadaran ruang dan waktu tadi. Makanya, jadilah Raja (penguasa atas) ruang dan waktu!" Tegas Mas Syam.
"Saya kurang setuju Mas," Roni masih ngotot, "kalau sandaran keistimewaan manusia hanya terletak pada kesadaran, kemajuan peradaban manusia tidak akan jadi. Misalnya, semua orang karena kesadaran ruang dan waktu jadi berpikir, bahwa saya hanya makhluk materi, hidup hanya sementara; 'urip iku mung mampir ngombe', sementara sejatinya hidup adalah 'dumadi'. Jadi untuk apa menciptakan peradaban yang sifatnya duniawi sementara kita harusnya mengejar negeri yang sesungguhnya?"
"Bukannya menciptakan peradaban termasuk kesadaran ruang, Ron? Atau maksudmu bagaimana?" Tanya Rusman.
"Gini, bukankah keistimewaan manusia itu terletak pada as-Sam'a (pendengaran), wal Abshara (penglihatan), wal Af'idah (hati), atau yang dalam bahasa duniawinya kita sebut epistemologinya?"
"Bukan pada alat epistemologinya," Jawab Mas Syam, "hewan lebih tajam epistemologinya ketimbang manusia. Khususnya dalam membaca tanda-tanda di alam."
"Hahaha ...." Muzakkir tiba-tiba terbahak-bahak.
"Kenapa ketawa?" Tanya Mas Syam, "kalau kamu tidak percaya, saya ceritakan bagaimana kelebihannya Sapi dibanding manusia dalam membaca tanda-tanda bencana."
"Hahaha ...." Lagi-lagi Muzakkir terbahak. Bukan karena tidak percaya, tapi pengandaian-pengandaian Mas Syam lucu baginya.
Mas Syam pun bertutur kisah:
Ada seorang pemuda, marbot, tinggal di Kelurahan Tondo, sekira enam kilometer dari jantung Kota Palu; namanya Karmin.
Sore itu, kira-kira sejam sebelum bencana, entah mengapa si Karmin ingin cepat-cepat ke masjid. Masih pukul lima sore. Jarak antara rumah Karmin dengan masjid sekira selemparan anak panah yang dilepaskan dari busurnya kencang-kencang. Letak masjid di arah timur, agak berbukit.
Kala hendak menyeberangi jalanan menuju ke masjid, tiba-tiba saja serombongan sapi lewat, hampir saja si Karmin kena seruduk. Ia menyerapah, 'Kurangajar! Kalau lewat lihat-lihat dong!' Katanya, kesal kepada sapi-sapi itu.
Sehabis menyapu serta mengelap debu-debu, dan baru saja si Karmin hendak mengumandangkan azan magrib, gempa tektonik berkekuatan 7,4 skala Richter mengguncang Kota Palu. Karmin tidak jadi mengumandangkan azan, ia bergegas pulang untuk menyelamatkan anak dan istrinya.
Karmin membawa diri, anak, dan istrinya berlari ke atas bukit, melewati masjid, ia berusaha mendapatkan titik tertinggi. Soalnya, gempa sekencang itu biasanya disertai tsunami. Belajar dari pengalaman Aceh di tahun 2004--dan benar saja, pantai Teluk Palu memang pada akhirnya disapu tsunami.
Sesampainya di atas bukit, Karmin bertemu dengan rombongan sapi yang tadi hampir menabraknya. Ia kembali menyerapahi sapi-sapi itu:
'Kalian juga ini, kenapa tadi tidak bilang-bilang kalau mau gempa?'
"Hahaha ...." Tawa Muzakkir semakin keras saja. Teman-temannya juga tertawa dengan level yang sama.
"Belum," kata Mas Syam, "masih ada sambungannya ...."
Beberapa hari setelah itu, beberapa ekor sapi masuk ke pekarangan masjid. Rumput-rumput plus bunga-bunga habis digasak hewan-hewan malas itu. Ditambah, kotorannya berhamburan, menebarkan aroma yang sangat tidak mengenakkan.
Pak imam masjid yang tiba belakangan, mengusir sapi-sapi itu.
'Pak imam, jangan usir mereka!' Ujar Karmin melarang.
'Kenapa?'
'Soalnya saya lebih percaya sapi-sapi itu daripada pak imam.'
'Kurangajar anak ini!'
"Hahaha ...." Kor anak-anak itu, tak kalah Mas Syam juga terbahak-bahak karena ceritanya sendiri.
"Jadi, 3 tahap evolusi vertikalnya lagi, apa, Mas?" Irfan tiba-tiba mengembalikan arah pembicaraan.
"Nanti saja kita sambung lagi, hehehe ...."
Azan magrib berkumandang. Anak-anak itupun berbuka dengan kue yang manis-manis, ditemani kopi dan teh dan susu, lalu bergegas salat magrib.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H