"Husss ... itu bukan dalil, itu hanya postulat Aristoteles yang diarabkan." Protes Irfan.
"Intinya, manusia istimewa sebab pengetahuannya." Balas Roni.
"Tetapi bukan karena pengetahuan manusia bisa lebih unggul dari binatang, melainkan karena kesadaran ruang dan waktu tadi. Makanya, jadilah Raja (penguasa atas) ruang dan waktu!" Tegas Mas Syam.
"Saya kurang setuju Mas," Roni masih ngotot, "kalau sandaran keistimewaan manusia hanya terletak pada kesadaran, kemajuan peradaban manusia tidak akan jadi. Misalnya, semua orang karena kesadaran ruang dan waktu jadi berpikir, bahwa saya hanya makhluk materi, hidup hanya sementara; 'urip iku mung mampir ngombe', sementara sejatinya hidup adalah 'dumadi'. Jadi untuk apa menciptakan peradaban yang sifatnya duniawi sementara kita harusnya mengejar negeri yang sesungguhnya?"
"Bukannya menciptakan peradaban termasuk kesadaran ruang, Ron? Atau maksudmu bagaimana?" Tanya Rusman.
"Gini, bukankah keistimewaan manusia itu terletak pada as-Sam'a (pendengaran), wal Abshara (penglihatan), wal Af'idah (hati), atau yang dalam bahasa duniawinya kita sebut epistemologinya?"
"Bukan pada alat epistemologinya," Jawab Mas Syam, "hewan lebih tajam epistemologinya ketimbang manusia. Khususnya dalam membaca tanda-tanda di alam."
"Hahaha ...." Muzakkir tiba-tiba terbahak-bahak.
"Kenapa ketawa?" Tanya Mas Syam, "kalau kamu tidak percaya, saya ceritakan bagaimana kelebihannya Sapi dibanding manusia dalam membaca tanda-tanda bencana."
"Hahaha ...." Lagi-lagi Muzakkir terbahak. Bukan karena tidak percaya, tapi pengandaian-pengandaian Mas Syam lucu baginya.
Mas Syam pun bertutur kisah: