Bencana gempa di Kota Palu sudah lima tahun berlalu, bertepatan bulan ramadan, Mas Syam mulai mengingat-ingat lalu membuat daftar di dalam imajinasinya tentang tema-tema khutbah, atau ceramah-ceramah yang ia dengarkan di masjid yang berkaitan dengan bencana gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi di Kota Palu.
Ia membuat suatu kesimpulan bahwa rata-rata khatib atau mubalig mengingatkan tentang perlunya memperbaiki amal sebelum pulang menghadap sang pencipta.
Belakangan, ada satu yang ia dengarkan tentang kupasan makna Maliki yaumiddin. Entah mengapa, tablig itu terngiang-ngiang, hingga akhirnya pada suatu malam Mas Syam bermimpi. Di dalam mimpinya itu ia bertemu dengan gurunya, Pak Muh. Kemudian Mas Syam bertanya:
'Hari agama itu apa, Pak? Soalnya maliki yaumiddin sering diartikan harfiah seperti itu.'
'Oh, bukan,' jawab Pak Muh, 'itu bukan yang seperti kamu kira. Setiap hari adalah yaumiddin. Apa itu? Kesadaran akan waktu. Jadilah Raja atas  ruang dan waktu ....'
Kemudian Pak Muh mengingatkan dua idiom jawa:
'Hidup kudu ngerti sangkan paraning dumadi.'
Manusia harus nemahami bahwa hidup punya tujuan, yakni kembali kepada sang pencipta, tempat ia pertama-tama semula jadi.
'Urip iku mung mampir ngombe.'
Hidup itu hanya untuk mampir minum. Berapapun lama usia manusia, atau bahkan alam semesta, jika dibandingkan dengan yang tak terhingga, hasilnya tetap mendekati nol (dilambangkan dengan simbol ~), hampir tidak ada.