Mohon tunggu...
Saeful Ihsan
Saeful Ihsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pendidikan Islam, Magister Pendidikan

Seseorang yang hobi membaca dan menulis resensi buku.

Selanjutnya

Tutup

Book

Keadilan Tidak untuk Perempuan

22 Maret 2023   08:35 Diperbarui: 22 Maret 2023   08:39 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus Mukhtar Mai mendapat sorotan dari luar negerinya, berkat Pers, dan juga keinginannya untuk mendirikan sekolah, membuatnya berhubungan dengan pemberi bantuan dari negara-negara lain semisal Kanada, Finlandia, dan lain-lain.

Mengurusi keduanya, yakni proses hukum dan mendirikan sekolah, bukanlah perkara mudah. Membutuhkan biaya, energi, dan kesiapan mental yang besar. Sungguh kuat pribadi Mukhtar Mai itu. Jiwa dan raganya seakan tidak lelah walau seharusnya dia merasa hancur.

Keadilan, jangan harap kau dapatkan langsung dengan mudah hanya dengan melapor ke Polisi dan bersaksi di Pengadilan. Kau harus pro-aktif dalam memperjuangkan nasibmu. Begitulah seakan Mukhtar berpesan saat membaca penuturannya di buku itu.

Harga keadilan itu sangat mahal. Sekali berurusan dengan hukum, sulit menemukan diri dalam ketenangan. Sedikit saja melakukan kekeliruan dalam mengurus, kemenangan tidak berpihak pada kita. Kebenaran harus dipertahankan sekuat tenaga. Kelihaian para pengacara dalam membela kliennya, berpotensi menukar kebenaran dengan kebohongan. Kebenaran bisa kalah karena silat lidah.

Apalagi untuk seorang perempuan Pakistan, terlebih tak bisa baca-tulis, berhadapan dengan dunia hukum adalah suatu kenekatan (bukan lagi sekadar keberanian). 

Untungnya, Mukhtar Mai tidak sendiri. Ada banyak pihak yang empati. Meliputi kaum perempuan, para aktivis, para militan, para jurnalis, dan juga pemberi bantuan. Sehingga ada sedikit kekuatan untuk sekadar melindungi diri dari bahaya-bahaya yang tak terduga.

Mengurus pendidikan juga tak kalah beratnya. Seorang Mukhtar Mai yang buta huruf itu, yang ditipu dengan menggunakan selembar kertas kosong yang ditandatanganinya secara buta-butaan, harus memikirkan bagaimana caranya membujuk para orangtua agar mau mempercayakan anaknya untuk dididik di sekolah. Separuh warga percaya, sebagiannya lagi menolak dengan alasan tradisional: perempuan sebaiknya di rumah saja, dididik oleh ibunya, dan mengerjakan seputar dapur dan kasur.

Hingga, sebelum babak akhir dalam mengemis keadilan tiba, sekolah Mukhtar Mai telah berhasil menampung 200 orang siswi dan 150 orang siswa (hal. 179), serta beberapa orang guru yang dibayar oleh pemerintah dan swasta selama setahun.

/3/

Bagian-bagian akhir memoar Mukhtar Mai, membeberkan betapa mudahnya kasus pemerkosaan atau kekerasan seksual dijumpai di Pakistan. 

"Setiap jam di Pakistan, seorang perempuan diserang, dipukuli, dibakar dengan asam, atau terbunuh dalam ledakan tabung gas yang 'tak disengaja.' Di Punjab saja Komisi Hak-Hak Asasi Manusia di Pakistan telah mencatat adanya seratus lima puluh kasus  pemerkosaan sepanjang enam bulan terakhir. Dan aku sering dikunjungi para perempuan yang datang kepadaku meminta pertolongan." (hal. 140)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun