Mohon tunggu...
Saeful Ihsan
Saeful Ihsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pendidikan Islam, Magister Pendidikan

Seseorang yang hobi membaca dan menulis resensi buku.

Selanjutnya

Tutup

Book

Keadilan Tidak untuk Perempuan

22 Maret 2023   08:35 Diperbarui: 22 Maret 2023   08:39 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: genevasummit.org

/1/

Empat belas abad silam, Nabi Muhammad hadir membawa kitab suci Al-Qur'an, yang salah satu bagian di dalamnya adalah surat An-Nisa', yang berarti wanita. Artinya, kaum perempuan dimuliakan oleh Alquran, dengan mengingatkan kepada umat, kemudian kepada dunia, bahwa surat yang berbicara tentang perempuan ditaruh pada urutan keempat lebih awal dibandingkan dengan surat-surat yang lain. Bahkan, mendahului surat para nabi (seperti Yunus, Yusuf, Ibrahim, Huud, Muhammad).

Sebelum muncul gerakan feminisme, Nabi Muhammad sudah terlebih dahulu melakukan pembebasan terhadap kaum perempuan. Tradisi penguburan bayi hidup-hidup diberantasnya. Serta menunjukkan pada sejarah, bahwa kaum perempuan bisa dimintai pendapat, mereka punya pikiran yang patutu dipertimbangkan. Itu ditunjukkan oleh riwayat-riwayat di mana di beberapa tempat dan kesempatan, Nabi meminta pandangan istri-istrinya sebelum memutuskan perkara.

Al-Qur'an juga mengabadikan sesosok perempuan mulia, yakni Maryam, ibunda Nabi Isa, dan diabadikan khusus menjadi satu surat. Maryam diangkat kisahnya, ditunjukkan kemuliaannya tidak kurang dari seorang lelaki. Bahkan, dengan sangat kentara ditunjukkan, bagaimana seorang perempuan yang dianggap rendah di banyak zaman, telah melahirkan seorang manusia suci--Nabi Isa as.

Namun apa yang terjadi pada abad-abad selanjutnya? Perempuan dijadikan makhluk yang tidak penting. Dijadikan selir istana, pembantu dalam rumah tangga. Dalam beberapa tempat dianggap kesaksiannya tidak dapat dipercaya, diharamkan memimpin. Malahan yang terburuk, dijadikan objek kekerasan, intimidasi, pemerkosaan, perundungan, dan lain sebagainya. Hanya karena dia perempuan.

Khususnya pada empat belas abad berikutnya (2002), terbit sebuah buku memoar seorang perempuan korban pemerkosaan yang menuntut keadilan. Kasus pemerkosaan yang dialaminya pun bukan kejahatan dari seorang berandalan, melainkan dari suatu sistem hukum di daerah itu, yakni sangsi adat, terhadap masalah yang sesungguhnya belum terang.

Buku itu adalah transkripsi dari bahasa lisan Mukhtar Mai, seorang wanita warga negara Pakistan, sang penyintas. Buku itu ditulis dalam bahasa Prancis oleh Marie-Therese Cuny, atas bantuan dua orang penerjemah, yaitu Mustapha Baloch dan Saif Khan. Terbit pertama kali di Prancis pada tanggal 12 Januari 2006 dengan judul "Deshonoree". Kemudian buku ini diterbitkan dalam versi bahasa Inggris di Amerika Serikat 31 Oktober 2006 dengan judul "In The Name of Honor". Edisi bahasa Indonesia diterbitkan pada Desember 2009 oleh Pustaka Alvabet dengan judul "Atas Nama Kehormatan".

Mukhtar Mai, atau di tempatnya dipanggil dengan nama Mukhtaran Bibi, terpaksa menerima sangsi adat. Lantaran adiknya, Shakur, kepergok warga sedang berduaan bersama si Salma, seorang wanita dari klan Mastoi. 

Desa Meerwala, kampung Mukhar Mai, salah satu bagian dari negara Pakistan, di daerah itu klan Mastoi sangat mendominasi. Mereka terkenal brutal, tidak segan-segan untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Klan itu terkenal dengan kelompok sipil bersenjata. Meerwala punya dewan adat, namanya Dewan Jirga, didominasi oleh klan Mastoi.

Kabar pertemuan antara Shakur dan Salma, entah mengapa menjadi beragam. Awalnya dituturkan bahwa mereka hanya berpapasan. Lalu cerita berkembang, mereka berdua-duaan. Kemudian ada yang menambahi bahwa mereka berhubungan badan. Menurut penuturan buku itu, kaum Mastoi membesar-besarkan cerita demi mendapatkan apapun yang diinginkan oleh mereka.

Salma sendiri--sepengetahuan orang setempat--adalah wanita yang gampang bergaul dengan banyak pria. Ia bukan wanita baik-baik. Walau begitu, ia bagian dari klan Mastoi. Melecehkan perempuan Mastoi berarti juga melecehkan klan itu. Apalagi Shakur yang berasal dari klan Gujar, minoritas di sana, kehormatan Mastoi harus dibayar.

Tibalah saat yang memilukan. Shakur ditahan, Mukhtar Mai harus menebusnya. Tak ada lagi yang lain. Mukhtar seorang janda, lagipula, ia adalah adalah wanita terhormat di keluarganya--sesuai gelar "Mai" yang disematkan di belakang namanya. Mukhtar Mai harus memohon pengampunan ke petinggi klan Mastoi, sesuai dengan keputusan Dewan Jirga--yang sesungguhnya didominasi oleh klan itu juga.

Mukhtar tidak datang sendiri, ia dikawal oleh ayah dan pamannya. Tetapi keduanya disergap dan ditodong dengan ujung senjata. Sementara, Mukhtar dipaksa masuk ke dalam kandang dan diperkosa beramai-ramai para lelaki petinggi klan. Demikianlah keputusan dewan telah dibuat, demi mendapat pengampunan.

Shakur ditahan oleh pihak kepolisian. Setelah pengampunan--dalam bentuk pemerkosaan terhadap wanita terhormat mereka, barulah Shakur bisa dilepaskan. Namun sebelum ditahan oleh aparat kepolisian, Shakur awalnya sudah ditahan di farmhouse milik Mastoi. Di sana ia diperkosa/disodomi (sesama lelaki). Kepolisian sendiri menahannya demi mengamankannya dari perlakuan Mastoi, bukan karena Shakur jelas terbukti bersalah. 

Apa yang ada di pikiran seorang perempuan setelah diperkosa? Apalagi dengan cara menjijikkan, bergilir, dan disaksikan banyak orang? Tidakkah ia akan mencoba bunuh diri? 

Demikianlah Mukhtar, keinginan bunuh diri sudah dekat. Hidup tak lagi ada gunanya. Kehormatan telah direnggut, dan klan Gujar sudah dipermalukan. Tidak! Mukhtar lebih memilih menuntut keadilan. Apa itu keadilan? Yaitu para pemerkosanya dihukum sesuai dengan perbuatan mereka. Memerkosa seorang wanita terhormat, dan juga menzolimi adiknya, bukanlah pembalasan setimpal atas "salah paham" terhadap kasus adiknya dengan Salma si Mastoi.

Tetapi, dan sayangnya, di negara itu menerapkan hukum Islam, tetapi diterjemahkan dan dijalankan dengan keliru. Ketika kesalahan yang dilakukan melibatkan lelaki dan perempuan, pasti yang salah adalah perempuan. Dan yang berasal dari klan kecil, yang lemah. 

Untuk kasus perselisihan pun--apalagi sampai berujung pada pembunuhan, pada akhirnya akan menempuh jalan ini; menyerahkan satu atau dua anak perempuan untuk dinikahkan (hal. 146) dengan lelaki yang ada di pihak lawan, untuk mempersatukan kembali hubungan yang rusak.

Hukum berwajah patriarki, seringkali perasaan seorang perempuan korban pemerkosaan diabaikan, dan lebih memilih memercayai perkataan lelaki yang rasional:

"Dengan seorang polisi perempuan, hal itu mungkin tidak akan terlalu menyakitkan. Namun, kenyataan pahitnya, hanya kaum laki-laki yang ada di kepolisian dan sistem peradilan. Selalu laki-laki." (hal. 42)

Kritik ini serupa dengan yang pernah dilontarkan oleh Fatimah Mernissi, feminis Islam asal Maroko. Mengapa agama berwajah patriarki (kelaki-lakian?) karena ahli tafsir semuanya adalah lelaki, sementara perempuan hanya berstatus sebagai penerima tafsir.

Wajah hukum di tempat Mukhtar seperti itu, tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan di sana yang sangat bias jender. Perempuan di Meerwala, dan mungkin juga di banyak tempat di Pakistan, tidak perlu bersekolah, tidak boleh masuk pegawai negeri, tidak boleh masuk di Dewan Jirga. Perempuan hanya boleh menjalankan tugasnya di dapur dan di kasur. Kalau mau, sebatas membantu para lelaki bekerja di sawah dan di ladang. Untuk masalah pendidikan pun, perempuan hanya boleh menerima pendidikan dari ibunya. 

Tidak perlu bersekolah, rupa-rupanya hal itu juga yang menyulitkan Mukhtar Mai untuk menuntut keadilan. Tidak tahu baca-tulis membuatnya tak tahu apa isi pernyataan yang ditandatangani (dicap jempol) nya di kantor Polisi. Pengadilan menerima kesaksian yang berbeda antara laporan kepolisian dan pengakuan Mukhtar. 

Pengadilan Anti-Terorisme memang memenangkan Mukhtar dan menegur pihak Kepolisian. Tetapi pada tingkat banding, Mukhtar dianggap membuat kesaksian palsu. Dengan alasan tidak segera melapor setelah kejadian, dan tak ada alasan mengapa penundaan pelaporan itu dilakukan.

Pakistan menerapkan hukum Islam. Mukhtar kesulitan meyakinkan pihak Pengadilan Tinggi, tidak memenuhi syarat untuk dianggap benar dengan tidak adanya empat orang lelaki dewasa yang menjadi saksi, sebagai syarat dibenarkannya sebuah kesaksian. Siapa yang jadi saksinya? Tidak lain adalah para pemerkosanya. Sementara, para pemerkosa itu adalah lawannya di Pengadilan. Tidak bakalan mereka menjerumuskan diri sendiri dengan membenarkan Mukhtar Mai.

Terdapat dilema penerapan Hukum Islam di sini. Mukhtar Mai dipersyaratkan menghadirkan empat orang saksi lelaki dewasa. Jika tidak, kesaksiannya tak dapat dibenarkan. Di sisi yang lain, hukum yang diterapkan itu tidak dapat menjamin; apakah dengan tidak adanya empat orang saksi, lantas kejadian yang sebenarnya dianggap tidak pernah terjadi, meskipun itu adalah tindak kejahatan yang juga dicela dalam Islam (pemerkosaan)?

Tetapi, hakim adalah satu-satunya yang tidak bisa tidak dipercayai. Di tangan hakim segalanya berifat final. Mukhtar Mai hampir saja putus harapan, hampir saja dia memperoleh bahaya di Meerwala sebab para pemerkosanya dilepaskan kembali ke desa itu, jika saja tidak ada jalan lain. Yaitu dengan cara menghadap ke Perdana Menteri Pakistan. 

Perdana Menteri bisa mengeluarkan perintah penangkapan atas dasar keresahan warga negara, oleh sebab keberadaan para petinggi Mastoi yang dilepaskan itu. Akhirnya, para pemerkosa Mukhtar Mai ditangkap kembali dan dijebloskan ke penjara.

/2/

Perjuangan Mukhtar Mai bukan hanya untuk menuntut keadilan atas dirinya, tetapi juga atas semua perempuan yang telah dan akan senasib dengannya. Ia berupaya sebagai perempuan pertama yang melakukan perlawanan terhadap sistem yang berlaku di masyarakatnya. Berharap akan muncul Mukhtar-Mukhtar yang baru.

Sementara menempuh jalur hukum untuk kasusnya, Mukhtar juga mendirikan sekolah untuk kaum perempuan di desanya. Tak boleh lagi ada perempuan yang dirugikan hanya lantaran tak bisa baca-tulis. Pemikiran bahwa perempuan hanya menerima pengajaran dari ibunya, harus dikesampingkan jauh-jauh. Ini sudah zaman modern.

Keterwakilan perempuan di pemerintahan sebesar tiga puluh persen, itu sudah ditetapkan. Tetapi tanpa adanya edukasi bagi kaum perempuan, satu persenpun rasanya sulit. Mukhtar, dengan pengalamannya selama di desa Meerwala sulit membayangkannya. Di sana perempuan adalah makhluk rumah, tidak lebih.

Kasus Mukhtar Mai mendapat sorotan dari luar negerinya, berkat Pers, dan juga keinginannya untuk mendirikan sekolah, membuatnya berhubungan dengan pemberi bantuan dari negara-negara lain semisal Kanada, Finlandia, dan lain-lain.

Mengurusi keduanya, yakni proses hukum dan mendirikan sekolah, bukanlah perkara mudah. Membutuhkan biaya, energi, dan kesiapan mental yang besar. Sungguh kuat pribadi Mukhtar Mai itu. Jiwa dan raganya seakan tidak lelah walau seharusnya dia merasa hancur.

Keadilan, jangan harap kau dapatkan langsung dengan mudah hanya dengan melapor ke Polisi dan bersaksi di Pengadilan. Kau harus pro-aktif dalam memperjuangkan nasibmu. Begitulah seakan Mukhtar berpesan saat membaca penuturannya di buku itu.

Harga keadilan itu sangat mahal. Sekali berurusan dengan hukum, sulit menemukan diri dalam ketenangan. Sedikit saja melakukan kekeliruan dalam mengurus, kemenangan tidak berpihak pada kita. Kebenaran harus dipertahankan sekuat tenaga. Kelihaian para pengacara dalam membela kliennya, berpotensi menukar kebenaran dengan kebohongan. Kebenaran bisa kalah karena silat lidah.

Apalagi untuk seorang perempuan Pakistan, terlebih tak bisa baca-tulis, berhadapan dengan dunia hukum adalah suatu kenekatan (bukan lagi sekadar keberanian). 

Untungnya, Mukhtar Mai tidak sendiri. Ada banyak pihak yang empati. Meliputi kaum perempuan, para aktivis, para militan, para jurnalis, dan juga pemberi bantuan. Sehingga ada sedikit kekuatan untuk sekadar melindungi diri dari bahaya-bahaya yang tak terduga.

Mengurus pendidikan juga tak kalah beratnya. Seorang Mukhtar Mai yang buta huruf itu, yang ditipu dengan menggunakan selembar kertas kosong yang ditandatanganinya secara buta-butaan, harus memikirkan bagaimana caranya membujuk para orangtua agar mau mempercayakan anaknya untuk dididik di sekolah. Separuh warga percaya, sebagiannya lagi menolak dengan alasan tradisional: perempuan sebaiknya di rumah saja, dididik oleh ibunya, dan mengerjakan seputar dapur dan kasur.

Hingga, sebelum babak akhir dalam mengemis keadilan tiba, sekolah Mukhtar Mai telah berhasil menampung 200 orang siswi dan 150 orang siswa (hal. 179), serta beberapa orang guru yang dibayar oleh pemerintah dan swasta selama setahun.

/3/

Bagian-bagian akhir memoar Mukhtar Mai, membeberkan betapa mudahnya kasus pemerkosaan atau kekerasan seksual dijumpai di Pakistan. 

"Setiap jam di Pakistan, seorang perempuan diserang, dipukuli, dibakar dengan asam, atau terbunuh dalam ledakan tabung gas yang 'tak disengaja.' Di Punjab saja Komisi Hak-Hak Asasi Manusia di Pakistan telah mencatat adanya seratus lima puluh kasus  pemerkosaan sepanjang enam bulan terakhir. Dan aku sering dikunjungi para perempuan yang datang kepadaku meminta pertolongan." (hal. 140)

"Sebuah laporan dari Komisi Hak-Hak Asasi Manusia mencatat bahwa 226 gadis Pakistan, yang semuanya masih sangat muda, telah diculik di Punjab di bawah kondisi serupa untuk dinikahi secara paksa." (hal. 145)

Ironisnya, akhir dari kasus kekerasan plus pemerkosaan dimenangkan oleh pihak pemerkosa. Seperti yang menimpa Zafran Bibi, diperkosa oleh saudara ipar laki-lakinya. Zafran dirajam, sementara pemerkosanya tak diapa-apakan (hal. 141).

Seorang wanita tidak pula dapat memilih sendiri lelaki yang diinginkannya. Walau hukum Islam secara nasional (di Pakistan) diperbolehkan. Tetapi tetua-tetua adat lebih memilih penyelesaian berdasarkan adat dan lebih menjunjung adat ketimbang melindungi kaum wanita. Dewan Jirga juga banyak menghukum wanita-wanita yang memilih pasangannya sendiri (hal. 142).

Kalau seperti itu, di manakah yang disebut dengan hukum Islam? Apakah yang dimaksud hukum Islam adalah hukum adat? Tak pelak, praktik pelaksanaan hukum Islam di Meerwala hanyalah sebatas kedok. Mustahil Islam menghendaki pencegahan perselisihan, namun dengan mengorbankan kaum perempuan. Bertolak belakang dengan upaya nabi Muhammad saw yang mengangkat derajat kaum perempuan.

Tampaknya memang di negara itu, terlampau sering kaum perempuan dipandang rendah. Bahkan perempuan yang berpendidikan tinggi tak luput dari tindak pemerkosaan. Seperti yang dialami oleh Dr. Shazaki Khalid, bekerja sebagai dokter pada sebuah perusahaan swasta, diperkosa oleh oknum militer saat menjalankan tugas di daerah terpencil. Saat itu suaminya berada di luar negeri (hal. 148).

Bagi seorang perempuan, pemerkosaan bukan saja perenggutan kehormatan, tetapi juga menjadi aib bagi masyarakatnya. Di saat seperti itu, perempuan akan mengalami dua macam tekanan. Yakni tekanan mengenai penerimaan atas diri sendiri, dan tekanan yang dihasilkan dari pembicaraan publik. 

Mukhtar Mai berkisah pada beberapa bagian bukunya itu, bunuh diri adalah ide yang pertama kali muncul saat pemerkosaan itu terjadi. Ada yang memilih meneruskan niatannya--untuk bunuh diri, dan ini merupakan yang kebanyakan terjadi. Selebihnya, amat sangat jarang yang mau memperkarakannya secara hukum. Karena hampir mustahil perempuan mendapatkan keadilan yang dituntutnya.

Sepertinya memang mustahil. Mukhtar Mai saja yang didukung oleh banyak pihak, termasuk komisi perlindungan hak asasi manusia dan perempuan, dan dari luar negeri, gagal memenangkan kasusnya. Bahkan, kemenangan terakhirnya bukan karena pengadilan menghukum terdakwa atas tindakan pemerkosaan, tetapi karena tindakan teror (sebuah kasus yang lain).

Lagipula, apakah dengan menempuh jalur hukum, dan berhasil, lantas bisa mengembalikan kehormatan seorang perempuan yang telah mengalami pemerkosaan? Tidak, tetap saja tersisa stigma di masyarakat, dan kejadian pahit itu tidak akan terhapus. Akan selalu terbayang selama-lamanya.

/4/

Buku ini, jika tidak dibaca dengan rasa penasaran, niscaya akan cepat menemukan titik jenuh. Apalagi yang membacanya adalah laki-laki, hanya akan meraba-raba bagaimana perasaan seorang Mukhtar Mai, dengan segala hal yang menimpanya.

Bagian-bagian awal buku itu cenderung mengulang-ulangi pembicaraan mengenai kasus yang sama. Mungkin penyuntingnya berupaya memainkan bagian-bagian yang dianggap inti, supaya pembaca bisa menjiwai apa yang termaktub di dalam buku itu.

Sayangnya, butuh kesabaran untuk sampai pada bagian seperempat terakhir dari buku itu. Kemudian mendapatkan data-data kasus, perbandingan kasus, dan juga perjalanan lanjut hingga usai dari kisah Mukhtar Mai.

Tetapi untuk ukuran buku transkripsi (lisan ke tulisan), dan didahului oleh penerjemahan ke bahasa lain, dan pada akhirnya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, buku ini disajikan dengan sengan ringan. Enak dibaca dan mudah dipahami.

***

Judul Buku: Atas Nama Kehormatan

Penulis: Mukhtar Mai atas Bantuan Transkripsi dari Marie-Therese Chuny

Alih Bahasa: M. Lukman Sadikin

Penerbit: Pustaka Alvabet

Tahun Terbit: Desember, 2009

Tebal: 204 halaman

ISBN: 978-979-3064-78-9

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun