Konsep Makanan Halal Dan Thayyib Dalam Perspektif Islam
Ahmad Sadid Suhar
Program Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Tafsir
Universitas Muhammadiyah Suhakarta
sadidsuhar011@gmail.com
Â
Â
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji lebih dalam konsep makanan halal dan thayyib serta menguraikan makna dan unsur yang terkandung dalam konsep halal dan thayyib menurut perspektif islam. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) dengan metode penafsiran tematik. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa makanan yang halal dan baik disebutkan dalam al-Baqarah ayat 168 dan al-Maidah ayat 88 mengandung dua aspek yaitu pertama, hendaklah makanan itu adalah makanan yang dzatnya dihalalkan oleh Allah artinya tidak diharamkan, selain itu didapatkan dengan cara yang halal sesuai dengan ketentuan syariat Islam, tidak memperolehnya dengan cara yang diharamkan oleh syariat Islam, seperti dengan cara paksa, tipu, curi, korupsi dan lain-lain. Dan yang kedua, makanan yang dikonsumsi hendaklah baik, tidak menjijikkan dan kotor serta mengandung zat-zat yang dibutuhkan oleh tubuh, secara jumlah takaran, mutu kualitasnya serta kandungan gizinya.
 Kata kunci: Halal, Thayyib.[1]
Pendahuluan
Makanan yang hendak dikonsumsi harus dipilih, dipersiapkan dengan cara sedemikian rupa sehingga tetap terjaga nilai gizinya, dan dapat diterima atau dalam istilahnya disebut dengan halal dan thayyib. Oleh karena itu, manusia sangat dianjuran untuk memperhatikan dan memilih secara cermat jenis makanan yang akan dikonsumsi agar tubuh dapat berfungsi dengan baik. Sebagaimana Firman Allah dalam QS. Abasa : 24.
Â
Artinya : "Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya."( QS. 'Abasa: 24)
 Begitu pentingnya memperhatikan dan memilih makanan bagi manusia sehingga Allah memberi tuntunan tentang keharusan memilih atau mengkonsumsi makanan yang halal dan thayyib. Hal demikian ini menunjukkan bahwa Allah mengatur agar manusia mengonsumsi makanan yang baik, yakni menyehatkan dan tidak menimbulkan penyakit  dan sudah menjadi kewajiban seorang muslim untuk mentaatinya. Semua yang diperintahkan oleh Allah SWT adalah kebaikan umat manusia, termasuk perintah untuk mengonsumsi makanan halal dan thayyib, serta menjauhi makanan syubhat apalagi haram. Makanan yang halal adalah makanan yang yang diizinkan untuk dikonsumsi menurut aturan hukum Islam, sebab pada hakikatnya semua makanan adalah halal kecuali yang dilarang dalam Alquran dan Hadis. Adapun yang dimaksud makanan halal dan thayyib menurut Ath-Thabari adalah makanan yang mutlaq, suci, tidak najis dan tidak haram. Menurut Ibnu Katsir makanan yang halal dan thayyib adalah makanan yang bermanfaat bagi dirinya serta tidak membahayakan bagi tubuh dan akal pikirannya. Dan menurut Al-Maraghy makanan yang halal dan thayyib adalah makanan yang lezat dan baik. Kalau makna makanan halal dan thayyib hanya sekedar tidak najis dan tidak haram, ini merupakan cangkupan dari makna halal saja dan kurang memadai dengan kondisi sekarang yang mana makanan sekarang itu jenisnya sudah banyak. Ath-Thabari, Ibnu Katsir dan Al-Maraghy menggabungkan antara makna halal dan thayyib, sehingga makna thayyib itu sendiri tersamarkan. Padahal halal dan thayyib adalah sesuatu yang berbeda. Berdasarkan penafsiran Ath-Thabari, Ibnu Katsir dan Al-Maraghy terlihat bahwasannya mereka tidak memberikan makna yang spesifik tentang makna thayyib. Makna yang spesifik itu dapat dilihat dalam tafsir Nusantara. Menurut ketiga mufassir Nusantara yakni M. Hasbi Ah-Shiddieqy, Buya Hamka, dan M. Quraish Shihab. Mereka memaknai halal dan thayyib bukan hanya sekedar suci, tidak najis, dan tidak membahayakan tubuh serta akal dan pikirannya saja, tetapi makanaan halal dan thayyib harus makanan yang sehat memiliki gizi yang cukup dan seimbang, dan proporsional (tidak berlebih-lebihan) sesuai kadarnya. Disini terlihat bahwasannya menurut ketiga mufassir Nusantara makna antara halal dan thayyib itu berbeda. Pemaknaan thayyib yang mereka berikan lebih luas dan jelas dibandingkan dengan kedua pendapat tersebut.[2]
Pembahasan
Pengertian Makanan Halal dan TayyibÂ
Secara bahasa makanan dapat diartikan dengan tha'am, aklun, dan ghidha'un yang berarti mencicipi sesuatu dan atau memasukkan sesuatu kedalam perut melalui mulutt, ghidza juga menjadi kata serapan gizi dalam bahasa Indonesia. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia makanan adalah segala bentuk yang dapat dicicipi dan dikonsumsi, seperti kue-kue, lauk pauk dan sebagainya. Definisi makanan secara istilah dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat dikonsumsi, baik berasal dari darat maupun berasal dari laut. Adapun makanan halal adalah makanan yang dibolehkan dalam syariat Islam untuk mengkonsumsinya, yaitu sesuai dengan al-Qur'an dan Hadis Nabi SAW. Penggunaan kata tha'am ( (dalam al-Qur'an bersifat umum, yakni setiap yang dapat dimakan, baik makanan itu berasal dari darat dan laut, maupun makanan yang belum diketahui hakikatnya. Dengan demikian kata al-tha'am ( (makanan, adalah menunjukan arti semua jenis yang biasa dicicipi (makanan dan minuman). Makanan menurut al-Qur'an, ada yang halal dan ada yang haram. Thayyib berasal dari bahasa Arab thaba yang artinya baik, lezat, menyenangkan, enak dan nikmat atau berarti pula bersih atau suci. Para ahli tafsir menjelaskan kata thayyib berarti makanan yang tak kotor dari segi zatnya atau rusak (kadaluarsa) atau dicampuri benda najis. Ada juga yang mengartikan sebagai makanan yang mengandung selera bagi yang akan memakannya atau tidak membahayakan fisik atau akalnya. Menurut pandangan Kalamuddin Nurdin di dalam kamus Syawarifiyyah memberikan pemahaman kata thayyib adalah kebajikan, kebaikan, kemulian, keberkahan dan juga nikmat. Al-Raghib al-Ashfahani menjelaskan bahwa kata thayyib khusus digunakan untuk mengambarkan sesuatu yang memberikan kelezatan kepada panca indra dan jiwa, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal dan sebagainya.[3]
 Ayat-Ayat Yang Berkenaan Dengan Makanan Halal Dan ThayyibÂ
Berdasarkan ayat Al-Qur'an ditemukan bahwa perintah makan disebutkan sebanyak 27 kali dalam berbagai konteks dan arti, apabila berbicara tentang makanan yang dimakan (objek perintah tersebut), selalu menekankan salah satu dari dua sifat halal (boleh) dan tayyib (baik). Bahkan ditemukan empat ayat yang menggabungkan kedua sifat-sifat tersebut:
1. Perintah memakan makanan halal lagi baik, sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Baqarah/2 : 168
Â
Terjemahnya: "Wahai manusia, makanlah sebagian (makanan) di bumi yang halal lagi baik dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia bagimu merupakan musuh yang nyata".
Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menjelaskan bahwa Ayat di atas ditunjukan bukan hanya kepada orang-orang beriman saja, tetapi untuk seluruh manusia. Karena itu, semua manusia diajak untuk makan yang halal yang ada di bumi. Namun demikian, tidak semua makanan yang halal otomatis baik, karena yang dinamai halal terdiri dari empat macam yaitu, wajib, sunnah, makhruh, dan mubah. Tidak semua makanan yang halal sesuai dengan kondisi masing-masing. Ada makanan halal yang baik buat si A yang memiliki kondisi kesehatan tertentu, dan ada juga yang kurang baik untuknya, walaupun itu baik buat yang lain. Ada makanan yang halal tetapi tidak bergizi, dan ketika itu ia menjadi kurang baik. Yang diperintahkan ayat di atas adalah yang halal lagi baik. Tidak semua yang ada di dunia otomatis halal dimakan atau digunakan. Allah menciptakan ular berbisa, bukan untuk dimakan, tetapi antara lain untuk digunakan bisanya sebagai obat. Ada burung-burung yang diciptakan-Nya untuk memakan serangga yang merusak tanaman. Dengan demikian, tidak semua yang ada di bumi menjadi makanan yang halal, karena bukan semuanya yang diciptakan untuk dimakan manusia, walau semua untuk kepentingan manusia. Karena itu, Allah memerintahkan untuk makan makanan yang halal.3 Dari uraian di atas menjelaskan bahwa perintah ini ditunjukan kepada seluruh umat manusia, bukan hanya umat Islam saja, hal ini dikarenakan makanan halal sangat bermanfaat bagi kehidupan dunia. Akan tetapi makanan yang halal belum tentu baik bagi orang yang memiliki kondisi kesehatan tertentu. maka dari itu, perintah ayat di atas adalah anjuran agar manusia mengonsumsi makanan yang halal dan juga thoyyib (baik). Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini turun mengenai suatu kaum yang terdiri dari Bani Tsaqif, Bani Amir bin Sasaah, Khuzaah dan Bani Mudli. Mereka mengharamkan menurut kemauan mereka sendiri memakan beberapa jenis binatang seperti bahirah yaitu unta betina yang telah beranak lima dan anak kelima itu jantan, lalu dibelah telinganya, dan wasilah yaitu domba yang beranak dua ekor, satu jantan dan satu betina, lalu anak yang jantan tidak boleh dimakan dan harus diserahkan kepada berhala. Makanan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kesehatan manusia. Melihat fungsinya makanan yang sangat penting dalam membentuk perkembangan fisik sekaligus mental manusia, maka agama memberikan seruan kepada seluruh umat manusia agar mereka mengonsumsi makanan yang baik. Pengertian baik disini adalah baik dalam pandangan medis maupun dalam pandangan agama. Seruan ini dimaksudkan agar manusia bisa memiliki kesehatan baik jasmani maupun rohani, sekaligus bisa menjadi insan yang memiliki tubuh yang sehat dan juga bermental kuat.[4]
2. larangan mengharamkan makanan yang halal, Sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Allah dalam surat al-Maidah:5: 88
Terjemahnya: dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.
 Berdasarkan Q.S. Al-Maidah menurut Hamka berkaitan dengan adanya seorang sahabat Nabi bernama Utsman yang melakukan zuhud sehingga Ia mengharamkan atas dirinya segala macam kenikmatan dunia mulai dari perhiasan dan keindahan dunia lainnya. Dia juga meninggalkan kewajibannya untuk menafkahi keluarga dan menggauli istrinya. Dirinya merasa bahwa makan daging dan menggauli istri hanya akan menggangu semangat juang dalam peperangan. Bahkan dia minta ijin kepada Rosulullah untuk mengebiri dirinya. Utsman lupa bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta'ala menghalalkan kenikmatan dunia. Ayat ini merupakan seruan kepada kaum Muslim untuk menjalani kehidupan sebagai manusia biasa. Rasulullah memerintahkan untuk beribadah seraya tidak melupakan kewajiban untuk mencari rejeki dan memakmurkan dunia. Allah menghalalkan pernikahan, menggauli istrinya dan menganjurkan untuk memperoleh keturunan. Islam tidak mengajarkan ke-rahiban, ke-pastoran dan tidak membolehkan mengebiri dirinya. Namun demikian Islam menetapkan batasan yang jelas mana yang halal dan haram. Saat Rasulullah berkhutbah, beliau menyampaikan hal-hal untuk diketahui umatnya "Sekelompok orang mengatakan anu dan anu. Namun ketahuilah aku sholat dan tidur, aku berpuasa dan aku berbuka, aku menikahi wanita. Maka barangsiapa yang membenci sunahku, ia bukan dari golonganku". (HR. Muslim).
 3. masalah harta tawanan perang. Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Anfal/8: 69 sebagai berikut:
 Terjemahnya "(Jika demikian halnya ketetapan Allah,) makanlah (dan manfaatkanlah) sebagian rampasan perang yang telah kamu peroleh itu sebagai makanan yang halal lagi baik dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
Ayat di atas menjelaskan bahwa dengan rahmat dan kasih sayang-Nya, Allah tidak menimpakan siksa kepada kaum muslimin atas tindakan yang beliau lakukan bahkan mengampuni dan mengizinkan mereka memakan, memiliki dan mempergunakan hasil dari tebusan tawanan itu . Dengan empat perlima untuk bersama, dan seperlima untuk Allah dan Rasul. Kata halal pada ayat tersebut berarti harta yang telah ditetapkan oleh Allah, sedangkan thayyiban berarti cara memperolehnya dengan jalan tawanan perang atau tebusan. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang terhadap hamba- hamba-Nya, maka dengan sifat mulia ini Allah mengampuni dan tidak menimpakan siksaan kepada kaum Muslimin, bahkan memberikan hak kepada mereka untuk memakan dan memiliki harta rampasan yang didapat dalam peperangan termasuk uang tebusan itu sebagaimana tersebut dalam riwayat berikut ini: Diriwayatkan bahwa pada mulanya kaum Muslimin tidak mau memperguna kan harta tebusan yang dibayar oleh kaum musyrikin, karena takut akan tersalah lagi apabila belum ada wahyu yang mengizinkan mereka memanfaatkannya, maka turunlah ayat ini. Ini adalah suatu bukti lagi bagi mereka atas rahmat dan kasih sayang Allah kepada mereka. Sesudah mereka melakukan kesalahan, mereka diampuni dan dibebaskan dari siksaan atas kesalahan itu, kemudian diizinkan pula memakan dan memiliki hasil dari tindakan salah itu, yaitu uang tebusan yang mereka terima dari para tawanan. Allah menegaskan bahwa harta yang didapat dari penebusan tawanan itu adalah halal dan baik, bukan seperti daging babi dan bangkai. Kemudian Allah menyuruh mereka agar selalu bertakwa kepada-Nya dengan mengerjakan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya, karena Dialah Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
 4. masalah makanan yang halal dan yang haram, sebagaimana firman Allah dalam surah An-Nahl: 16: 114
Terjemahnya: "Siapa yang mundur pada waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, dia pasti akan kembali dengan membawa kemurkaan Allah. Tempatnya adalah (neraka) Jahanam dan (itulah) seburuk-buruk tempat kembali".
Disini disebut dua pokok yang terpenting, yaitu halal dan baik. Yang halal ialah yang tidak dilarang oleh agama. Sedangkan memakan daging babi, memakan atau meminum darah, mekaman bangkai dan memakan makanan yang disembelih bukan karena Allah. Semuanya itu telah dinyatakan haram. Kemudian disebut pula makanan yang baik yaitu diterima oleh selera, yang tidak menjijikan. Misalnya anak kambing yang telah disembelih adalah halal dimakan, tetapi kalau tidak dimasak terlebih dahulu, langsung saja dimakan daging mentah itu, mungkin sekali tidak baik, lantaran itu maka kata-kata yang baik atau dalam asal kata thayyib, adalah ukuran dari kebiasaan kita sendiri-sendiri atau kemajuan masyarakat kita. Dengan memahami halalan thayyiban dari empat ayat diatas, menimbulkan perbedaan makna. Sehingga halal disini berarti membebaskan, melepaskan, memecahkan, membubarkan dan membolehkan, dengan syarat: (1) tidak menyebabkan seseorang tidak dihukum jika menggunakannya; (2) boleh dikerjalan menurut syarat; (3) dihalalkan Allah didalam kitabnya. Dalam Al-Qur'an kata halal dan haram juga diungkapkan dengan kata lain, yaitu thayyiban, berdasarkan ayat-ayat diatas, yang termasuk kategori thayyiban mencakup semua yang dianggap baik dan dinikmati oleh manusia tanpa adanya nash atau dalil pengharamannya. Para ahli tafsir ketika menjelaskan kata thayyiban dalam konteks perintah makan mengatakan bahwa ia berarti makanan yang tidak kotor dari segi zatnya atau rusak (kadaluarsa), atau dicampuri benda najis. Ada juga yang mengartikannya sebagai makanan yang mengundang selera bagi yang akan memakannya dan tidak membahayakan fisik dan akalnya. Sehingga kata thayyiban dalam makanan adalah: (1) makanan sehat (makanan memilki zat gizi dan cukup seimbang); (2) proporsional, sesuai dengan kebutuhan pemakan dengan tidak berlebihan dan tidak kurang; (3) aman (terhindar dari siksa Tuhan baik didunia maupun diakhirat) tentunya sebelum itu adalah halal. Surat An Nahl ayat 114 adalah ayat tentang perintah memakan makanan yang halal dan baik. Hal Utama pada surah an nahl adalah Penetapan uluhiyah dan rububiyah Allah dengan melimpahkan berbagai nikmat kepada makhluk-Nya. Salah satu nikmat itu adalah An Nahl yang menjadi nama surat ini. An Nahl yang artinya lebah adalah binatang menakjubkan yang mengeluarkan banyak nikmat terutama madu. Nikmat lainnya adalah berbagai makanan baik hewani maupun nabati yang Allah sediakan di bumi ini. Maka Dia pun memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk memakan makanan yang halal dan baik. Makanan halal dan tayyib akan dipaparkannya menjadi beberapa poin mulai dari redaksi ayat dan artinya. Kemudian diikuti dengan tafsirnya yang merupakan intisari dari tafsir-tafsir di atas : 1. Perintah Memakan Makanan yang Halal dan Baik Poin pertama dari Surat An Nahl ayat 114 adalah perintah untuk memakan makanan yang halal dan baik. Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kepada hambaNya untuk memakan makanan yang halal dan baik. Halalan thayyiba. Halal adalah apa yang Allah perbolehkan bagi manusia untuk mengkonsumsinya. Ia lawan dari haram. Makanan yang halal ini jenisnya sangat banyak baik yang berupa hewani maupun nabati. Yang berasal dari hewan seperti daging unta, sapi, kambing, ayam, ikan, sea food dan sebagainya. Yang berasal dari tumbuhan lebih banyak lagi jumlahnya mulai dari biji-bijian seperti padi dan gandum, buah-buahan, sayur-sayuran, hingga umbi-umbian. Kebalikan dari halal adalah haram. Makanan yang haram dari dzatnya misalnya daging babi, darah, bangkai dan binatang yang disembelih tidak dengan nama Allah. Makanan yang haram dari cara memperolehnya misalnya makanan hasil mencuri, korupsi, menipu dan judi. Sedangkan thayyib artinya adalah baik. Allah memerintahkan manusia untuk memakan makanan yang halal dan baik. Tidak cukup halal, tapi juga harus baik. "Makanan yang baik yaitu yang diterima selera dan tidak menjijikkan," tulis Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar. Ia mencontohkan daging kambing, meskipun halal, kalau dimakan mentah menjadi tidak baik. Lebih dari itu, thayyib tidak sekedar sesuai selera tetapi juga baik bagi kesehatan. Misalnya seseorang yang menderita diabetes, makanan yang tinggi kalori dan gula menjadi tidak thayyib baginya. Khususnya dalam jumlah banyak. Orang yang menderita asam urat, meskipun halal, jeroan menjadi tidak baik baginya. Orang yang menderita kolesterol, meskipun halal, telur puyuh menjadi tidak baik baginya. 2. Perintah Bersyukur kepada Allah Poin kedua dari Surat An Nahl ayat 114 adalah perintah untuk bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir mengatakan, "Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman agar memakan rezeki yang halal lagi baik dan bersyukur kepada-Nya atas karunia tersebut. Karena sesungguhnya Allah-lah yang mengaruniakan nikmat itu kepada mereka, Dialah yang berhak disembah, tiada sekutu bagi-Nya."Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur'an mengatakan, "Allah memerintahkan mereka untuk memakan makanan yang halal dan baik serta mensyukuri nikmat tersebut." Bukankah semua makanan halal dan baik yang jumlahnya sangat banyak di bumi ini adalah nikmat dari Allah? Baik yang tumbuh liar dan tersedia di alam bebas maupun yang dibudidayakan dengan pertanian dan peternakan. Dan bukankah ketika indra perasa dan pengecap hingga organ pencernaan berfungsi, semuanya adalah nikmat dari Allah? Maka sepatutnya kita memperbanyak syukur kepada-Nya. Syukur ini juga merupakan bukti implementasi tauhid kita. Hanya kepada Allah kita menyembah, maka kepada-Nya kita bersyukur atas karunia nikmat-nikmat ini.[5]
KESIMPULAN
  Penelitian ini menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa makanan halal dan thoyyib memiliki korelasi yang sangat kuat terhadap kesehatan manusia. Temuan ini berdasarkan pemahaman kontekstual dari tiga ayat tentang perintah untuk makan makanan yang sehat yang terdapat pada QS. Al-Maidah/5: 88, QS. Anfal/8: 69, dan QS. Al-Baqarah/2 : 168 yang menghasilkan teori bahwa makanan halal dan thoyyib adalah makanan yang tidak hanya lezat akan tetapi yang mengandung gizi (kalori, vitamin, mineral dll) yang dapat memberikan dampak positif bagi kesehatan jasmani dan Rohani manusia.[6]
Tentang makanan halal dilihat dari 2 kretaria Pertama, dilihat berdasarkan dzat produknya halal atau haram menurut anjuran yang telah ada yang dalam hal ini dalam ajaran Islam adalah Al-Quran dan Hadits. Kedua, ditinjau dari cara memperolehnya, dalam hal ini lebih berbicara kepada proses dan nilai kebaikan didalamnya (thayyib). Karena halal saja tidak cukup namun harus baik dan mengandung nilai maslahat didalamnya.[7]
Daftar Pustaka
Hasanah, Auliya Izzah. "Konsep Makanan Halal Dan Thayyib Dalam Perspektif Al-Qur'an," t.t.
Mausufi, Nurul, Muhammad Hidayat, dan Fitriani Fitriani. "Makanan Halal dan Thayyib Perspektif Mufassir Nusantara." AHKAM 2, no. 3 (12 Juli 2023): 509--26. https://doi.org/10.58578/ahkam.v2i3.1410.
Rojabiah, Nurkhayati, Sri Suryani, dan Sigit Budiyanto. "KORELASI MAKANAN HALAL DAN THOYIB TERHADAP KESEHATAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR'AN" 3, no. 1 (2023).
Satria, Ahmad Dhea. "MAKANAN HALAL PERSPEKTIF MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) DI KOTA PALANGKA RAYA." Profetika: Jurnal Studi Islam 22, no. 2 (16 Desember 2021). https://doi.org/10.23917/profetika.v22i2.16694.
Sri Mulyati, Achmad Abubakar, dan Hasyim Hadade. "Makanan Halal dan Tayyib dalam Perspektif Al-Quran." Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora 1, no. 1 (18 Januari 2023): 23--33. https://doi.org/10.58540/isihumor.v1i1.150.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H