Mohon tunggu...
sadidsuhar
sadidsuhar Mohon Tunggu... Guru - mahasiswa

hobi futsal

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Konsep Makanan Halal Dan Thayyib Dalal Perspektif Islam

26 Desember 2024   02:12 Diperbarui: 26 Desember 2024   02:10 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Terjemahnya: "Wahai manusia, makanlah sebagian (makanan) di bumi yang halal lagi baik dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia bagimu merupakan musuh yang nyata".

Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menjelaskan bahwa Ayat di atas ditunjukan bukan hanya kepada orang-orang beriman saja, tetapi untuk seluruh manusia. Karena itu, semua manusia diajak untuk makan yang halal yang ada di bumi. Namun demikian, tidak semua makanan yang halal otomatis baik, karena yang dinamai halal terdiri dari empat macam yaitu, wajib, sunnah, makhruh, dan mubah. Tidak semua makanan yang halal sesuai dengan kondisi masing-masing. Ada makanan halal yang baik buat si A yang memiliki kondisi kesehatan tertentu, dan ada juga yang kurang baik untuknya, walaupun itu baik buat yang lain. Ada makanan yang halal tetapi tidak bergizi, dan ketika itu ia menjadi kurang baik. Yang diperintahkan ayat di atas adalah yang halal lagi baik. Tidak semua yang ada di dunia otomatis halal dimakan atau digunakan. Allah menciptakan ular berbisa, bukan untuk dimakan, tetapi antara lain untuk digunakan bisanya sebagai obat. Ada burung-burung yang diciptakan-Nya untuk memakan serangga yang merusak tanaman. Dengan demikian, tidak semua yang ada di bumi menjadi makanan yang halal, karena bukan semuanya yang diciptakan untuk dimakan manusia, walau semua untuk kepentingan manusia. Karena itu, Allah memerintahkan untuk makan makanan yang halal.3 Dari uraian di atas menjelaskan bahwa perintah ini ditunjukan kepada seluruh umat manusia, bukan hanya umat Islam saja, hal ini dikarenakan makanan halal sangat bermanfaat bagi kehidupan dunia. Akan tetapi makanan yang halal belum tentu baik bagi orang yang memiliki kondisi kesehatan tertentu. maka dari itu, perintah ayat di atas adalah anjuran agar manusia mengonsumsi makanan yang halal dan juga thoyyib (baik). Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini turun mengenai suatu kaum yang terdiri dari Bani Tsaqif, Bani Amir bin Sasaah, Khuzaah dan Bani Mudli. Mereka mengharamkan menurut kemauan mereka sendiri memakan beberapa jenis binatang seperti bahirah yaitu unta betina yang telah beranak lima dan anak kelima itu jantan, lalu dibelah telinganya, dan wasilah yaitu domba yang beranak dua ekor, satu jantan dan satu betina, lalu anak yang jantan tidak boleh dimakan dan harus diserahkan kepada berhala. Makanan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kesehatan manusia. Melihat fungsinya makanan yang sangat penting dalam membentuk perkembangan fisik sekaligus mental manusia, maka agama memberikan seruan kepada seluruh umat manusia agar mereka mengonsumsi makanan yang baik. Pengertian baik disini adalah baik dalam pandangan medis maupun dalam pandangan agama. Seruan ini dimaksudkan agar manusia bisa memiliki kesehatan baik jasmani maupun rohani, sekaligus bisa menjadi insan yang memiliki tubuh yang sehat dan juga bermental kuat.[4]

2. larangan mengharamkan makanan yang halal, Sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Allah dalam surat al-Maidah:5: 88

Terjemahnya: dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.

 Berdasarkan Q.S. Al-Maidah menurut Hamka berkaitan dengan adanya seorang sahabat Nabi bernama Utsman yang melakukan zuhud sehingga Ia mengharamkan atas dirinya segala macam kenikmatan dunia mulai dari perhiasan dan keindahan dunia lainnya. Dia juga meninggalkan kewajibannya untuk menafkahi keluarga dan menggauli istrinya. Dirinya merasa bahwa makan daging dan menggauli istri hanya akan menggangu semangat juang dalam peperangan. Bahkan dia minta ijin kepada Rosulullah untuk mengebiri dirinya. Utsman lupa bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta'ala menghalalkan kenikmatan dunia. Ayat ini merupakan seruan kepada kaum Muslim untuk menjalani kehidupan sebagai manusia biasa. Rasulullah memerintahkan untuk beribadah seraya tidak melupakan kewajiban untuk mencari rejeki dan memakmurkan dunia. Allah menghalalkan pernikahan, menggauli istrinya dan menganjurkan untuk memperoleh keturunan. Islam tidak mengajarkan ke-rahiban, ke-pastoran dan tidak membolehkan mengebiri dirinya. Namun demikian Islam menetapkan batasan yang jelas mana yang halal dan haram. Saat Rasulullah berkhutbah, beliau menyampaikan hal-hal untuk diketahui umatnya "Sekelompok orang mengatakan anu dan anu. Namun ketahuilah aku sholat dan tidur, aku berpuasa dan aku berbuka, aku menikahi wanita. Maka barangsiapa yang membenci sunahku, ia bukan dari golonganku". (HR. Muslim).

 3. masalah harta tawanan perang. Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Anfal/8: 69 sebagai berikut:

 Terjemahnya "(Jika demikian halnya ketetapan Allah,) makanlah (dan manfaatkanlah) sebagian rampasan perang yang telah kamu peroleh itu sebagai makanan yang halal lagi baik dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".

Ayat di atas menjelaskan bahwa dengan rahmat dan kasih sayang-Nya, Allah tidak menimpakan siksa kepada kaum muslimin atas tindakan yang beliau lakukan bahkan mengampuni dan mengizinkan mereka memakan, memiliki dan mempergunakan hasil dari tebusan tawanan itu . Dengan empat perlima untuk bersama, dan seperlima untuk Allah dan Rasul. Kata halal pada ayat tersebut berarti harta yang telah ditetapkan oleh Allah, sedangkan thayyiban berarti cara memperolehnya dengan jalan tawanan perang atau tebusan. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang terhadap hamba- hamba-Nya, maka dengan sifat mulia ini Allah mengampuni dan tidak menimpakan siksaan kepada kaum Muslimin, bahkan memberikan hak kepada mereka untuk memakan dan memiliki harta rampasan yang didapat dalam peperangan termasuk uang tebusan itu sebagaimana tersebut dalam riwayat berikut ini: Diriwayatkan bahwa pada mulanya kaum Muslimin tidak mau memperguna kan harta tebusan yang dibayar oleh kaum musyrikin, karena takut akan tersalah lagi apabila belum ada wahyu yang mengizinkan mereka memanfaatkannya, maka turunlah ayat ini. Ini adalah suatu bukti lagi bagi mereka atas rahmat dan kasih sayang Allah kepada mereka. Sesudah mereka melakukan kesalahan, mereka diampuni dan dibebaskan dari siksaan atas kesalahan itu, kemudian diizinkan pula memakan dan memiliki hasil dari tindakan salah itu, yaitu uang tebusan yang mereka terima dari para tawanan. Allah menegaskan bahwa harta yang didapat dari penebusan tawanan itu adalah halal dan baik, bukan seperti daging babi dan bangkai. Kemudian Allah menyuruh mereka agar selalu bertakwa kepada-Nya dengan mengerjakan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya, karena Dialah Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang.

 4. masalah makanan yang halal dan yang haram, sebagaimana firman Allah dalam surah An-Nahl: 16: 114

Terjemahnya: "Siapa yang mundur pada waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, dia pasti akan kembali dengan membawa kemurkaan Allah. Tempatnya adalah (neraka) Jahanam dan (itulah) seburuk-buruk tempat kembali".

Disini disebut dua pokok yang terpenting, yaitu halal dan baik. Yang halal ialah yang tidak dilarang oleh agama. Sedangkan memakan daging babi, memakan atau meminum darah, mekaman bangkai dan memakan makanan yang disembelih bukan karena Allah. Semuanya itu telah dinyatakan haram. Kemudian disebut pula makanan yang baik yaitu diterima oleh selera, yang tidak menjijikan. Misalnya anak kambing yang telah disembelih adalah halal dimakan, tetapi kalau tidak dimasak terlebih dahulu, langsung saja dimakan daging mentah itu, mungkin sekali tidak baik, lantaran itu maka kata-kata yang baik atau dalam asal kata thayyib, adalah ukuran dari kebiasaan kita sendiri-sendiri atau kemajuan masyarakat kita. Dengan memahami halalan thayyiban dari empat ayat diatas, menimbulkan perbedaan makna. Sehingga halal disini berarti membebaskan, melepaskan, memecahkan, membubarkan dan membolehkan, dengan syarat: (1) tidak menyebabkan seseorang tidak dihukum jika menggunakannya; (2) boleh dikerjalan menurut syarat; (3) dihalalkan Allah didalam kitabnya. Dalam Al-Qur'an kata halal dan haram juga diungkapkan dengan kata lain, yaitu thayyiban, berdasarkan ayat-ayat diatas, yang termasuk kategori thayyiban mencakup semua yang dianggap baik dan dinikmati oleh manusia tanpa adanya nash atau dalil pengharamannya. Para ahli tafsir ketika menjelaskan kata thayyiban dalam konteks perintah makan mengatakan bahwa ia berarti makanan yang tidak kotor dari segi zatnya atau rusak (kadaluarsa), atau dicampuri benda najis. Ada juga yang mengartikannya sebagai makanan yang mengundang selera bagi yang akan memakannya dan tidak membahayakan fisik dan akalnya. Sehingga kata thayyiban dalam makanan adalah: (1) makanan sehat (makanan memilki zat gizi dan cukup seimbang); (2) proporsional, sesuai dengan kebutuhan pemakan dengan tidak berlebihan dan tidak kurang; (3) aman (terhindar dari siksa Tuhan baik didunia maupun diakhirat) tentunya sebelum itu adalah halal. Surat An Nahl ayat 114 adalah ayat tentang perintah memakan makanan yang halal dan baik. Hal Utama pada surah an nahl adalah Penetapan uluhiyah dan rububiyah Allah dengan melimpahkan berbagai nikmat kepada makhluk-Nya. Salah satu nikmat itu adalah An Nahl yang menjadi nama surat ini. An Nahl yang artinya lebah adalah binatang menakjubkan yang mengeluarkan banyak nikmat terutama madu. Nikmat lainnya adalah berbagai makanan baik hewani maupun nabati yang Allah sediakan di bumi ini. Maka Dia pun memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk memakan makanan yang halal dan baik. Makanan halal dan tayyib akan dipaparkannya menjadi beberapa poin mulai dari redaksi ayat dan artinya. Kemudian diikuti dengan tafsirnya yang merupakan intisari dari tafsir-tafsir di atas : 1. Perintah Memakan Makanan yang Halal dan Baik Poin pertama dari Surat An Nahl ayat 114 adalah perintah untuk memakan makanan yang halal dan baik. Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kepada hambaNya untuk memakan makanan yang halal dan baik. Halalan thayyiba. Halal adalah apa yang Allah perbolehkan bagi manusia untuk mengkonsumsinya. Ia lawan dari haram. Makanan yang halal ini jenisnya sangat banyak baik yang berupa hewani maupun nabati. Yang berasal dari hewan seperti daging unta, sapi, kambing, ayam, ikan, sea food dan sebagainya. Yang berasal dari tumbuhan lebih banyak lagi jumlahnya mulai dari biji-bijian seperti padi dan gandum, buah-buahan, sayur-sayuran, hingga umbi-umbian. Kebalikan dari halal adalah haram. Makanan yang haram dari dzatnya misalnya daging babi, darah, bangkai dan binatang yang disembelih tidak dengan nama Allah. Makanan yang haram dari cara memperolehnya misalnya makanan hasil mencuri, korupsi, menipu dan judi. Sedangkan thayyib artinya adalah baik. Allah memerintahkan manusia untuk memakan makanan yang halal dan baik. Tidak cukup halal, tapi juga harus baik. "Makanan yang baik yaitu yang diterima selera dan tidak menjijikkan," tulis Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar. Ia mencontohkan daging kambing, meskipun halal, kalau dimakan mentah menjadi tidak baik. Lebih dari itu, thayyib tidak sekedar sesuai selera tetapi juga baik bagi kesehatan. Misalnya seseorang yang menderita diabetes, makanan yang tinggi kalori dan gula menjadi tidak thayyib baginya. Khususnya dalam jumlah banyak. Orang yang menderita asam urat, meskipun halal, jeroan menjadi tidak baik baginya. Orang yang menderita kolesterol, meskipun halal, telur puyuh menjadi tidak baik baginya. 2. Perintah Bersyukur kepada Allah Poin kedua dari Surat An Nahl ayat 114 adalah perintah untuk bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir mengatakan, "Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman agar memakan rezeki yang halal lagi baik dan bersyukur kepada-Nya atas karunia tersebut. Karena sesungguhnya Allah-lah yang mengaruniakan nikmat itu kepada mereka, Dialah yang berhak disembah, tiada sekutu bagi-Nya."Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur'an mengatakan, "Allah memerintahkan mereka untuk memakan makanan yang halal dan baik serta mensyukuri nikmat tersebut." Bukankah semua makanan halal dan baik yang jumlahnya sangat banyak di bumi ini adalah nikmat dari Allah? Baik yang tumbuh liar dan tersedia di alam bebas maupun yang dibudidayakan dengan pertanian dan peternakan. Dan bukankah ketika indra perasa dan pengecap hingga organ pencernaan berfungsi, semuanya adalah nikmat dari Allah? Maka sepatutnya kita memperbanyak syukur kepada-Nya. Syukur ini juga merupakan bukti implementasi tauhid kita. Hanya kepada Allah kita menyembah, maka kepada-Nya kita bersyukur atas karunia nikmat-nikmat ini.[5]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun