Kasus korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (E-KTP) menjadi salah satu skandal terbesar yang mengguncang Indonesia. Proyek yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi administrasi kependudukan ini justru menjadi ladang praktik korupsi oleh sejumlah pejabat dan pengusaha. Dari total anggaran proyek sebesar Rp5,9 triliun, kerugian negara yang ditimbulkan mencapai Rp2,3 triliun.Â
Modus dalam kasus ini melibatkan penggelembungan anggaran, suap kepada pejabat terkait, hingga manipulasi dalam proses tender pengadaan barang dan jasa. Praktik kolusi yang melibatkan pejabat di Kementerian Dalam Negeri, anggota DPR, dan pengusaha ini menciptakan jaringan korupsi yang sangat luas, memperlihatkan lemahnya pengawasan dan transparansi dalam pelaksanaan proyek pemerintah.
Investigasi mendalam yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap bahwa kasus ini tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga memperlihatkan persekongkolan sistematis di antara pihak-pihak yang memiliki kekuasaan.Â
Beberapa nama besar, seperti Irman (mantan Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil) dan Sugiharto (Pejabat Pembuat Komitmen Proyek E-KTP), dinyatakan bersalah atas tindak pidana korupsi. Selain itu, sejumlah anggota DPR juga terbukti menerima aliran dana suap dari proyek ini.Â
Kasus ini menjadi bukti nyata bagaimana monopoli kekuasaan, diskresi tanpa pengawasan, dan rendahnya akuntabilitas menciptakan peluang bagi terjadinya korupsi skala besar. Dengan vonis berat yang dijatuhkan kepada para pelaku, kasus ini menjadi peringatan penting tentang perlunya reformasi menyeluruh dalam sistem pengadaan barang dan jasa di Indonesia.
Analisis Berdasarkan Klitgaard  Â
1. Monopoli Kekuasaan
Proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (E-KTP) dijalankan dengan dominasi oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki akses istimewa terhadap kekuasaan. Konsorsium pemenang tender, yang seharusnya ditentukan melalui proses kompetisi yang transparan dan sehat, justru dikuasai oleh segelintir elite politik dan birokrat.Â
Mereka tidak hanya mengatur siapa yang akan menjadi penyedia barang dan jasa, tetapi juga memastikan bahwa keuntungan pribadi atau kelompok dapat dimaksimalkan. Dengan kekuasaan besar yang terpusat pada beberapa individu, proses pengadaan menjadi sangat rentan terhadap penyalahgunaan.Â
Tidak adanya persaingan yang sehat dalam tender menciptakan lingkungan yang memfasilitasi praktik kolusi dan monopoli, di mana pihak-pihak terkait dapat mengatur harga dan mengarahkan proyek sesuai dengan kepentingan mereka tanpa risiko kehilangan kendali.Â
2. Diskresi Berlebihan dan Akuntabilitas Rendah