How
Raden Mas Panji Sosrokartono adalah sosok yang memperlihatkan penggabungan nilai-nilai lokal dalam kepemimpinannya, yang dipengaruhi oleh budaya Jawa dan kebijaksanaan kejawen. Ia memiliki pandangan yang dalam tentang peran pemimpin, yang ia ilustrasikan dengan menggunakan metafora "Mandor Klungsu."
 Dalam bahasa Jawa, "klungsu" merujuk pada biji dari pohon asem, yang menggambarkan ide bahwa seorang pemimpin, atau "mandor," tidaklah menjadi pemilik dari biji tersebut, tetapi lebih sebagai penjaga dan pelaksana yang setia.Â
Dalam konteks ini, seorang pemimpin dianggap sebagai pelayan yang mengabdi kepada "Pemilik Kehidupan," yaitu Tuhan. Pemimpin yang ideal, menurut Sosrokartono, adalah mereka yang mengikuti perintah-perintah baik dan bertanggung jawab atas amanah yang diemban. Dengan demikian, kepemimpinan dalam pandangannya bukanlah tentang penguasaan, melainkan tentang pelayanan dan dedikasi kepada orang-orang yang dipimpin.
Selain itu, Sosrokartono sering mengajarkan prinsip "Sugih tanpa Bandha, Digdaya tanpa Aji," yang berarti kaya tanpa harta dan berkuasa tanpa ilmu yang sakti. Ajaran ini menekankan bahwa kepemimpinan yang sejati tidak bergantung pada kekuatan fisik, materi, atau keahlian mistis, tetapi pada tekad dan ketulusan hati dalam mengabdi kepada masyarakat.
Ia percaya bahwa seorang pemimpin yang baik harus mampu menginspirasi dan memotivasi orang lain dengan karakter dan integritas, bukan dengan kekuasaan atau kekayaan. Ini mencerminkan filosofi kepemimpinan yang menekankan pentingnya kualitas moral dan spiritual dalam menjalankan tugas kepemimpinan.
Sosrokartono juga dikenal sebagai sosok yang sangat religius. Ia sering merenungkan makna kehidupan manusia dan berbagai fenomena alam, yang memberikan warna pada pemikirannya. Sikap spiritualnya ini mencerminkan pendekatan holistik terhadap masalah-masalah kehidupan.Â
Ia melihat keterkaitan antara aspek fisik, emosional, dan spiritual dalam kehidupan manusia, dan berusaha untuk memastikan bahwa semua aspek tersebut dapat hidup dalam harmoni. Kepemimpinannya didasarkan pada pemahaman yang mendalam tentang kebutuhan manusia, dan ia tidak hanya peduli terhadap kemajuan intelektual, tetapi juga terhadap kesejahteraan emosional dan spiritual orang-orang di sekitarnya.
Dalam konteks ini, Sosrokartono menekankan pentingnya pendidikan dan pengembangan diri yang tidak hanya terbatas pada aspek kognitif, tetapi juga pada pengembangan karakter dan nilai-nilai moral.
 Ia percaya bahwa pendidikan harus mencakup pengembangan jiwa dan akhlak, agar setiap individu tidak hanya menjadi pintar, tetapi juga memiliki rasa empati dan tanggung jawab terhadap sesama. Melalui pendekatan ini, ia berusaha membentuk masyarakat yang tidak hanya berpengetahuan, tetapi juga bermoral tinggi dan saling menghargai.
Lebih jauh, Sosrokartono juga berupaya untuk menciptakan lingkungan di mana dialog dan kolaborasi dapat berlangsung. Ia meyakini bahwa keberagaman adalah kekuatan, dan setiap individu, terlepas dari latar belakangnya, memiliki sesuatu yang berharga untuk ditawarkan.Â