Secara substantif, setiap Muslim yang sudah melaksanakan puasa Ramadhan sebulan penuh, dan di ujung Ramadhan membayar zakat fitrah, diasumsikan dirinya telah kembali ke kondisi fitrah (suci). Dan inilah sesungguhnya inti kemenangan secara spiritual.
Pengertian dasar kata "fitrah" sering diilustrasikan seperti kondisi ketika seseorang pertama kali menghirup udara bumi saat dilahirkan dari rahim ibunya: putih bersih dan suci dari segala noda. Karena itu, kembali ke fitrah kadang diungkapkan dengan kalimat: "kembali ke kondisi seperti saat ia dilahirkan oleh ibunya."
Secara bahasa, kata majemuk Idul-Fitri (kembali suci atau kembali ke fitrah) lebih bermakna spiritual. Sebab "kesucian yang kembali" itu tidak kasat mata, tak bisa diukur secara matematis.
Dan secara umum, kembali ke fitrah dapat dimaknai dalam dua hal:
Pertama, pada tataran hablun minallah (hubungan vertikal dengan Sang Pencipta), setiap orang yang beridulfitri membuka lembaran baru dalam menata komunikasinya dengan Allah dalam beribadah. Sebuah riwayat menegaskan, beridul-fitri setelah sebulan berpuasa akan mengembalikan seorang Muslim pada posisi seperti bayi yang baru lahir. Yang ke kondisi yang digambarkan seperti tak ada masa lalu.
Kedua, pada tataran hablun minannas (hubungan horizontal dan spiritual dalam pergaulan keseharian antar sesama manusia) berada pada posisi kosong-kosong. Artinya, menghapus (dalam artian memaafkan dan dimaafkan) semua jejak dosa dan kesalahan masa lalu, dan masing-masing memulai dari nol lagi, dalam posisi kosong-kosong.
Jika dua variabel tersebut terpenuhi secara maksimal, itulah makna ungkapan minal-'aidin wal faizin (kembali suci dalam pengertian posisi kosong-kosong dan menjadi pemenang).
*-*-*
Fitrah dan Idul Fitri
Ada ungkapan yang bombastis dan menggairahkan begini: Allah swt konon akan "merasa malu" jika tidak memasukkan ke surga setiap bayi yang meninggal sebelum balig.
Tentu saja ini pernyataan ilustratif yang ekstrem. Sebab Allah swt berhak mutlak memasukkan siapa pun ke surga atau neraka.