Satu per satu yang datang mengambil langkah mundur dan menghilang dari pelataran. Hingga tinggal kami bertiga di depan rumah.
“Untuk apa kamu bawa sampah ini ke mari, Ngatijan!” namaku disebutnya.
“Ini senja. Senja untuk Is,” jawabku.
“Senja?” ia berkacak pinggang. “Senja tak bisa membiayai hidup berumah tangga!”
Aku berusaha membela diri. “Tapi bagi kami, senja memberi kami semangat hidup.”
“Weleh…… weleh...! Mmm.... mmm... mmm. Anak muda!”
“Bapak boleh saja tak sejalan. Tapi tanyakan saja pada Is, bagaimana perasaannya hari ini.”
Lelaki tua ayah Is itu terperanjat dengan perkataanku. “Kutu kupreeeet..!!!”
“Bapak, seumur hidup baru kali ini aku bisa menikmati senja sedekat ini. Dan ini kebahagiaan yang tak bisa dibilang. Bukankah Bapak tak sekalipun pernah menghadiahiku yang seperti ini?” ujar Is tiba-tiba, yang membuatku terkesiap karena ia bermaksud membela kehadiranku dan juga pemberianku. “Ia pernah berucap ingin memberiku senja. Dan hari ini senja itu datang tiba-tiba dalam sebuah karung. Aku merasakan kebahagiaan yang berlebih. Ia lelaki penuh pesona. Lelaki yang bisa memberi kejutan.”
“Kamu masih waras Is, anakku?”
“Masih, Pak.”