Dan beberapa yang lain di jalan sepi itu menatap boncengan sepedaku. Menatap nyala karung, yang sore itu menjadi penerang sepanjang jalan desa yang sepi.
Akhirnya, sepeda aku belokkan ke arah pelataran rumah Is. Sesaat kemudian, pintu rumah terbuka perlahan. Tak kusangka, gadis itu bersegera keluar. "Mungkinkah ia sudah mencium bau keringatku dari kejauhan?"
“Kamu bawa apa di belakang itu?” teriaknya agak kencang.
Aku memberi senyum. Menengok sejenak ke belakang. Ke boncengan. Kemudian balik menatap wajah kekasihku. “Ini senja untukmu, Is…. Senja yang pernah aku janjikan.”
Agaknya ia terkesima sembari menanti aku menurunkan sekarung senja yang ikatannya sudah terlepas. Aku membaca pikirannya: ia tengah bimbang, percaya atau tidak.
Aku membopongnya. Mendekatkannya kepada Is. “Apa kamu masih ragu dengan senja yang aku bawa?”
Ia menampakkan rona wajah berseri. Bibirnya terkatup. Ditatapnya sinar yang membuat wajah beningnya terlihat menyala-nyala. “Kamu jadi tampak cantik dengan cahaya senja ini, Is,” ucapku. Dan ia mencubitku keras pada lengan kiri atas.
Aku heran. Makin melewati maghrib, warna senja itu makin menguat sampai tidak tampak bahwa ia terbungkus karung. Maka, orang yang melihat pun mendekat. Satu demi satu mengumpul mengitari sekarung senja. Ramailah suasana pelataran rumah Is hingga malam menjelang.
Berlama-lama Is tertegun. Ia memamerkan kepada setiap yang datang. “Dia yang membawa ke mari.” Aku yang ditudingnya merasa sesak dada. Setidaknya, pemberiaan sore itu mencerah-ceriakan kekasihku, Is.
“Bubar.... Bubar semua!” Lelaki tua Ayah Is tiba-tiba memburu dari dalam rumah, mendekat kerumunan. “Jadi orang jangan kagetan. Jangan gumunan. Barang seperti ini jadi tontonan!”
Sesaat semua terdiam. “Bubar...!” serunya lagi.